Part 5

My Boss

Part 5

Aku bisa membaca situasi yang ada di ruang makan. Mama tampak tidak menyukai Laras walau gadis itu sudah berusaha tampil sempurna. Rencanaku tidak boleh gagal atau aku harus mengulang segala sesuatunya dari awal dengan gadis lain. Nope. I don't want that. Laras adalah pilihan paling tepat. 

Sengaja aku pamit ke kamar agar lebih leluasa mengirimkan pesan ke Mama. 

[Please, be kind to her. She's the one that I want. Hanya dia yang aku mau melebihi apa pun.]

Cukup lama tidak ada jawaban masuk. 

[Mama tidak menyukainya. Ia terlalu kampungan. Bukan calon yang tepat.]

[Kalau itu mau Mama. Aku akan menurut, tapi jangan salahkan aku kalau tidak akan menikah dengan siapapun dalam waktu dekat]

Aku sengaja menekan Mama. Ia mungkin lupa kalau batas waktu sudah semakin dekat. Warisan kakek bisa saja jatuh pada orang lain atau yayasan. Apa ia akan rela? Satu per satu amunisi harus aku persiapkan untuk 'memaksanya' secara halus.

Aku memutuskan untuk ganti baju. Terlalu lama di kamar akan membuat Laras curiga. Aku tidak mau gadis itu mundur. Kesepakatan kami harus sampai di garis yang tepat sesuai rencana. 

Jeans dan kaos menjadi pilihan. Aku pun keluar dan mendapati Mama masih memperlihatkan wajah kaku. Ia menatapku tajam. 

"Sorry, lama. Aku sekalian ganti baju. Ayo, Ras kita pergi," kataku sengaja memancing Mama untuk bicara. 

"Makan dulu, semua sudah disiapkan!" ucap Mama. 

"Aku rasa Laras mungkin sudah tidak lapar," balasku keras kepala. 

Mama memandang Laras dengan bimbang. Gadis itu pun seolah ingin menjadi penengah. Aku tahu ia melakukan karena kebaikan hatinya.

"Iya, kita makan dulu, Pak. Semua sudah disiapkan," kata Laras menahanku. 

"Ras, kamu masih saja terus memanggilku dengan Pak. Aku ngambek nih," kataku menggodanya.

Aku senang memperhatikan Laras. Wajahnya merona, ia terlihat salah tingkah apalagi ada Mama.

"Maaf," kata Laras pelan. 

"Jadi kita makan dulu?" 

Laras mengangguk pelan. 

"Mama masak apa?" Sengaja aku melibatkannya dalam percakapan. 

Bagaimanapun aku tidak ingin menyakiti hati mama. Hanya saja it's time to tango. Saatnya kami sepaham dan menjalankan rencana sebaik mungkin. 

Mama menjelaskan apa saja yang ia masak. Aku pun memberikan pujian. Sesekali aku melibatkan keduanya dalam percakapan. 

Setelah makan malam usai. Aku kembali membicarakan soal keinginan bapaknya Laras. 

"Ma, besok sore Bapak ingin kita bertemu dan membahas soal pernikahan. Apa itu perlu kita tunda?" pancingku dengan sabar. 

Mama menoleh dan menatapku cukup lama. Ia mungkin sedang mempertimbangkan pesan yang tadi aku kirimkan. Laras memberikan kode agar aku tidak membahasnya. 

"Jam berapa?" tanya Mama cukup mengejutkan. 

Aku rasa ini adalah respon yang baik. Terpenting kami segera menikah sebelum Vano atau pria lain muncul dan merebut Laras. 

"Jam besuk sudah bisa masuk, tapi menunggu jam pulang kantor sekitar jam lima sore," jelasku. 

"Mama nanti datang sendiri saja. Kita bertemu di sana," ujarnya pelan. 

Aku bisa melihat wajah Laras tampak terkejut. 

"Thank you, Mam sudah mau memberikan restu," ucapku seraya berdiri dan memeluknya. 

Aku tahu Mama tidak semudah itu luluh hanya saja saat ini melihatnya mengalah sudah membuatku senang. 

"Kalau begitu, aku antar Laras pulang dulu. Mama mau titip apa?" 

"Tidak ada. Hati-hati di jalan," ucapnya perhatian. 

Laras tampak ragu untuk menghampiri Mama. 

"Terima kasih banyak, makan malamnya enak sekali," tutur Laras memberikan pujian. 

