Part 2
Pria di hadapanku bukanlah pria sembarangan. Kekayaannya berlimpah dan terkenal suka gonta-ganti pasangan terlebih dia memang tampan. Aneh rasanya tiba-tiba dia ada di aplikasi dan men-swipe profilku yang biasa saja.
Aku sengaja swipe dan match karena rasa penasaran. Apa sebenarnya mau Pak Danen padahal jelas dia tidak tertarik padaku? Peristiwa memalukan di mana aku terpeleset dan diselamatkan olehnya sudah terjadi beberapa beberapa bulan lalu. Andai dia ada perasaan mungkin tidak perlu menunggu selama ini terlebih kami tidak pernah bicara sama sekali. Jabatannya dan desk job-ku tidak berkaitan.
Aku tidak tertarik pada playboy semacam dirinya dan sekarang rasa ingin tahuku semakin memuncak. Dia terang-terangan memintaku memanggilnya sayang? Beuh, jelas pria ini penuh modus.
"Sayang?" tanyaku pelan.
"It's so clear, bukankah kita mendaftar di Madam Rose untuk menemukan pasangan? Aku rasa kita akan menjadi pasangan yang cocok," jawabnya dengan senyum menggoda.
Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Ingin aku berkata kasar, tetapi bagaimanapun, Pak Danen adalah bos di kantor yang bisa memecatku kapan saja. Karierku berada di tangannya.
"Tergantung niat kita apa, dan setahu saya, kita bisa keluar dari keanggotaan atau melaporkan seseorang apabila ada niat yang tidak baik," sindirku sambil membalas senyumannya.
Pria itu terus menatap seolah dia mencoba membaca pikiranku.
"Ucapanmu malah membuatku berpikir yang tidak-tidak."
"Coba saja kalau berani!" jawabku menantangnya.
Pak Danen tersenyum lebar.
"Cantik, ini bukan soal berani. Kamu pikir aku takut? Aku malah khawatir kamu yang tidak bisa menolaknya."
Aku menatapnya semakin tajam.
"Baiklah, aku minta maaf kalau keterlaluan. Sebaiknya to the point saja ... Aku bermaksud menikah denganmu."
Aku rasa pria ini benar-benar gila. Aku bukan tipe perempuan yang mudah terbuai dengan ucapan manis. Rivano, mantan pacarku sudah banyak mengajarkan kalau janji manis itu berujung dusta. Pak Danen mungkin sedang stres.
"Kamu tidak percaya?" tanyanya memecah keheningan.
"Sebaiknya saya pulang saja, Pak. Rasa penasaran saya sudah terbayar lunas," jawabku ketus.
"Please, saya minta minta maaf karena terlalu straight forward," ucapnya seraya memintaku tetap duduk.
Pria itu tersenyum saat melihatku akhirnya kembali duduk.
"Pertama, cukup panggil saya Danen atau Abang. Jangan panggil saya, pak atau bos. Di kantor kamu adalah karyawan, tetapi di luar kita sama saja. Tidak ada yang posisinya lebih tinggi atau rendah."
Sorot matanya tampak memperlihatkan kejujuran.
"Coba katakan, sebenarnya apa yang membuatmu mendaftar aplikasi Madam Rose?" tanya Pak Danen sambil tersenyum.
Aku terdiam mempertimbangkan untuk jujur atau tidak. Bagaimanapun dia setidaknya pria yang familiar dibandingkan dengan beberapa pria yang aku kenal melalui daring, hanya saja aku rasa kami tidak akan cocok.
"Kita baru berbicara beberapa menit dan Bapak sudah membicarakan soal pernikahan. Are you out of your mind? Soal alasan saya mendaftar ke Madam Rose itu urusan pribadi," jawabku mencoba mengelak.
"Kalau bisa kita bicarakan secara singkat kenapa butuh waktu berjam-jam atau bahkan bertahun-tahun. I wanna get married as simple as that," balasnya tenang.
