part 20
Aku terbangun dengan tubuh bersimbah keringat. Perasaanku terasa tidak menentu. Apa karena perasaan sedih akan kehilangan seseorang dalam mimpiku tadi mempengaruhinya?
Aku memilih untuk mandi dan berganti baju. Rambutku ikat begitu saja. Perasaanku kian tidak menentu. Apa sesuatu terjadi pada Bapak? Segera, ponsel aku raih, tapi tidak ada panggilan atau notifikasi masuk.
Aku melihat bang Danen yang sedang terlelap. Tidak tega rasanya untuk membangunkannya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri. Aku membuka aplikasi online dan memasukkan alamat tujuan. Bang Danen terbatuk dan menggeliat. Matanya terbuka saat tidak menemukanku di sisinya. Aku menatapnya dan tersenyum. Pria memandangku penuh tanya.
"Mau kemana? Ini jam berapa?"
"Aku mau ke rumah sakit."
Ia langsung duduk.
"Ada kabar tentang Bapak?"
"Enggak ada. Hanya perasaanku sedang tidak enak. Mungkin rasa khawatir yang berlebihan saja," kataku seraya menghampirinya.
"Tunggu pagi saja, ini masih gelap dan kamu butuh istirahat," bujuknya.
"Aku janji hanya pergi sebentar."
"Kamu bisa telepon Pak Bambang. Ia bisa tanya ke perawat jaga."
Aku terdiam. Sebuah notifikasi masuk, taksi sudah ada di depan.
"Taksinya sudah datang."
Bang Danen terdiam. Ia akhirnya berdiri dan mengambil jaket.
"Ayo, aku antar," katanya.
Pria itu bahkan belum cuci muka. Ia menggandengku ke gerbang. Supir taksi menyapa kami dengan ramah. Jalanan yang sepi membuat kami bisa sampai di rumah sakit dengan cepat.
"Jangan buru-buru," kata Bang Danen melihatku yang sudah tidak sabar.
"Iya," jawabku singkat.
Koridor yang biasa aku lewati terasa begitu panjang dan tidak berujung. Aku izin masuk pada perawat jaga, sedangkan Bang Danen menunggu di kursi panjang.
Entah bagaimana, aku tahu kalau Bapak akan pergi untuk selamanya. Aku duduk di sisinya dan menciumi tangan yang terkulai lemas itu.
"Pak, kalau memang sudah saatnya tiba, Laras ikhlas. Maafkan semua kesalahan dan kekhilafan yang pernah aku lakukan. Terima kasih sudah menjadi pria terhebat dalam hidupku. Titip salam buat Ibu," bisikku dengan air mata yang menganak sungai.
Aku menghapus air mata berulang. Aku harus kuat. Aku tengadahkan wajah mencoba menata hati, dan menarik napas panjang. Hatiku terus melantunkan doa untuknya. Hampir dua jam aku tidak beranjak dari tempat duduk.
Kenapa aku merasa tangan Bapak dingin? Segera aku memanggil perawat dan ia memintaku menunggu di luar.
Bang Danen yang sedang ngobrol dengan Pak Bambang langsung berdiri dan menghampiriku.
Tidak ada kata yang keluar dari bibirku, tapi pria itu seolah tahu. Ia pun memelukku erat.
"Ikhlas ya, Sayang," bisiknya.
Aku mengangguk pelan. Air mataku kembali luruh. Setengah jam kemudian perawat menyampaikan kepergian Bapak. Aku bersyukur bisa menemaninya di saat akhir.
Rencana pemakaman jauh hari sudah berulang Bapak bicarakan. Ia ingin dimakamkan di sebelah Ibu. Bapak tidak mau jadi beban, ia sudah memberikan detail instruksi dengan jelas, tugasku hanya memastikan semua berjalan dengan baik.
Jenazah Bapak disucikan dan dikafani di rumah sakit. Sebuah ambulans akan mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir.
"Abang pulang dulu saja, biar aku yang urus semuanya," kataku seraya melepaskan genggaman tangannya.
"Pulang?"
