Part 6
Setiba di rumah, Mama masih menunggu di ruang tengah. Ia bergegas berdiri saat melihatku masuk.
"Kenapa, Mama tidak tidur?" kataku seraya menghampirinya.
Perempuan itu memelukku erat.
"Mama khawatir kamu ada masalah."
"Mam, Arman yang ada masalah. Cepat atau lambat ia harus mau berubah. Saat ia menolak berubah aku bisa apa?"
Aku bisa merasakan ia mengangguk. Arman sudah seperti anaknya juga, itu sebab ia pun menuntutku untuk menjaga. Kehadiran Laras memang bukan di saat yang tepat, hanya saja aku butuh seseorang yang berpikiran lurus untuk bisa melepaskan pengaruh buruk yang ada. Beliau pun akhirnya melepaskan pelukan.
"Ma, tolong bersikap baik dengan Laras. Ia sudah tidak punya ibu dan bapaknya pun tergolek di rumah sakit," kataku mencoba melunakan hatinya.
"Mama tidak yakin ia tulus kepadamu. Baru masuk rumah saja, matanya sudah jelalatan. Mungkin ia sedang menghitung berapa banyak kekayaan yang kita punya," jawab Mama dengan ketus.
"Dia cuma kagum akan isi rumah ini mungkin. Wajar saja buat dia seperti itu. Andai Mama mendapat undangan dari istana Buckingham aku yakin Mama juga akan melihat segala sesuatunya dengan kekaguman," belaku.
"Harus ada perjanjian pra nikah. Ia tidak akan mendapatkan apa pun apabila bercerai. Ia boleh menerima sejumlah uang kompensasi yang besar, tapi anak-anak kalian hak asuhnya harus jatuh pada kita. Tanpa pemberian hak asuh, ia boleh keluar dengan tangan kosong."
"Sejauh itu pikiran Mama?"
"Kamu pikir Mama tidak mengalami semua itu. Walau Mama datang dari keluarga yang berada, perjanjian itu harus ada. Bukan soal kekayaan semata, namun menghindari perempuan serakah masuk dalam keluarga ini."
"Jujur aku tidak memikirkan anak untuk sekarang. Cukup anak Marisa yang akan melanjutkan kerajaan bisnis Wibisono. Tidak perlu anak-anak lain yang hidupnya hancur kelak seperti kami," jawabku terus terang.
Mama menatapku dengan terkejut.
"Butuh berapa banyak berandalan yang Mama mau? Suruh Marisa stop bisnis dan fokus mempunyai anak sebanyak-banyaknya. Aman bukan? Penerus Wibisono tetap ada," kataku enteng.
"Anak Marisa tidak bisa mewarisi bisnis keluarga ini. Ia akan mewarisi kekayaan dari keluarga papanya."
"Gampang, aku tinggal buat wasiat, sama seperti kakek. Ia mungkin sudah meninggal. Namun, aturan dan sepak terjangnya masih mengikat sampai sekarang."
"Kamu keras kepala!" ucap Mama dengan ketus.
"Kita sama saja bukan?"
Mama terlihat kehabisan kata.
"Kamu sudah teracuni oleh Laras!" gerutunya terdengar jelas.
Aku pun tertawa.
"Ma, Laras baru beberapa hari ini bertemu. Ia bukan tipe yang biasa Mama lihat. Semalaman di bar, menghabiskan malam dengan gonta-ganti pria. Bukan pula sosialita yang mengumbar kehidupan glamor. Terus salah Laras di mana?"
"Kamu berubah!"
"Mama mau aku bagaimana? Ikutan gila seperti Arman? Atau sekalian bunuh diri karena stress?"
"Lalu kamu ingin Mama memperlakukan Laras seperti apa?"
"Just treat her good."
"Oh jadi dia mengadu?"
Aku tertawa karena putus asa. Demikian susahnya membuat Mama paham.
"Sebaiknya kamu tidur!" kata Mama sewot.
"Aku tidak ingin ada kegaduhan saat Mama bertemu dengan bapaknya Laras. The sooner the better untuk mengamankan posisi sebagai ahli waris. Aku sekadar mengingatkan saja," ujarku seraya meninggalkannya.
Mama sudah punya imajinasi yang kurang baik pada Laras. Ini akan cukup merepotkan. Namun, aku yakin pelan-pelan beliau bisa menerima, gadis itu tidak seburuk yang ia sangka. Kali ini aku tidak akan menyerah. Maju sekarang atau tidak sama sekali.
