Part 4

Aku tidak paham dengan Pak Danen. Pria itu bisa mendapatkan siapapun gadis yang ia mau, anehnya ia malah memaksakan permainan yang sangat tidak masuk akal. Menjaga hati agar tidak jatuh dalam pesonanya bukan hal yang mudah. Buktinya sekarang aku tidak dapat konsentrasi bekerja.
Sepuluh menit lagi, jam kerja akan selesai. Artinya sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Perasaan gelisah kian mendera. Jujur, aku berharap pria itu mengurungkan niatnya untuk mengantarku ke rumah sakit.

Sebuah pesan masuk. Aku bisa menebak siapa pengirimnya. Layar ponsel aku usap.

[Sayang, be ready aku sedang ke ruanganmu.]

Sepertinya percuma aku melanjutkan pekerjaan. Pak

Danen bisa muncul kapan saja. Aku mematikan laptop dan merapikan meja.

[Kenapa tidak dijawab?]

Ya, ampun pria ini sungguh menyebalkan.

[Aku sedang bersiap, Sayang]
Ketikku dengan sebal.

[Iya, aku bisa lihat. Bibirmu seksi sekali kalau sedang manyun.]

Tatapanku beralih dari layar ponsel dan kedua mata tajam Pak Danen sedang memperhatikanku. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum lebar. Ia sedang berhadapan dengan Pak Rico, tetapi tidak memperhatikan lawan bicaranya.

“I miss u,” ucapnya tanpa suara hanya dengan gerakan bibir.

Seketika aku menundukkan kepala dan menutup keningku dengan tangan. Pria itu benar-benar tidak tahu malu. Rekan yang ada di sampingku terbatuk pelan tanda ia menggoda. Suara tawa yang tertahan membuatku semakin salah tingkah.

“Buruan, Ras. Boss tercinta sudah menunggu,” bisiknya seraya mencolekku.

Aku meliriknya dan terpaksa tersenyum dengan kaku.

“Gemoy banget, ya lihat Laras malu-malu,” timpal lainnya.

Bukan malu-malu, tapi memang ini benar-benar memalukan. Aku segera mengambil tas dan pamit. Pak Danen menyambut dengan mengulurkan tangannya.  Dengan enggan aku menerimanya.

Tangannya terasa hangat saat aku menyentuhnya. Ia memegang dengan erat. Aku memandangi sosoknya dan pria itu membalas.

“Kami pulang duluan,” pamitnya pada Pak Rico.

Pak Danen tidak melepaskan tangannya. Di lift aku bisa melihat bayangan kami di sana. Ia malah mengeluarkan ponsel dari kantong celananya.

“Ayo kita foto, sudah kencan ketiga dan belum punya foto berdua,” ucapnya seraya menaikkan tangan kanannya yang memegang ponsel untuk wefie.

Aku menatap pria itu dengan tidak percaya. Sikapnya begitu santai.

“Cakep, nih Ras. Kamu kalau terus menatapku seperti itu, aku bisa jatuh cinta,” ujarnya sambil tersenyum.

Lift terbuka dan karyawan dari divisi lain itu tampak cukup kaget saat melihat kami dalam posisi yang terlihat mesra. Ia ragu untuk masuk.

“Masuk saja, we're fine.”

Akhirnya pria itu masuk.

“Tolong foto kami, ya!” kata Pak Danen cuek.

Pria itu dengan cekatan menerima ponsel Pak Danen dan mengambil foto kami beberapa kali.

“Terima kasih,” ucapnya seraya menerima kembali ponselnya.

Ia memperlihatkan foto yang ada sambil tersenyum lebar. Beruntung lift sudah sampai ke basement dan terbuka.

“Just relax, Baby. Jangan melotot itu malah membuatku semakin gemas,” ucapnya seraya membukakan pintu mobil.

“Kamu tidak malu?” tanyaku heran.

“Ras, listen carefully. Orang jatuh cinta itu memang norak kadang. Terima saja,” balasnya sambil tertawa.

***

Pemandangan rumah sakit yang menjadi santapanku sehari-hari  terasa agak berbeda. Baru kali ini ada seseorang yang menemani. Vano, dulu selalu menolak saat aku memintanya datang.

“Aku tidak suka bau rumah sakit, menciumnya membuatku mual.” Alasan itu yang sering ia ucapkan.

Pak Danen terlihat tenang dan santai. Ia tidak gaduh soal aroma khas ini. Tiba di ruangan Bapak. Pria itu bersikap cukup sopan.

“Kenalkan saya, Danendra,” katanya seraya menjabat tangan Bapak.

Bapak menatapnya sesaat lalu mengarahkan padaku seolah meminta penjelasan.

“Boss-ku di kantor, Pak,” jawabku pelan.

“Calon suami, Pak,” kata Pak Danendra begitu saja.