"Abang kan belum mandi dan ganti baju," kataku seraya memandang celana pendeknya.
"Aku bisa mandi nanti saja. Pak Maman sebentar lagi sampai untuk mengantar mobil dan baju ganti," tolaknya dengan keras kepala.
Aku enggan membantahnya.
"Urusan rumah sakit dan semuanya biar aku bereskan, kamu jangan khawatir," katanya seraya mengusap-usap lenganku.
"Bapak sudah menyiapkan semua, aku tugasku hanya menghubungi pihak masjid dan penjaga makam, serta mengambil berkas dan surat kematian dari rumah sakit. Itu sebabnya aku minta Abang pulang dulu," kataku seraya duduk di kursi.
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawabnya tetap dengan pendiriannya.
Tidak lama kemudian, pak Maman datang mengantarkan mobil dan baju ganti. Kedatangan Mama yang tidak aku prediksi. Ia datang dengan Marisa. Dengan canggung aku menerima pelukannya.
***
Dua jam perjalanan, kami sampai di desa tempat bapak ingin menghabiskan masa pensiunnya. Tetangga dan warga menyambut kami dengan baik. Semuanya sesuai dengan amanat Bapak.
Rumah peninggalan bapak menjadi tempat kami beristirahat setelah pemakaman. Bi Ani, penjaga rumah ini telah menyiapkan hidangan dan minuman. Beliau menghampiriku saat aku masuk ke dapur.
"Yang ikhlas ya," ucapnya seraya memelukku erat.
Aku mengangguk pelan. Ia melepaskan pelukan lalu menatapku cukup lama.
"Mbak Laras tidak usah kembali ke kota, di sini saja. Sayang kalau rumah ini kosong," bujuknya.
"Masih ada beberapa hal belum saya selesaikan, Bi. Mungkin saya akan menetap di sini nanti."
"Syukurlah, jadi Bibi tidak tinggal di sini sendirian terus," katanya sambil tersenyum.
"Bi, ini uang buat hidangan tadi," kataku seraya menyerahkan uang ke tangannya.
"Mbak, tidak usah. Hasil kebun dan sawah, Bapak, kan tidak pernah diambil. Itu saja masih sisa," tolaknya.
Aku terdiam. Begitu telitinya Bapak mempersiapkan semuanya tidak sedikit pun ia ingin memberatkan orang lain.
Bang Danen menyusul. Ia tersenyum saat melihatku.
"Aku mencarimu karena tidak terlihat di depan."
Bi Ani menatapku dan tersenyum.
"Pacar mbak Laras?"
"Saya, suaminya," ralat Bang Danen.
"Nikah, kok tidak bilang-bilang. Kalau tahu, Bibi pasti buatkan syukuran," katanya seraya tersenyum lebar.
***
Rumah kembali sepi saat hampir semua orang pulang. Tersisa beberapa orang ibu yang sedang memasak di dapur, Bi Anik, Bang Danen, Pak Maman, dan aku.
Pak Maman tidur di balai-balai belakang rumah. Aku beristirahat di kamar dengan Bang Danen. Aku menatapnya cukup lama. Ia belum sama sekali mengeluhkan sesuatu.
"Panas ya?" pancingku.
"Tidak juga. Di lereng gunung, siang begini anginnya tetap sejuk," jawabnya seraya berdiri di belakang jendela.
Ia tampak menikmati pemandangan di luar.
"Apa hasil bumi di sini?" tanyanya seraya berbalik menatapku.
"Sayur-mayur, buah," kataku menyebutkan seraya menyebutkan beberapa.
"Di sini bisa di bangun agrowisata, pengolahan buah menjadi sirup, makanan ringan dan banyak lainnya. Pasti ekonomi rakyatnya semakin maju," cetusnya enteng.
"Begini ya ternyata punya suami businessman semua related ke usaha," kataku sambil tersenyum.
"Aku mau minta peluk," katanya seraya mendekat.
Aku pun mengulurkan tangan dan menyandarkan kepala
.
"Kamu baik-baik saja?" bisiknya pelan.
Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca mendengar kepeduliannya. Ia mengusap rambutku pelan dan mengecupnya. Aku senang, di saat seperti ini ada Bang Danen yang menemani. Sampai kapan pun aku akan merasa berhutang budi padanya.
***
Pagi harinya kami bersiap untuk pulang. Bi Ani menyiapkan banyak hasil kebun untuk dibawa. Aku sudah menolaknya, tapi bang Danen malah menerima.
"Biar saja, Ras. Kamu tidak lihat wajah bahagia Bi Ani saat membawa keluar semuanya. Jangan membuat ia kecewa," ucapnya.
"Tapi di rumah …."
"Biar saja. Lain kali kita datang bisa mengajak Mario. Ia pasti senang berada di sini," kata Bang Danen mengalihkan pembicaraan.
Aku menatap bagasi mobil dengan kagum, entah apa saja yang masuk. Jelas terlihat karung besar berisi beras, beberapa keranjang buah dan sayur, serta berbagai macam buah tangan.
"Mbak Laras, kalau bawa ikan sepertinya masih muat," kata Bi Ani dengan wajah semringah.
"Jangan Bi, nanti ikannya mati," tolakku.
"Ikannya sudah besar-besar siap panen Mbak. Pasti mertuanya senang kalau dibawakan oleh-oleh," bujuknya.
"Bi. Oleh-olehnya sudah banyak. Lain waktu kami datang lagi," tolakku halus.
"Iya, Bi. Terima kasih banyak. Mama saya pasti terharu," kata Bang Danen sambil tersenyum.
"Sampai menangis pasti," ujarku menimpalinya.
Pak Maman dan bang Danen langsung tertawa.
***
Semakin dekat dengan resepsi aku lebih banyak berada di rumah. Mama dan aku tidak banyak bercakap-cakap. Sesekali saja bila ada yang penting baru kami bicara.
Dua hari menjelang resepsi dan pengesahan dari KUA. Keluarga besar bang Danen berkumpul. Aku tidak menyangka kalau jumlahnya cukup banyak. Aku pikir bang Danen hanya punya satu sepupu saja ternyata aku salah. Dari pihak mamanya ia punya lima sepupu. Mereka sepantaran jadi terlihat akrab dan sering bercanda.
Dari obrolan yang ada aku bisa mendengar ajakan untuk bachelor party. Pesta melepas masa lajang. Aku kurang setuju, tapi merasa tidak enak untuk melarang.
"Masa sih kita enggak party?"
"Iya. Enggak seru. Terlebih lagi kamu sudah lama tidak pernah mengajak kita jalan," ucap sepupunya terus membujuk.
"Is that okay?" tanya Bang Danen.
Aku terpaksa mengiyakan. Malam itu juga mereka keluar ramai-ramai.
Aku menunggu sampai jam tiga pagi dan ia belum kembali.
Aku akhirnya memutuskan menunggu di teras sambil menikmati secangkir cokelat panas. Sisi kehidupan bang Danen yang ini belum pernah aku lihat. Hanya dari cerita dan rumor saja yang aku tahu.
Menjelang jam empat pagi, sebuah mobil berhenti di gerbang. Bang Danen masuk dengan sempoyongan. Pak Maman dengan sigap menopang tubuhnya.
"Arman tidak bisa mengalahkan aku!" teriaknya cukup membuatku terkejut.
Aku pun berdiri dan hendak mendekat tapi aku urungkan mendengar ucapannya setelah itu.
"Perjanjian sialan itu pun segera berakhir!"
Aku terpaku. Pria itu benar. All is almost over now.
Air mataku pun menetes dan segera aku menghapusnya. Kenapa harus menangisi sesuatu yang sudah pasti akan terjadi?
Setelah siap, aku pun menghampirinya. Bang Danen langsung memelukku dan aku nyaris jatuh karena ia begitu berat. Beruntung Pak Maman sigap. Ia membantu kami sampai kamar.
Bang Danen langsung terlelap. Aku melepaskan sepatu dan ikat pinggangnya berikut ponsel dari kantong celananya. Aku berusaha menikmati saat-saat terakhir bersamanya. Semua orang punya dua sisi. Kalau selama ini aku melihat sisi bagusnya, sekarang aku melihat Bang Danen dari yang lain. Setidaknya aku tahu isi hatinya.
