part 3


Pertemuan dengan Laras sungguh di luar perkiraan. Gadis itu aku pikir akan tampil luar biasa dan berusaha memikat dengan manja atau penuh pujian. Ternyata salah besar. Gadis itu menarik. Aku tidak menyangka ia berinisiatif membayar makan malam kami. Tertarik? Ya, tentu saja. Dia begitu menyenangkan. Melihatnya beberapa kali menahan amarah is a new kind of cute. Menggemaskan, tapi sekaligus aku salut ia ternyata punya hati yang baik. 

Jatuh cinta? No way! Sandiwara untuk mendapatkan hak sebagai pewaris utama lebih penting. Ada banyak karyawan yang menjadi taruhan. Aku tidak keberatan mempunyai pasangan seperti Laras. Rasanya semuanya akan berjalan mulus. 

Andai Arman tidak membuat ulah di club mungkin aku lebih memilih untuk pulang. Aku pun masuk ke klub dan beberapa orang menyapa dengan ramah. Sebagian besar pengunjung saling kenal karena kami merupakan member lama. Pandanganku menyapu setiap sudut mencari sosok Arman. 

"Dia sudah diamankan," ucap seseorang mengejutkan.

"Diamankan?" tanyaku penasaran

"Iya, pengunjung yang ribut dengan Arman tidak terima. Ia dibawa ke kantor polisi," jelasnya. 

Ini bukan kejadian sekali. Biasa aku akan datang menyelamatkan dan membayar tuntutan ganti rugi serta memberikan jaminan untuk kebebasannya. Hanya saja saat ini aku berpikir untuk tidak turun tangan. Mungkin ini akan menjadi pelajaran baginya. Tidak selamanya aku bisa mem-back up dirinya.

"Bikin kerusakan apa saja?" tanyaku pada pria pemilik klub ini. 

"Bukan kerusakan besar, hanya ia waktu mabuk menantang duel, pengunjung baru itu tidak melayani dan Arman malah semakin emosi. Ia memukul pria itu. Suasana menjadi ricuh."

Aku menarik napas panjang dan berpikir. Apa yang harus aku lakukan? Pemilik klub itu menepuk-nepuk bahuku sambil tersenyum tawar. 

"Sesekali biarkan dia menghadapi masalahnya. Arman bukan anak kecil yang perlu selalu kamu bela," ujarnya seraya pamit. 

Aku pun balik badan dan berjalan keluar. Pasti nanti Arman akan mengamuk saat sadar aku tidak menyelamatkannya kali ini. Hanya saja kalau ini dapat menyadarkannya, kenapa tidak?

Aku membuka ponsel sebelum menjalankan mobil pulang. Sedikit kecewa, Laras sudah tidak aktif ponselnya mungkin ia sudah tidur. Hampir tengah malam, sebaiknya aku pun bergegas pulang. 

Ingatan saat makan malam dengan Laras bisa sedikit membuatku tersenyum. Aku mencoba mengingat  semua percakapan tadi. Tidak sabar rasanya bertemu dengannya esok hari.

***
Aku terbangun dengan gedoran di pintu. Aku bisa menebak apa yang akan terjadi setelahnya. Rasa enggan memang hadir, tapi segera aku tepiskan. 

"Danen, buka!" Suara Mama terdengar panik. 

"Iya, tunggu sebentar," jawabku seraya berjalan menghampiri pintu. 

Wajah mama tampak tidak sabar. Aku menatapnya sambil tersenyum. 

"Dan, kamu tahu apa yang terjadi semalam?"

"Semalam aku bertemu gadis pujaanku. Mama kepo, ya?" godaku mencairkan suasana. 

Mama menatapku seolah aku berbicara dalam bahasa alien. 

"Wait ... What?" Mama terlihat tidak percaya.

"Begitulah. Next, aku kenalkan Mama dengannya," balasku sambil tersenyum. 

"Laras …? Well, skip dulu. Kita bicarakan Laras nanti. Sekarang segera kamu ke kantor polisi, bawa pengacara. Arman ditahan kata maminya. Dia bingung kenapa Arman ditahan sedang kamu malah tidur nyenyak di rumah."

"Maksudnya? Aku tidak boleh tidur di rumah? Dasar, Tante Riri menyebalkan," protesku sebal. 

"Sudahlah jangan terlalu diambil hati. Kalian berdua biasanya tidak terpisahkan. Lagi pula kalian sama-sama sudah tidak punya papa jadi harus saling bantu dan jaga," desak Mama. 