Mama tersenyum tipis dan mengangguk. Laras mengulurkan tangan. Mama dengan enggan menyambutnya. Ia terlihat terkejut saat melihat Laras mencium tangannya. Tradisi dalam rumah ini adalah mencium pipi atau cukup berjabat tangan dengan tamu. Mencium tangan bagiku terlihat lebih tulus. 

"Sayang, besok aku jemput lagi, ya ke ruangan," godaku. 

Laras terlihat salah tingkah. Aku tersenyum tanpa sadar saat menatapnya. 

***

"Bapak yakin akan melanjutkan ini?" tanyanya saat kami sudah berada di dalam mobil. 

"Sayang, panggil aku jangan Bapak terus. Andai setiap panggilan bapak keluar dari bibirmu, mungkin aku harus menghukummu dengan ciuman sehingga kamu bisa mengingatnya," kataku kesal. 

"Tidak mungkin aku hanya menyebut nama atau sayang di depan banyak orang," ucap Laras seraya menatapku tajam.

"Kamu bisa panggil aku Mas atau Abang, walau aku lebih suka kamu panggil sayang," jawabku  cepat. 

"Bang Danen, rasanya lebih wajar," kata Laras. 

"Baiklah. Abang sayang lebih menyenangkan," balasku tidak bisa berhenti menggodanya. 

Laras menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menyembunyikan wajah cantiknya. 

Aku menghentikan mobil di tepi jalan. Sebuah warung waralaba ternama yang menjual pizza di pinggir jalan itu yang menjadi penyebabnya. Aku turun dan memesan pizza dua loyang besar. Kami harus menunggu hingga makanan siap. Sengaja aku melakukannya untuk mengulur waktu. Aku merasa belum cukup menghabiskan waktu berdua dengan Laras. 

"Bukannya itu lama dan kita baru saja makan?" tanya Laras saat aku masuk ke mobil. 

"Bukan buat kamu atau aku, itu buat Wawan," ujarku sambil tersenyum. 

Aku ingin menunjukan kalau aku memperhatikannya. 

"Aku rasa itu tidak perlu. Ini terlalu berlebihan," kata Laras kaget. 

"Biar saja. Aku hanya ingin meniru kebaikanmu," pujiku. 

Laras menoleh dan menatapku dengan saksama. Sorot matanya terlihat begitu indah. 

"Mamamu tidak menyukaiku. Sebaiknya kamu mencari gadis lainnya," tutur Laras membuatku sadar kalau dugaan tadi benar adanya. 

"Perasaanmu saja, Ras. Besok buktinya Mama mau bertemu dengan Bapak."

Gadis itu menghela napas panjang. Ia menoleh ke arahku. 

"Entah mengapa beliau seolah berubah pikiran. Padahal jelas ia mengungkapkan hal itu sebelumnya."

"Kamu mungkin sudah berhasil memesonanya. Tidak kenal maka tidak sayang. Aku rasa semua soal waktu saja. Buktinya aku langsung menyukaimu," jawabku jujur. 

"Bang …."

"Iya, Sayang," potongku cepat. 

Laras memejamkan mata dan tangannya menyentuh kening. Aku rasa ia sedikit putus asa. 

"Kalau semua besok tidak berjalan dengan baik. Itu artinya perjanjian kita harus berakhir," ucapnya. 

Oh tentu tidak, aku tidak akan membiarkan perjanjian itu lewat begitu saja. Melepaskan Laras? Tidak sekarang. Mungkin nanti atau … aku tidak akan melepaskannya. 

"Yakinlah, Ras semua akan baik-baik saja. Kita akan menikah segera," yakinku sambil tersenyum. 

"Tidakkah, Abang pikir kalau ini salah?"

"Salah? Ya, kita bisa memperbaikinya nanti. Fokus kita adalah Bapak bisa stabil dan membaik, aku bisa mengurus perusahaan, dan soal Mama, aku percaya ia akan luluh," jawabku sok yakin. 

Seorang karyawan mengantarkan pesanan pizza. Aku membuka pintu jendela dan memberikannya uang tip. Aku menyerahkan kotak makanan itu pada Laras. Gadis itu menerimanya. 

Sepanjang jalan perdebatan kecil terus berlanjut. Aku senang gadis itu tidak ragu untuk mengutarakan pikirannya. Perasaannya mungkin terlalu lembut sehingga ia terlalu peduli dengan pikiran dan pendapat orang lain. 