"Pasti ada alasannya," selidikku ingin tahu.
"Bagaimana kalau kita pesan makan dulu?" ucapnya mengalihkan perhatian.
Dia tidak memberiku kesempatan berbicara. Ia memberikan kode pada pelayan agar membawakan kami menu. Terpaksa aku diam. Pria itu melakukan segalanya tampak natural. Pesanannya cukup banyak. Aku rasa Pak Danen berusaha menahanku cukup lama di tempat ini.
"So, sampai dimana kita tadi?" tanyanya dengan tatapan jenaka.
Aku hanya menaikkan alis dan tidak menjawabnya.
"Baiklah. Saya harus menikah segera. Salah satu wasiat Kakek saya seperti itu."
Hah? Alasan macam apa?
"Anda berharap saya percaya?" tanyaku heran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Bagaimana denganmu? Kenapa kamu mendaftar aplikasi itu?" cecarnya.
"Bapak saya sedang sakit parah. Beliau meminta agar saya segera menikah."
"Biar apa? Alasanmu pun tidak jauh beda denganku," jawabnya seraya menerima minum pesanannya.
"Bedanya saya tidak ingin menikah dengan anda," bisikku sambil tersenyum lebar.
"Kenapa? Aku rasa ini akan menjadi deal yang menarik."
"Deal?"
"Di mana lagi kamu bisa mendapatkan pria yang bersedia menikah dalam sekejap? Aku adalah kandidat yang tepat."
Aku terdiam. Bosku tampaknya sudah gila. Begitu pentingkah menikah hanya demi harta?
"Sepertinya warisan itu bernilai fantastis," tebakku.
Pria itu tanpa malu atau sungkan langsung terbahak-bahak. Memang ada yang lucu?
"Gadis yang terlalu lugu. Anyway, kalau kamu tidak ingin menikah secara sungguh-sungguh. Bagaimana kalau kita menikah, tetapi hanya sandiwara?" tanyanya seolah mendapat ide.
"Apa untungnya buat saya?" jawabku ketus.
"Kamu bisa pilih uang atau jabatan sebagai kompensasi atau malah keduanya. Aku bisa mengaturnya. Sebutkan berapa yang kamu mau?"
"Saya hanya akan menikah dengan pria yang membuat saya jatuh cinta," cetusku asal.
"We don't have time. Waktu kita sama-sama mendesak. Kamu cantik, dan cerdas. Orang akan mengira kita jatuh cinta karena sering bertemu di kantor. Orang pasti akan percaya. Kelak kita bisa mengurus pembatalan nikah. Semua orang bahagia dan masalah kita terpecahkan."
Aku terdiam memikirkan ucapannya. Makanan satu per satu pun mulai terhidang. Aku mempergunakan jeda untuk mengambil napas panjang. Pria ini adalah seorang negosiator ulung. Aku merasa sulit menjawab, idenya yang begitu mengejutkan.
Pak Danen dengan santai menikmati makan malam. Dia tidak terganggu dengan tatapanku. Menikah dengannya? Ya, ampun sepertinya aku ikut gila. Bagaimana mungkin saat ini aku mempertimbangkan idenya itu?
Alasan yang ia kemukakan masuk akal. Pikiranku melayang pada sosok bapak yang telah beberapa kali menjalani kemoterapi. Badannya yang tinggi dan tegap, sekarang terkulai tidak berdaya. Tiba-tiba mataku berembun mengingat ucapannya.
"Ras, bapak dan ibumu ini bertemu di panti asuhan. Kami tidak punya kerabat dan saudara. Saat, ibumu berpulang, Bapak berjanji akan menjaga dan menikahkanmu dengan pria yang baik agar kamu tidak sebatang kara. Ajak Rivano ke rumah, biar Bapak yang bicara."
Aku segera menepis bayangan itu. Rivano? Bagaimana menjelaskan pada Bapak kalau pria itu menghilang begitu saja dengan dalih kesibukan dan tanpa kabar.