Aku masuk kamar lalu mandi dengan air hangat untuk melepaskan semua kepenatan. Jam satu pagi, aku rebah di atas matras dan sulit untuk terpejam.
Aku ambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Laras. Ia mungkin sudah tidur. Namun, aku tidak peduli. Daripada aku ganti baju dan mabuk, lebih baik aku memainkan ponsel sampai terlelap. Gadis itu satu-satunya sosok dalam benakku saat ini.
[Sayang, besok kamu izin off, ya]
Aku mengetik tanpa tujuan. Sebenarnya aku pun tidak tahu harus menulis apa. Lima menit berlalu tanpa jawaban.
[Aku … ]
Entah berapa kali aku menulis lalu menghapusnya. Clueless!
[Tidak bisakah kamu mengganggu orang lain? Ini sudah dini hari!]
Aku langsung tersenyum lebar. Laras mungkin baru bangun atau malah ia baru saja terlelap. Aku tidak peduli. Selama ia membalas aku sudah senang.
[Sayang, I miss you]
[Aku TIDAK]
Jelas ia menulisnya dengan huruf kapital.
[Aku tahu kamu tidak bisa tidur karena merindukanku juga]
Aku tertawa membayangkan wajahnya saat ini.
[Seharusnya aku mematikan telepon dari tadi. Sial nasibku memang!]
[Ngaku saja kalau rindu!]
[Aku rindu pada Penciptaku. MerayuNya agar menyembuhkan Bapak]
[Ah, pantas. Aku jatuh dalam pesonamu. Buktinya aku sekarang memikirkanmu.]
[Please, tell me what do you want then sleep!]
[Just miss you I guess]
[Lalu?]
[Video call boleh?]
[Enggak!]
[Pelit!]
[Biarin!]
[Aku calon suami kamu lho!]
Aku belum ingin berhenti menggodanya.
[Besok tukar aja]
[Awas saja kalau berani!]
[Kenapa besok aku harus cuti?]
[Just spend one day with me. Aku ingin berdua denganmu]
[Berdua?]
[Sayang, banyak hal yang harus kita bicarakan sebelum pernikahan. Minggu depan aku harus perjalanan dinas untuk witness barang di luar negeri. Kamu harus mempersiapkan segalanya sendiri]
[What! Apa maksudnya? Abang pergi begitu saja?]
[Sayang, mana ada pergi begitu saja. Visa tidak keluar dalam satu hari kerja apalagi visa untuk eropa. Andai kamu punya paspor pun, aku tidak bisa mengajakmu pergi begitu saja.]
[Baiklah. Mungkin pernikahan sebaiknya kita tunda sampai Abang kembali nanti.]
[Oh, tidak bisa. Secepat yang dimungkinkan, pernikahan akan kita laksanakan]
Bisa berantakan semua kalau aku menuruti permintaan Laras. Aku bahkan belum sempat mencari tahu siapa Vano dan seperti apa dia. Bagaimana kalau pria itu tiba-tiba muncul dan menggoyahkan Laras.
Sebuah voice note masuk.
"Kenapa Abang begitu memaksa saat tidak ada orang yang yakin akan hubungan kita?"
Aku segera meneleponnya.
"Aku yakin. Makanya maju terus," kataku saat telepon terhubung.
"Malam ini aku banyak berpikir, aku rasa semua tidak tepat. Mungkin kepentingan kita sama yaitu menikah. Aku ingin menyenangkan Bapak dan meyakinkan beliau kalau aku tidak akan sendirian. Abang juga melakukan demi menyelamatkan kekayaan. Namun, orang tua kita tidak ada yang setuju," ucapnya pelan.
"Mamaku setuju, aku berani memberikan garansi," jawabku cepat.
"Ini gila!" ujar Laras.
"Aku rela gila bersamamu, Ras. Setidaknya salah satu dari kita bisa berpikir sedikit waras."
Aku terdiam. Itu adalah ucapan jujur dari hatiku. Mempertahankan Laras kini menjadi suatu keharusan.
"Kita tunggu saja bagaimana hasil pertemuan nanti sore," kata Laras pelan.
"Oke, Sayang. Apa pun yang terjadi aku akan menikahimu," pamitku.
Ponsel aku letakkan di nakas. Senyum tidak lepas dari bibirku. Senang rasanya mempunyai tujuan yang jelas. Saat ini tujuanku adalah Laras. Pikiranku menjadi tenang dan aku bisa pun terlelap.