Berhenti di gang. Aku pun memaksa ikut turun. Tas belanja dari butik aku bawakan untuknya. Gadis itu berusaha menolak, tapi aku terus ngotot. Alhasil aku pun berhasil memaksanya. Ia jalan di depanku dengan tergesa. 

Kali ini Wawan yang keluar. Bocah itu tampak begitu gembira saat menerima kotak pizza. 

"Mbak Laras, terima kasih banyak. Aku sudah lama ingin mencobanya," serunya dengan girang. 

Aku melihat itu dengan haru. Hanya dengan makanan saja, orang bisa begitu bahagia. Padahal entah berapa botol minuman keras yang harganya puluhan kali lipat pernah aku teguk agar bisa merasa bahagia secara semu. 

"Bang, sudah sampai sini saja. Aku tidak bisa mengajakmu masuk karena sudah malam," kata Laras mengusirku dengan lembut.

Biasanya gadis-gadis di club malah berebut mengajakku menginap dan menghabiskan malam malam. Aku menyerahkan kantong belanja. Laras menerimanya dan berterima kasih. 

"Abang, terima kasih banyak. Ini pertama kalinya aku masuk butik dan menerima hadiah sebanyak ini," ucapnya seraya menatapku lama. 

"Masuk, gih. Aku ingin memastikan kamu aman sampai di dalam," balasku.

Jujur, aku enggan melihatnya pergi. Aku masih ingin banyak berbicara dengannya. 

Gadis itu protes, tapi menurut. Ia melangkah sampai depan pintu dan berbalik menyuruhku pergi. Aku masih menunggunya membuka pintu. Konyol memang hanya saja aku senang melakukannya. 

Laras pun masuk dan melambaikan tangan. Aku pun tersenyum dan membalasnya. Melangkahkan kaki pergi terasa begitu berat. 

Sebuah pesan masuk.

[Terima kasih banyak. Hari ini seperti roller coaster, semoga besok lebih baik.]

[It's fun to ride it with you.] 

Laras membalasnya dengan stiker. 

Baru hendak masuk mobil sebuah telepon masuk. Arman. Aku ingin menolak hanya saja percuma. Ia akan terus menelepon. 

"Dan. Where have you been? Don't you even care to stop by?"

"Aku punya urusan penting. Bagaimanapun aku yakin kamu akan baik-baik saja." 

"Temui aku. Rasanya suntuk!"

"Maksud kamu apa?" tanyaku tidak habis pikir. 

"Aku ingin hangout."

"Kamu sudah gila. Baru hari ini keluar bui dan urusanmu belum selesai," seruku jengkel. 

"Memang kenapa? Biasanya juga langsung kelar. Jangan bersikap berlebihan, Dan." 

Aku ingin mengumpatnya dengan semua bahasa kasar. Hanya saja percuma. Arman mungkin sudah kecanduan minuman. Ia tidak bisa sehari saja mencoba tidak keluar rumah. Sepupuku ini seharusnya aku biarkan dulu merasakan lebih lama dalam sel setidaknya membuatnya waras barang sebentar. 

"Terserah kamu saja, temanmu banyak. Kali ini aku menyerah," jawabku seraya mematikan ponsel. 

Aku masuk mobil dan menyalakan musik. Pikiranku terasa begitu penuh. Banyak hal datang bersamaan. Melajukan mobil dengan kecepatan rendah membuatku memiliki waktu lebih untuk berpikir. Sesekali aku ikut bernyanyi dan melepaskan stress. 

Aku sadar betapa kacaunya hidup yang kami jalani. Saat aku ingin berubah, terbersit harap Arman juga mau berubah. Usia kami tidak bertambah muda dan hidup terus berjalan. 

***
Mobil hendak masuk gerbang. Namun, Mama sudah berada di depan teras. Ia tampak sedang bersiap pergi. 

"Ma, mau dugem?" godaku. 

"Arman mengamuk. Satpam mengunci gerbang atas permintaan Tante Riri. Ia menghancurkan isi rumah." 

Seketika kepalaku terasa begitu berat. Memikirkan Arman membuatku ikut gila. Ia benar-benar rusak. 

Aku pun meminta mama tetap di rumah. 

"Biar aku saja yang ke sana. Situasinya tidak aman. Salah-salah Mama malah kena masalah," larangku. 