"Iya, nanti aku urus," putusku tanpa semangat.

"Kok, nanti?"

"Tenang saja, Ma. Kantor polisi buka dua puluh empat jam," jawabku enteng. 

"Lalu siapa Laras itu? Mama baru dengar namanya."

"Tenang saja, nama Laras bakal sering nantinya Mama dengar," ucapku menggodanya.

"Maksudmu?"

Aku hanya mencium pipi mama tanpa memberikan penjelasan.

"Danendra Wibisono! Awas kamu, ya bikin Mama penasaran," ucapnya kesal. 

Aku pun tertawa ringan. Mengenalkan Laras pada Mama dan keluarga besar harus segera dilakukan. Aku tidak ingin membuang waktu terlalu lama. Keadaan bapaknya Laras sepertinya juga cukup mengkhawatirkan. It sound perfect, tidak ada alasan untuk menunda pernikahan. 

Mama kembali sibuk dengan ponselnya karena Tante Riri menelpon lagi. Bagi keduanya ini adalah peristiwa besar dan pertama kali terjadi. Kehebohannya aku rasa akan berlangsung seharian. Itu cukup bagus, setidaknya kedua saudara ipar itu punya banyak hal untuk diperbincangkan. 

Laras, nama itu langsung terlintas dalam benakku. Ponsel yang ada di atas nakas aku ambil. 

[Good morning, Cantik]

Aku menunggu jawabannya. Gadis itu tidak menjawab cukup lama. Saat aku berniat menelponnya, terlihat ia sedang mengetikkan sesuatu. Senyumku pun terkembang. 

[Selamat pagi]

[Sayang. Harusnya selamat pagi Sayang]

Aku mengetikkan pesan itu sambil tersenyum lebar. Terbayang wajah Laras saat kesal. 

[Selamat pagi, Sayang]

[Jangan cemberut. Aku aja ikhlas lho, kamu panggil sayang]

Aku terus menggodanya. Baru kali ini aku bersikap cukup menyebalkan pada seorang gadis. Dulu, aku cukup meluluhkan hati perempuan dengan hadiah dan perhatian, tapi Laras memang beda. 

[Pak Danen yang terhormat, bisakah kita bersikap formal saat sedang berdua?]

[Bisa. Namun, tanpa chemistry yang kuat mana ada orang percaya? Bagaimana kalau keadaan memaksa kita tampil mesra dan berciuman sesekali?]

Sengaja aku memanaskan suasana. Hal ini membuatku sangat bahagia. Membayangkan bisa mencium Laras, tampaknya akan menjadi hal yang pantas ditunggu. 

[Omaigat!!!]

Aku tersenyum lebar. Pancinganku kena sasaran. 

[Aku tahu kamu pasti tidak sabar, kan merasakan ciumanku. Sekarang kamu bayangin dulu saja]

[Please, Pak. Behave!]

[Jaga sikap? Tentu saja. Kamu tidak perlu cemas]

Entah bagaimana ekspresi Laras. Aku tidak sabar untuk bertemu. Sebaiknya aku menjemput dan menggodanya habis-habisan.

[Mandi sana! Nanti aku jemput, walau rumah kamu cukup jauh. Bersyukurlah, calon suamimu yang baik hati ini tidak sedikit pun merasa keberatan]

[Terima kasih. Sayang sekali, aku sudah sampai kantor]

[Baiklah, aku rasa itu kode kalau kamu begitu bersemangat bertemu denganku, Sayang. Tidak sabar bertemu denganmu sebentar lagi]

Aku pun mengirimkan stiker bergambar hati dan mengakhiri percakapan. Aku segera mandi dan bersiap ke kantor, tampaknya hari ini urusanku cukup padat ditambah harus mengurus Arman. Terlintas keinginan untuk membiarkannya mendekam di bui selama beberapa hari lagi, hanya saja aku kasihan pada Tante Riri. Beliau pasti sangat khawatir pada anak tunggalnya itu. 

Aku menelpon pengacara yang biasa mengurus Arman. Sikap sepupuku yang suka masa bodoh dan mengandalkanku di setiap saat kadang memang terasa menjengkelkan. Semoga ini adalah terakhir kalinya aku harus mengurus dirty laundry-nya. 

***
Setiba di kantor tujuan utamaku adalah ke ruangan Laras. Senyum tidak bisa lepas dari bibir ini. Atasan Laras menatapku dengan terkejut.

"Selamat pagi, Pak," sapanya ramah.

"Selamat pagi. Boleh saya bertemu Laras?" tanyaku meminta izin. 