***
Aku bangun pagi dan bergegas untuk mandi dan sengaja tidak sarapan. Aku ingin mengejutkan Laras. Mbak Sari yang sedang membersihkan perabot melihatku dengan terkejut.
"Selamat pagi," sapanya ramah.
" Pagi, Mbak."
"Bibi masih memasak, kalau mau sarapan biar saya sampaikan," katanya seraya menghentikan pekerjaannya.
"Saya tidak sarapan. Oh iya nanti ajak Bibi dan beberapa orang ke rumah Pak Arman. Di sana pasti butuh banyak tenaga untuk merapikan rumah. Ajak Pak Har untuk mengantar," kataku seraya pamit.
Mbak Sari langsung mengangguk. Aku pun berlalu. Mama mungkin bangun siang karena semalam pasti ia tidak bisa tidur.
Pagi ini cukup menyenangkan. Udara masih terasa sejuk dan kicauan burung terdengar. Biasanya aku tidak terlalu peduli dengan itu semua. Kali ini berbeda, hatiku gembira karena akan bertemu dengan Laras.
Memarkirkan mobil di sebelah warung dan pamit pada pemiliknya.
"Bu, maaf saya numpang parkir sebentar. Mau ke rumah Laras," kataku sambil tersenyum.
Perempuan paruh baya itu menanggapinya dengan senyuman. Aku pun berjalan dengan langkah ringan. Wawan yang sedang bersiap sekolah, menatapku dengan mata membulat.
"Mas, mau ketemu Mbak Laras?" tanyanya dengan suara lantang.
"Iya."
"Pacarnya, ya?" tanyanya lagi.
"Iya," jawabku sambil tertawa.
"Cie …."
Bocah itu malah menggodaku.
"Wawan buruan berangkat!" perintah ibunya terdengar cukup nyaring.
Anak SD berbadan cungkring itu segera pamit, tapi tetap saja mulutnya terus menggoda.
Ia mungkin tidak kaya, hanya saja melihat semangat hidupnya aku merasa iri.
Laras tampak keluar rumah dengan membawa sapu lidi. Sengaja aku tidak memanggilnya. Aku ingin melihatnya dalam keadaan natural tanpa apa pun di wajahnya. Sugguh ia memang cantik tanpa bantuan apa pun. Kulitnya begitu mulus, tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi proporsional. Lekuk tubuhnya pun indah. Jujur saja otakku menilai kemana-mana.
Laras menyapu dengan cekatan, ia pun memungut beberapa daun kering dan mengambil beberapa jambu air yang sedang berbuah. Rumahnya sederhana, tapi terlihat rapi. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa keadaan dalam rumahnya.
Laras tampaknya menyadari keberadaanku. Anehnya ia tampak kesal.
"Harus sepagi ini?" tanyanya seraya mendekat ke pagar.
"Ya, aku mau numpang sarapan," jawabku asal.
"Aku tidak memasak."
"Baguslah. Jadi ada alasan aku boleh membawamu pergi untuk sarapan."
"Aku belum mandi," kata Laras tampak enggan.
"Kamu tidak mengizinkan aku masuk?"
Gadis itu bergegas membuka pintu pagar.
"Abang tunggu di teras saja. Aku tidak lama," katanya seraya pamit masuk.
"Aku minta jambu airnya, ya?" teriakku sebelum Laras menghilang.
"Boleh. Ambil yang merah. Ada galah di samping," jawabnya sambil lalu.
Baru kali ini aku mengambil buah jambu langsung dari pohon. Laras keluar dengan membawa cangkir berisi teh hangat. Ia memberikan kode kalau mau masuk lagi.
Hidup sederhana? Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya. Apa ada enaknya? Entah, aku belum pernah merasakannya. Dari umur setahun aku sudah sekolah di tempat yang bergengsi. Naik turun mobil keluaran terbaru adalah hal yang biasa. Berteman dengan kalangan yang sama. Bahkan aku bisa tahu mall atau toko besar yang ada di kota ini milik siapa. Restoran, hotel, punya keluarga siapa, aku kenal pemiliknya.
Lingkungan membuat kami hanya berinteraksi dengan orang berada. Bagaimana orang tidak mampu sanggup masuk kalau bayarannya menggunakan dollar dan biayanya pun fantastis untuk ukuran kalangan menengah. International school dengan biaya SD sekarang setara tiga ratus juta setahun. Aku rasa banyak yang mundur sebelum mendaftar.