"Kasihan Tante Riri, Dan. Ia sendirian," ucapnya peduli. 

"Aku akan menyelesaikan masalah ini, Ma. Percaya, deh!" 

Perempuan itu akhirnya menurut. 

Mobil kembali aku lajukan. Padahal semula aku ingin istirahat dan mengirim beberapa pesan untuk Laras. Ah, memikirkan Laras sesaat saja sudah bisa membuatku kembali tersenyum. 

Rumah besar tempat tinggal Arman tampak baik-baik saja dari sini. Pagar rumah yang tinggi menjulang membatasi pandangan orang luar. Aku membunyikan klakson agar dibukakan pintu gerbang. 

Aku hanya dapat menggelengkan kepala saat melihat Arman sudah diringkus oleh satpam di rumahnya. Keadaan di ruang depan tampak porak-poranda. Kristal, keramik, guci bahkan meja marmer kesayangan Tante Riri tampak pecah. 

Arman berteriak minta dilepaskan. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Sungguh aku tidak menyangka ia sebrutal itu. 

Aku berjalan mendekatinya. 

"Man, Elu udah tua. Ngamuk seperti ini, kamu sudah gila?" ucapku dengan keras. 

"Salah gue apa? Cuma dugem saja." 

"Dugem saja? Semalam masuk bui karena sekadar dugem saja? Elu mabuk then out of control," kataku kesal.

"Suruh mereka lepaskan aku. Kita pergi dari sini," ujarnya tidak menggubris ucapanku. 

"Kamu perlu psikolog atau ke psikiater." 

"Kamu pikir aku gila!" bentaknya. 

"Kamu lihat ini semua? Mana ada orang waras menghancurkan rumahnya sendiri!" 

"Mama bisa ganti dekorasi. Ini masalah kecil. Sialan kamu, Dan!" 

"Perlu aku panggil polisi?" ancamku mulai habis kesabaran. 

Arman langsung melengos. Sahabat sekaligus keluarga terdekat yang aku miliki itu tampak marah. 

Ia masih terus mengumpat. Tante Riri menghampiriku dengan berurai air mata. Aku tidak bisa melakukan apa pun saat ini kecuali memeluknya. 

"Tolong Arman, Dan," bisiknya.

"Aku tidak bisa menolongnya. Ia sudah di luar kendali!"

"Kamu bisa menemaninya dan seperti dulu saling jaga," ujar Tante Riri.

"Itu mustahil. Tante ingin kami hancur bersama?" 

Tante Riri menggeleng dengan bingung. Aku tahu dalam hatinya menyalahkanku. Di matanya Arman adalah segalanya. Andai aku menjaga Arman maka ia tidak akan masuk bui, andai aku menemaninya malam ini, maka semua akan baik-baik saja. Itu semua salah, kami berdua tidak pernah baik-baik saja. Bisa hidup dan sehat saja sudah luar biasa kalau mengingat gaya hidup kami yang di luar batas. 

Aku melepaskan pelukan dan duduk di depan Arman. 

"Aku akan menemanimu malam ini di sini. Hanya saja tidak dengan besok atau lusa. Jalan kita sudah berbeda," kataku seraya melepaskan ikatan tangannya. 

Kepalan tangannya seketika melayang hendak memukul. Refleks aku mengelak. 

"Kamu punya mulut, Bro. Ngomong kalau mau ajak duel!" bentakku. 

"Pergi! Aku muak melihatmu. Munafik!" balasnya dengan suara kasar. 

"Terserah! Aku tidak peduli apa yang kamu ucapkan!" 

"Kamu akan menyesal Dan. Demi bercitra baik dan perempuan, kamu campakkan aku. Suatu saat kamu akan kembali dan meminta kita bisa dekat seperti dulu lagi. Saat itu kamu akan tahu siapa yang setia menemanimu!" 

Aku hanya menggeleng menolak ucapannya. Arman bangkit berdiri dan masuk kamar dengan membanting pintu. Setidaknya aku yakin ia tidak akan keluar malam ini. 

"Tan, aku pulang dulu," pamitku. 

"Bermalam di sini saja Dan. Siapa tahu nanti larut malam, Arman kembali mengamuk," pintanya. 

"Panggil polisi saja, tidak ada yang dapat mengendalikan Arman." 

Tante Riri membisu. Ia sadar ucapanku benar adanya. 

***





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top