“Maksudnya?” tanya Bapak seraya mengernyitkan kening.

“Laras dan saya sudah mantapkan hati untuk menikah.
Kami datang untuk meminta restu,” jawabnya dengan lancar.

Aku kaget melihatnya mengucapkan itu semua dengan mudah.

“Kamu yakin, Ras? Bagaimana dengan Vano?”

Lidahku terasa kelu. Aku mencoba menarik napas panjang agar lebih rileks.

“Yakin, Pak. Hubungan dengan Vano terputus karena ia menghilang begitu saja,” jelasku hati-hati.

Bapak terdiam. Aku tahu beliau masih berharap Vano yang menjadi pasangan hidupku. Bagaimanapun Vano adalah satu-satunya pria yang pernah aku ajak ke rumah dan beliau sudah sangat mengenalnya.

“Kapan kalian mau menikah?” tanya Bapak pelan.

“Segera, Pak. Mama saya sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu,” jawabnya tampak sungguh-sungguh.

“Pernikahan tidak bisa menjamin seseorang punya anak. Kamu tidak khawatir mengecewakan mamamu?” tanya Bapak mengagetkan.

“Maksudnya, Pak?” tanya Pak Danen.

“Kamu pikirkan lagi. Alasanmu menikah saja sudah salah,” kata Bapak mengingatkan.

“Itu hanya pemanis kata Pak. Saya akan menikah dengan Laras karena tidak bisa jauh darinya. Perasaan saya terlalu kuat,” jawabnya berusaha meyakinkan.

“Bagaimana kalau tidak ada anak?”

“Saya tidak keberatan. Teknologi semakin maju, ada banyak jalan untuk ikhtiar. Kalau memang sudah digariskan begitu, ya harus kita terima!”

Bapak menatapku cukup lama.

“Kamu pikir lagi, Ras. Jangan silau oleh kekayaan dan wajah rupawan!”

Duh, tampaknya tidak mudah meyakinkan Bapak. Apa ia tahu kalau aku sebenarnya enggan? Namun, aku sudah memberikan janji. Aku melirik pada Pak Danen. Pria itu terlihat cuek dan tidak tersinggung.

“Hatiku memilihnya, Pak. Insyaallah Laras sudah mantap,” jawabku pelan.

Pak Danen menatapku sambil tersenyum. Ia mungkin besar kepala mendengar aku membelanya.

“Kamu berharap Bapak langsung setuju dengan pria yang tiba-tiba muncul begitu saja?”

Aku tahu ucapan Bapak memang benar adanya. Memutuskan sesuatu yang penting tidak boleh gegabah.

“Kalau niat saya hanya main-main saja, maka tidak mungkin saya datang dan melamar,” jawab Pak Danen terus berusaha meyakinkan.

“Bukankah itu malah menunjukkan ada sesuatu yang salah atau sesuatu tersembunyi?” tanya Bapak curiga.

“Akan lebih salah kalau saya tidak meresmikan hubungan dengan Laras. Bapak pasti pernah muda dan jatuh cinta. Pasti tahu rasanya saat hanya bisa memandang tanpa memiliki. Meyakinkan Laras pun sulit. Apa Bapak tidak mempercayai pilihan Laras?”

Sungguh, Pak Danen memang bukan tipe yang mudah menyerah. Ia terus saja mendebat Bapak. Seorang negosiator ulung yang gigih sedang adu argumentasi memang tidak akan mundur sampai tujuannya tercapai.

“Laras masih hijau soal pria. Bisa saja ia salah menilai seseorang,” jawab Bapak tidak mau menyerah.

Kedua pria ini tampaknya tidak akan berhenti berdebat sampai salah satu dari mereka kalah. Aku memperhatikan kondisi Bapak dengan saksama. Pria yang menjadi cinta pertamaku itu tentu tidak ingin aku memilih pasangan yang salah.

Andai kondisinya terus membaik, mungkin aku masih bisa membuat keputusan lain. Hanya saja itu tidak terjadi. Di sisi lain aku sudah memberikan janji.

“Pak. Laras mencintainya,” kataku pelan.

Bapak menatapku seolah mencari kebenaran.

“Danen adalah pria yang penuh tanggung jawab, keras kepala, dan menyebalkan. Laras tidak bilang ia pria yang sempurna, hanya saja hatiku sudah memilihnya,” lanjutku.

Bapak terbatuk, dan aku bisa melihat kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku tahu begitu besar ia menyayangiku melebihi segalanya. Belum pernah ia menolak kemauanku selama masih masuk akal.

Suasana ruangan menjadi hening. Pak Danen menatapku dan tersenyum. Ia menghampiri dan memelukku.

“Aku akan datang kemari setiap hari, Ras. Sampai Bapak bisa melihat kesungguhanku,” ucapnya terdengar meyakinkan.