"Oh, silakan Pak. Laras!" 

Gadis yang sedang menunduk dan tampak sibuk dengan berkas itu mendongakan kepala dan menatapku tajam. Aku langsung tersenyum. Ia dengan enggan berdiri dan menghampiri kami. 

"You look so pretty," bisikku saat kami berhadapan. 

Atasan Laras yang mendengar bisikanku langsung tampak salah tingkah demikian pun dengan Laras. Aku segera meraih tangannya dan pamit ke luar ruangan sebentar.

Aku tahu pasti Laras ingin meledak. Wajahnya memerah dan tangannya terkepal, body language-nya tidak bisa berdusta. 

"Pak …!"

"Sayang," ralatku.

"Ini tidak lucu, Pak. Kita di kantor!"

"Terus kenapa? Tidak ada yang berani melarangku."

Laras hendak meninggalkanku, tapi aku lebih sigap dengan meraih lengannya. 

"Sandiwara ini harus mulus. Pertunjukan kemesraan adalah bagian darinya," bisikku dengan serius. 

Laras menatapku dengan tidak percaya. 

"Apakah itu ancaman?"

Kenapa wajah Laras menjadi berkali lebih cantik saat ia marah? Sungguh menggemaskan. 

"Bukan. Itu hanya bagian dari perjanjian, Sayang," balasku pelan. 

"Pak …."

"Sayang," desakku lagi.

"Sayang, tolong, aku sedang bekerja dan kamu tidak membuat posisiku lebih mudah."

"Jangan hiraukan. Segera setelah kita menikah dirimu tidak perlu lagi repot dengan pekerjaan," jawabku tegas.

"No. Big no. Saya ingin tetap bekerja!"

"Aku akan memberikan yang jauh lebih banyak daripada gajimu di sini. Jangan lupa, istri harus menurut pada suaminya," bisikku tidak mau kalah.

Laras tampak tidak bisa berkutik.

"Kalau saya membatalkan perjanjian itu?"

"Aku yakin bapakmu tidak akan merasa tenang, di samping itu aku percaya kamu adalah orang yang teguh memegang janji," ucapku sok yakin. 

Gadis itu menatapku putus asa. Entah kenapa aku tidak mau melepaskannya padahal dengan mudah aku bisa mendapatkan penggantinya. 

"Kamu paham, kan kenapa ini harus berhasil?" 

Gadis itu akhirnya mengangguk pelan menyetujuinya. 

"Jadi, Sayang, jangan lupa janji makan siang kita nanti," ucapku seraya pamit. 

Laras mengangguk dan tanpa tersenyum. Aku meninggalkannya dengan senyum lebar. Rasanya tidak sabar menanti jam makan siang tiba.

***
Retha, sekretarisku menyambut dengan ramah. Ia menyerahkan beberapa berkas yang aku minta. 

"Pak, untuk janji dengan Pak Rahmat di reschedule. Beliau ada keperluan mendadak ke Singapura. Jadi hari ini hanya ada dua meeting dengan supplier."

"Baik. Terima kasih Re," ucapku seraya masuk ke ruangan. 

Beberapa panggilan masuk salah satunya dari pengacara yang mengurus Arman. Aku menerimanya sambil membuka laptop. 

"Pak Arman sudah pulang, tapi kali ini kena wajib lapor karena pihak korban tidak mau berdamai. Beberapa hari ke depan beliau harus ke kantor polisi untuk penyidikan," ungkapnya dengan penuh hati-hati. 

"Terima kasih untuk pendampingannya. Saya minta, Bapak bersedia menjadi penasehat  hukumnya hingga masalah ini tuntas," putusku tanpa ragu. 

"Sebaiknya Pak Danen bersedia membantu dengan negosiasi dengan pihak pelapor agar kasus bisa diselesaikan secara damai," sarannya terdengar hati-hati. 

Tampaknya kasus kali ini bukan kasus yang ringan. 

"Saya tidak kenal dengan pelapor. Ia pengunjung baru di sana. Kalau kenal mungkin akan beda ceritanya," jawabku terus terang. 

"Baik, Pak. Saya akan coba bernegosiasi sekali lagi, semoga ada jalan keluar." 

Sambungan telepon itu pun terhenti. Jujur, aku jadi penasaran dengan lawan Arman kali ini. Aku rasa dia lawan yang cukup tangguh. Arman dalam masalah yang serius.

Aku pun kembali konsentrasi dengan beberapa berkas. Harga rekondisi beberapa mesin ternyata naik cukup signifikan. Beberapa keputusan harus diambil, sepertinya membeli mesin baru lebih masuk akal. 