Sekolah hebat tidak menjamin lulusannya beradab.
Aku menikmati rasa manis yang keluar dari setiap kunyahan buah jambu. Hampir lima buah aku habiskan begitu saja. Menurutku rasa buahnya lebih manis daripada buah yang ada di toko. Laras muncul lima belas menit kemudian dengan celana jeans ¾ dan kaos putih. Simply beautiful. Aku terpesona melihatnya.
"Is this okay?" tanyanya pelan.
"So pretty."
Aroma wangi parfum lembut menguar dari tubuhnya saat ia mendekat. Rambutnya yang panjang ia kuncir ekor kuda. Beberapa anak rambut menghias keningnya. Ia tampak begitu cantik dan segar. Baru kali ini aku menunggu relatif cepat. Hatiku berdebar saat jarak kami tinggal sejengkal.
Bulu matanya lentik dan warna matanya terlihat kecoklatan demikian juga dengan rambutnya.
"Warna rambutmu bagus," pujiku.
"Jelek. Efek aku suka bermain di bawah matahari rambutku warnanya kecoklatan. Aku ingin rambut hitam legam," ujarnya seraya menyuruhku untuk berjalan ke luar.
"Aneh, bukannya rambut sedang musim di warna?" tanyaku seraya menunggunya menutup gerbang.
Laras hanya mengedikan bahunya. Gadis itu sederhana, semua yang ia lakukan tidak dibuat-buat. Biasa menghadapi gadis yang suka manja, dengan suara yang mendesah dan entah apalagi sekarang melihat Laras terasa begitu berbeda.
Kami berjalan berdampingan menuju ke mobil.
"Bu, saya mau belum minum," kataku seraya menyerahkan uang pada penjaga warung.
"Tadi masih kurang?" bisik Laras.
Perempuan itu mengeluarkan botol mineral dari lemari pendingin. Aku memberikan kode dua. Ia pun mengeluarkan sesuai yang aku minta.
"Pak kembaliannya belum ada. Uangnya dibawa saja," katanya seraya tersenyum.
"Aku sepertinya ada," kata Laras.
"Ambil saja, Bu kembaliannya. Ayo, Sayang, kita sedang buru-buru," kataku seraya meletakkan uang di atas etalase.
"Ini kebanyakan," kata ibunya dengan panik.
"Tidak apa-apa Bu. Rezeki jangan ditolak," kataku seraya masuk ke dalam mobil.
Aku bisa melihat Laras tertawa.
"Apa yang lucu?" tanyaku seraya mengemudikan mobil pelan.
"Ibu tadi pasti akan bercerita pada semua orang. Minuman kemasan seperti ini mungkin dua buah tidak sampai sepuluh ribu rupiah. Kamu membayar dengan seratus ribu, tapi bagus sih daripada uang kamu berjamur karena tidak pernah disentuh," ujarnya.
"Uang sekarang yang digunakan kebanyakan kan uang virtual atau e-money. Mana ada aku mau beli sepasang sepatu seharga tiga puluh juta dengan membawa uang cash? Tidak praktis dan memakan waktu."
Laras mengangguk paham.
"Jujur, aku masih belum terbiasa mendengar harga-harga fantastis seperti itu," ucap Laras seraya tersenyum kecut.
Aku menatapnya dengan kagum. Ia tidak malu untuk mengakui apa yang ada dalam benaknya. She's one of a kind.
Aku memarkirkan mobil di salah satu restoran fastfood untuk sarapan lebih tepatnya menghabiskan waktu sekalian menunggu beberapa butik buka. Aku ingin ia mulai memilih busana pengantin yang sesuai keinginan, dan segala pernak-perniknya. Aku tahu ini terlalu cepat, bahkan tidak terlintas sebelumnya, tapi apa salahnya.
Duduk berdua dengan Laras dan menunggu pesanan kami datang, rasanya menyenangkan. Apa saja menjadi obrolan kami. Aku terus menatapnya. Belum sekalipun ia membosankan. Laras tersenyum, aku otomatis tersenyum. Aku senang setidaknya hari ini bisa melepas rutinitas.
Aku semakin yakin pada perasaan ini. Tanpa aplikasi Madame Rose kami mungkin tidak akan seperti ini. Siapa sebenarnya pemilik aplikasi itu? Aku penasaran.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top