Seharusnya aku dan Pak Danen mendapat piala citra karena memerankan adegan ini dengan begitu baik.

“Jadi mamamu sudah setuju?” tanya Bapak yang membuat Pak Danen mengurai pelukannya.

“Mama sudah tahu, hanya saja belum bertemu. Saya yakin ia pun akan langsung menyukai Laras. Di sisi lain saya ingin Bapak adalah orang pertama yang tahu dan memberi restu,” yakinnya.

“Kalau begitu, sebaiknya Laras bertemu dulu dengan mamamu. Kalau beliau tidak keberatan dan bisa mengatakannya secara langsung di sini akan lebih baik,” jawab Bapak.

Tampaknya urusan restu ini tidak semudah yang aku pikirkan.

“Baik Pak. Laras akan bertemu dengan Mama,  dan semoga besok sore kami bisa datang lagi,” jawabnya penuh keyakinan.

Bapak mengangguk dan tersenyum tipis.

“Sebaiknya kalian pulang. Bapak butuh istirahat.”

Aku tahu bapak pasti butuh waktu untuk berpikir.

“Bapak mau aku bawakan apa besok?”

“Tidak ada. Doakan besok hasilnya baik,” ucapnya seraya mengelus kepala saat aku yang sedang mencium tangannya.

Rasa haru menyusup ke dalam batin. Tidak ada cinta yang menggantikan cinta orang tua pada anaknya.

“Laras sayang Bapak,” bisikku seraya pamit.

Bapak tersenyum dan mengangguk.

Pak Danen menjabat tangannya dan pamit.  Pria itu lalu menggandengku. Kami jalan beriringan menuju parkiran. Pria itu tidak melepaskan genggamannya. Aneh, saat ini aku merasa begitu tenang. Jalan ini sudah aku pilih dan tidak bisa mundur lagi.

***

“Masih cukup sore, kita ke rumah sekarang,” ucapnya ringan.
“Wait! Ke rumah siapa?”
“Ke rumahku. Bapak dengan jelas mengatakan permintaannya. Lalu buat apa kita tunda? Itu hanya akan buang waktu saja,” jawabnya.

Ya Tuhan, pria ini benar-benar sangat pemaksa.

“Bisakah besok?” tawarku.

“Jangan menunda sesuatu. Mamaku orangnya baik, dan tidak mungkin sekeras Bapak,” jawabnya mengentengkan.
Duh, bagaimana caranya membuat ia tahu kalau aku belum siap. Bahkan pacaran dengan Vano cukup lama, belum pernah sekalipun ia membawaku ke rumahnya.

“Aku masih memakai baju kantor, wajah ini pun nyaris tanpa make up karena sudah hampir seharian tanpa touch up. Kamu pahamkan itu sangat penting bagi seorang cewek,” ujarku mencoba mengelak.

“Gampang,” jawabnya seraya memutar arah.

Tidak ada sepuluh menit, ia menghentikan mobilnya di depan sebuah butik. Ya ampun, ia mungkin salah sangka. Aku tidak ingin baju baru.

“Ayo turun, aku kenal pemiliknya. Kamu boleh pilih mana saja yang cocok,” katanya seraya membuka pintu.

Modelnya memang bagus dan simple hanya saja harganya juga tidak murah. Beberapa price tag yang tertera membuat nyaliku ciut.

Pak Danen tampaknya tahu dengan sikap ragu-raguku. Ia mengambil beberapa dress, celana panjang, dan atasan lalu memberikannya padaku.

“Kamu coba dulu, aku ingin lihat,” katanya tegas tidak bisa dibantah.

Aku menuju ke ruang ganti dengan ragu. Gaji sebulan hanya cukup untuk membayar dua helai dress, padahal selama ini aku pikir gajiku sudah cukup besar.
Cutting dan pengerjaannya memang halus dan rapi. Aku baru mencoba satu dress dan pintu pun diketuk.

“Ras, coba keluar. Aku ingin melihatnya,” kata Pak Danen.

Pintu itu pun aku buka. Gaun sederhana berwarna biru muda itu membuatku tampil elegan.

“Bagus, kamu tampak sangat cantik,” pujinya.

Aku sedang mencari akal untuk menolak hanya saja ucapannya kepada karyawan butik membuatku terbelalak.

“Saya ambil semua, Mbak. Tolong dibungkus! Saya bayar sekarang.”

“Pak ....”

“Ayo, jangan membuat mamaku menunggu. Aku sudah meneleponnya kalau akan membawa tamu spesial untuk makan malam di rumah,” ucapnya seraya terus menatapku.

“Tapi ....”

“Ini hadiah kecil dariku. Jangan kamu tolak,” ucapnya seraya mengeluarkan kartu dari dompetnya.