***
Aku sedang bersama Marisa saat Bang Danen mencariku.
"Sayang, bisa bicara sebentar?" katanya seraya mendekat.
Aku mengangguk. Ia meraih tangan dan membawaku menjauh.
"Maaf, semalam aku mabuk," ucapnya.
Aku mengangguk.
"Kamu marah?"
"Tidak, bukan hakku untuk marah," jawabku pelan.
"Kamu berhak marah. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya sungguh-sungguh.
Aku hanya menjawab dengan senyuman dan mengusap pipinya.
"Siang ini kita semua ke hotel. Makan malam jam tujuh, dan pencatatan KUA jam delapan pagi sesuai jadwal. Itu artinya dari subuh penata rias sudah datang. Jangan bangun kesiangan," kata Marisa menerangkan pada kerabatnya yang semalam menginap di rumah.
Marisa mendekat kepada kami.
"Kabar baiknya, kalian harus pisah kamar malam ini," kata Marisa sambil tertawa.
"Kata siapa! Aku tidak mau," kata Bang Danen tampak tidak suka.
"Biar ada kangen-kangennya," kata Marisa tidak mau kalah.
"Iya, sih nurut saja," kataku sambil tersenyum.
"Pokoknya aku tidak mau!" katanya ngotot.
"Hih!" kata Marisa tampak kesal.
***
Bersyukur semua rangkaian acara berlangsung dengan baik. Malam, sebelum acara resepsi berlangsung, kami dikumpulkan di suatu ruangan. Seorang notaris datang dan membacakan isi surat warisan berikut penyerahan saham sesuai dengan poin-poin yang ada di dalamnya.
"Semua syarat sudah dipenuhi dan sahih di mata hukum. Silakan ditandatangani di sini," katanya seraya menunjuk pada beberapa lembar kertas pada Bang Danen.
Aku bisa melihat Mama tersenyum demikian juga dengan Marisa. Aku bahagia untuk pria itu, tapi hatiku merasa sedih. Ini artinya perjanjian kami sudah resmi berakhir. Bang Danen dan aku sudah mendapatkan apa yang menjadi keinginan kami.
Pria itu menatapku dan tersenyum. Aku bisa melihat ia begitu bahagia. Bang Danen terlihat tampan dalam jas putihnya. Aku mengaguminya.
Setelah acara tertutup selesai, Bang Danen segera menghampiriku. Ia memelukku, tapi omelan terdengar setelahnya.
"Gaunmu tidak nyaman untuk dipeluk," keluhnya.
Aku tersenyum karena merasakan hal yang sama.
"Thank you, Sayang untuk semuanya."
"Harusnya aku yang berterima kasih," jawabku.
"Apa kita akan berdebat sepanjang malam?" tanyanya.
Aku menggeleng. Aku tidak ingin berdebat atau pun ribut.
Kebahagiaan terlihat sempurna saat acara resepsi berjalan dengan baik. Bagiku ini seperti pesta perayaan kemenangan Bang Danen.
"Kenapa kamu lebih banyak diam?" tanyanya.
"Aku mencoba menikmati rasanya menjadi ratu sehari," jawabku diplomatis.
"You're my queen," ucapnya sambil tersenyum lebar.
"You're my boss," jawabku sambil tertawa.
Pria itu seketika cemberut.
"Apa masih ada lagi yang harus dilakukan setelah ini semua selesai?" tanyaku.
"Maksud kamu?"
"Urusan hukumnya?"
"Tentang saham? All is clear.
"Baguslah. Itu berarti urusan dengan Pak Arman sudah selesai," kataku menyimpulkannya.
"Seharusnya, tapi entahlah, saat ini ia tidak bisa ditebak. Kami berada di dua kutub yang berbeda."
Aku mengangguk paham.
Setiap ada kesempatan aku suka memperhatikan bang Danen. Ia memang bukan pria yang sempurna, tapi aku menyayanginya.