Semua fokusku tercurah pada pekerjaan. Retha beberapa kali masuk ruangan untuk memberikan berkas tambahan. 

"Pak Hardian sudah datang," lapornya seakan mengingatkan jadwal meeting pertama hari ini.

Aku mengangguk paham. Ia pun meninggalkan ruangan. Aku rasa ini akan menjadi hari yang panjang. 

***
Deal pembelian spare part dan mesin baru telah diputuskan walau nilainya fantastis, tapi aku rasa itu adalah langkah terbaik. Pabrik butuh mesin-mesin teknologi baru untuk meningkatkan produksi dan kualitas. Jujur aku hampir lupa ada janji makan siang dengan Laras. Aku memang sering melupakan urusan lain saat sedang mempelajari mesin baru dan negosiasi.

"Re, tolong bawakan ini," ucapku seraya menyerahkan berkas dan laptop. 

"Bapak mau kemana? Jangan lupa jam dua nanti ada meeting sekali lagi," ingatnya.

"Tenang saja, saya makan siang di kantin," jawabku sambil tersenyum.

"Oh, Bapak mau saya temani?" tawarnya cukup mengejutkan.

"Tidak perlu, saya ada janji dengan seseorang," jawabku seraya pamit. 

*** 
Laras sedang tersenyum saat aku menghampirinya. Ia tampak sedang dalam suasana hati yang baik. Saat tatapan kami bertemu, aku tidak bisa berpaling. 

"Sudah siap?" tanyaku seraya mendekat
 
Laras mengangguk. Aku pun meraih tangannya. Ia pamit pada rekannya. Gadis itu tidak memberikan perlawanan dan sikapnya cukup menawan. 

"Aku rasa kamu sudah mulai paham," ucapku pelan saat kami berada di dalam lift

"Tentu saja. Semua orang sepertinya sudah mendengar gosip tentang hubungan kita," sindirnya.

"Sayang, itu adalah berita yang bagus," ujarku senang.

Semakin cepat Laras bisa bersandiwara, segalanya akan lebih mudah. 

"Tentu saja, Sayang," balasnya seraya tersenyum enggan.

"Senyummu kurang meyakinkan. Coba tersenyum seperti ini," ledekku seraya memamerkannya.

Laras menjulurkan lidahnya tanda ia sedang meledekku.

"Bagus, kamu terlihat seksi," bisikku.

Laras langsung melotot. Aku pun tertawa. 

Makan siang dengan perempuan cantik dan banyak mata memandang dengan penuh ketertarikan memang membuat jengah, tapi ini perlu kami lakukan agar semua orang yakin. 

Laras memesan gado-gado, aku pun memilih menu yang sama. Kami duduk menunggu pesanan datang. 

"Apa yang kamu lakukan setelah jam kantor usai?" tanyaku penasaran. 

"Ke rumah sakit."

Aku mengangguk paham. 

"Bagaimana kondisi Bapak sekarang?"

"Masih belum stabil."

"Bisa berkomunikasi?"

Laras mengangguk pelan.

"Nanti sore, kita bisa ke rumah sakit. Kamu bisa memperkenalkan kami," putusku cepat. 

"Aku rasa itu butuh proses," jawabnya.

"Proses? Maksudnya?"

"Bapak tahunya aku sedang dekat dengan Vano."

Aku menatap wajah cantik itu dengan tajam. Rasa tidak suka menyeruak mendengar ada nama pria lain yang ia sebut. Belum sempat aku bertanya lebih banyak, pesanan kami datang. 

Kami makan tanpa banyak suara. Aku sesekali menatap Laras. Vano? Ah, siapa pun pria itu, aku tidak peduli. Laras akan menikah denganku segera. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membatalkan perjanjian ini. 

"Sayang," panggilku saat mengantarkannya ke ruangan. 

Laras menoleh ke arahku. 

"Aku akan mengantarmu ke rumah sakit," putusku.

"Tapi …."

"Aku, kan calon menantunya. Jangan khawatir, aku tidak akan berbuat yang aneh," janjiku seraya meninggalkannya. 

Aku tidak ingin mendengar penolakannya. Vano? Mendengar namanya saja, aku tidak suka. Rencana ini harus berjalan mulus. Aku tidak ingin mencari calon istri baru. Laras adalah kandidat paling tepat. Akan aku pastikan, bahwa namaku adalah nama yang akan tercatat sebagai suaminya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top