Ini belanja baju tercepat dan termahal seumur hidupku. Aku masih tidak percaya, ia mengeluarkan hampir dua puluh juta dengan enteng.

Ia menggandeng tanganku entah untuk ke berapa kalinya dalam sehari ini. Pria itu terus tersenyum seolah sedang menantikan sesuatu.

Kami masuk mobil dan menuju ke rumahnya. Hatiku semakin berdebar. Perumahan elit kawasan pusat kota membuatku sadar kami sudah dekat. Seorang satpam membuka gate dan menyapa dengan ramah.

Deretan rumah mewah dengan halaman luas membentang di depan mata. Lampu-lampu teras menyala dan menunjukkan keindahan arsitekturnya. Berapa harga satu rumah seukuran istana itu?

Pak Danen menghentikan mobil di salah satu rumah. Gerbang pun terbuka secara otomatis. Aku bengong melihat keelokannya.

“Ayo turun, Sayang,” ajaknya sambil tersenyum.

“Boleh aku tunggu di mobil?”

Pria itu pun tertawa.

“Mamaku tidak seseram itu!” ujarnya sambil tertawa.

“Aku takut tersesat,” jawabku asal.

“Tenang saja. Aku akan menjadi guide-mu. All will be fine,” jawabnya sambil tersenyum.

Taman depan begitu luas dengan gazebo dan kolam ikan. Seorang security berjaga di pos depan.
Ia kembali meraih tanganku. Rasanya aku mulai terbiasa merasakan sentuhannya. Ini pengalaman paling gila dalam hidup.

Pak Danen mengajakku ke ruang makan. Rumah-rumah model sinetron yang aku kadang lihat ternyata memang ada dan nyata. Aku menatap sekeliling penuh kekaguman. Seorang wanita cantik sedang duduk sendirian. Ia menoleh saat mendengar langkah kami.

“Mama pikir kamu bercanda,” ucapnya seraya berdiri dan mencium pipi Pak Danen.

Perempuan itu menatapku dengan saksama.

“Cantik-kan?” puji Pak Danen sambil melirikku.

Perempuan itu mengangguk pelan dan bersikap formal. Aku merasa merinding. Sumpah ini sangat menakutkan. Aku dapat merasakan ia tidak menyukaiku walau baru pertama kali ini kami bertemu. Apa ada yang salah denganku? Tanpa sadar aku malah memegang erat tangan Pak Danen.

“Ras, kalau tanganku kamu pegang begitu, hatiku yang jadi berdebar,” ucapnya sambil tertawa.

Seketika aku mencoba melepaskan genggamannya. Pria itu malah mengangkat tanganku dan mengecupnya.

Don't worry, Baby,” cetusnya begitu saja.

Aku merasa tidak enak dengan mamanya. Takut ia berpikir aku kurang sopan.

“Silakan duduk. Biar Bi Iis menyiapkan piring untuk kalian,” ucap mamanya pelan.
Suasana terasa sangat menegangkan.

“Ras, mamaku jago masak. Pasti kamu akan menyukainya,” puji Pak Danen setelah menarikkan kursi untukku.

“Tentu saja. Masakan Mama pasti paling nikmat,” jawabku menyetujuinya.

Sungguh suasana tidak mudah saat salah satu dari kami seperti enggan membuka pembicaraan. Perempuan itu seolah tidak mendengar pujian yang kami ucapkan.
 
“Mam, tolong ajak ngobrol Laras sebentar. Aku charge ponsel karena habis baterai,” pamit Pak Danen seraya berdiri.

Mamanya hanya mengangguk sedikit. Ia lalu menatapku dengan tajam. Sungguh ini bukan suasana yang aku bayangkan. Mungkin benar seorang ibu selalu dekat dengan anak lelakinya. Calon menantu atau menantu tidak lebih dari batu sandungan. Aku paksakan senyuman untuk menutupi kegundahan.

“Kamu merasa pantas mendampingi Danendra?” Pertanyaan itu meluncur pelan, tapi menusuk.

Inikah genderang perang? Atau hanya perasaanku saja?

“Belum. Saya akan berusaha memantaskan diri,” jawabku pelan.

Bapak dan Mama tampak tidak setuju dengan kami. Apa ini sebuah kode untuk mundur? Ternyata niat kami untuk saling membantu telah dimaknai secara berbeda.

“Kalau tidak pantas, mungkin sebaiknya kamu mundur. Sulit mengejar Danen yang punya selera tinggi. Ini demi kebaikanmu sendiri,” ujarnya meluncur tanpa basa-basi.

“Bila Pak Danen menginginkan itu, saya bersedia menjauh,” balasku setenang mungkin.

Duh sandiwara ini malah semakin rumit. Aku harus bagaimana?

***
 
 
 
 
 
 
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top