Jatuh cinta? Tentu saja. Apakah bang Danen merasakan hal yang sama? Aku rasa ia hanya terbawa dalam tokoh sandiwara yang kami ciptakan. Perlahan perasaan itu akan menghilang saat kesadaran datang.
***
Ia memelukku dari belakang saat aku keluar kamar mandi dengan bathrobe dan rambut basah habis keramas.
"Seksi sekali," bisiknya seraya mengecup pelipisku.
Aku tersenyum dan berbalik menghadapnya. Aku menggoda dengan menyusupkan tangan ke dadanya.
"Minta cium," kataku semakin berani.
Pria itu tersenyum dan dengan senang hati memberikan apa yang aku minta.
"Naughty!" bisiknya.
"Memang siapa gurunya?" kataku seraya kembali mencium bibirnya.
Kami larut dalam permainan cinta. Aku ingin meninggalkan kesan terbaik untuknya.
***
Aku menatap pria yang terlelap itu cukup lama. Sudah seminggu ini aku menikmati setiap saat bersamanya. Mau sampai kapan aku akan membohongi diriku sendiri?
Ingatan tentang malam itu berkelebat. Aku tidak ingin menjadi pihak yang dicampakkan saat ia bosan. Perjanjian itu sudah berakhir.
Cincin pernikahan, cincin blue sapphire dan ATM miliknya sudah aku kemas rapi dalam sebuah amplop.
Saat pagi datang, ia berangkat ke kantor, dan Mama sibuk dengan kegiatannya. Aku akan pergi.
Pria itu menggeliat bangun dan menatapku.
"Why do you look at me like that?"
Aku tidak mau menjawabnya. Aku memilih untuk memeluknya selagi bisa.
"Kapan mau honeymoon?" tanyanya seraya membalas pelukanku.
"Nanti. Saat ini dirimu sibuk dengan kantor. Hampir setiap hari, Abang pulang menjelang malam, itu pun kadang masih membawa pekerjaan dari kantor," kataku seraya mengusap keningnya.
"Kalau di rumah setidaknya, aku bisa melihatmu sambil mengecek email dan file," jelasnya.
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Ayo bangun, saatnya ke kantor sebentar lagi," kataku seraya melepaskan diri dan duduk
Ia memeluk perut dan menciumi punggungku.
"Malas, hari ini aku ingin di sini saja," katanya tidak mau menjauh.
Mataku berkaca-kaca. Apa ia tahu kalau aku akan pergi?
"Ih, pemalas. Katanya mau kerja keras agar punya waktu untuk liburan," kataku seraya melepaskan tangannya.
Ia pun tertawa.
"Siap, Boss. Minggu depan kita bisa kabur ke Bali," katanya sambil turun dari tempat tidur.
Ia pun mandi. Aku mempersiapkan baju yang akan dipakai. Baju itu ia pakai waktu kami pertama bertemu. Bang Danen mungkin sudah melupakannya.
Pria itu keluar kamar mandi dengan handuk yang terlilit di perutnya.
"Kamu tampak kurang sehat, nanti tidak usah mengantarku turun," katanya seraya menangkup wajahku.
Aku mengangguk. Ia pun ganti baju dan menyisir rambutnya.
"Perlu aku panggil dokter ke rumah?" tanyanya sebelum keluar kamar.
"I'm okay."
"Call me if you need me," katanya sekali lagi.
Aku tersenyum dan menatapnya untuk yang terakhir kali.
Jalan takdir memang mempertemukan kami, tapi setiap perjumpaan pasti ada perpisahan.
Terima kasih sudah memenuhi perjanjian yang kita buat. Aku senang bisa memenuhi keinginan Bapak. Sekarang aku pun bahagia, impian Abang sudah tercapai.
Aku minta maaf sudah banyak merepotkan dan tolong sampaikan pada Mama, terima kasih sudah mengurus semuanya begitu sempurna.
How lucky I am having something that makes saying goodbye is so hard. Itu kata Winnie the Pooh dan sekarang aku memahaminya.
Best Regards,
Laras
***
Ini last part yes karena kudu ngejar editing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top