Memikirkan kondisi Bapak malah membuatku merasa bersalah. Tidak mungkin aku mengecewakan saat beliau dalam kondisi yang tidak baik. Dapatkah aku memenuhi harapannya sedangkan Vano tidak bisa diharapkan?
Apakah ini berarti jawaban Allah akan doa-doaku? Apakah seorang Danendra adalah jawaban? Pria itu tersenyum misterius, tatapannya seakan bisa membaca pikiranku.
Aku meletakkan sendok dan garpu. Mengusapkan lembut serbet makan ke mulut. Keputusanku sudah bulat.
"Baik, saya terima deal yang anda tawarkan," jawabku dengan suara bergetar.
Pak Danendra tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan tanda sandiwara akan dimulai. Ini keputusan paling gila dan aneh yang pernah aku setujui.
***
Pak Danen memberikan kode izin untuk mengangkat teleponnya, pria itu meninggalkan meja makan. Tampaknya ada masalah serius yang sedang terjadi. Aku berinisiatif meminta bill pada pelayan. Walau aku bukan orang kaya, kalau hanya untuk membayar makan malam aku masih sanggup terlebih restoran ini aku yang memilihnya.
Pelayan menghampiriku dengan ramah. Tatapanku tertuju pada beberapa hidangan yang masih tersisa banyak dan belum tersentuh.
"Bolehkah saya membawanya pulang?" tanyaku.
"Tentu saja boleh. Sebentar, ya," ucapnya seraya membereskan hidangan.
Aku menerima bill dan menunggu dengan sabar. Pak Danendra pun kembali menghampiri meja kami. Ia memberikan kode memanggil pelayan.
"Mas, minta bill-nya!"
"Oh, sudah dibayar, Pak," ucap pelayan itu seraya menyerahkan makanan yang sudah dibungkus.
Pria itu menatapku penuh tanya. Mungkin aneh baginya saat melihatku mengurusi makanan sisa. Hanya saja ia tidak mengucapkan apa pun.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita pulang?" ajaknya tampak canggung.
Mungkin baginya hal ini cukup memalukan, tapi aku tidak peduli. Ia boleh saja membatalkan perjanjian kami tadi bagaimanapun ini sudah terlanjur terjadi.
Pak Danen berdiri dan menghampiri. Aku menolak bantuannya dengan senyuman. Tangannya meraih kantong plastik dengan santai. Entah, apakah pria itu akan mengomel di luar?
Dia mengulurkan tangan kanannya dan meraih tanganku dengan erat. Rasa hangat mengalir ke jemariku. Pak Danen menatapku penuh arti. Sampai di depan, ia memberikan tiket valet parkir pada petugas.
"Saya rasa sampai di sini, Pak. Saya pulang naik taksi saja," ucapku seraya berusaha melepaskan tangan.
Pria itu malah memegangnya semakin erat. Aku menatapnya dengan penuh tanya.
"I just don't want my future wife to go home by herself," ucapnya seraya menatapku.
Ini sungguh aneh. Seorang milyader berdiri di sampingku dengan baju branded menenteng tas plastik.
"Sebaiknya ...."
"Ayo, masuk," ucapnya seraya membukakan pintu mobilnya.
Terpaksa aku menuruti keinginannya. Ia pun masuk dan mobil melaju pelan. Mobil berharga di kisaran dua milyar itu adalah mobil mewah pertama yang aku naiki. Kami sama-sama terdiam.
"Bapak tidak malu menenteng kantong plastik itu?" tanyaku penasaran.
Pria itu tertawa renyah.
"Kamu sangat unik. Perempuan pertama yang mentraktirku sekaligus membawa makanan pulang," sahutnya.
"Kamu tidak tersinggung?" tanyaku heran.
"Kenapa? Masih wajar sebenarnya. Di satu sisi cukup mengejutkan. Rumahmu sesuai dengan alamat yang ada di data kantor, kan?"
"Bapak tahu di mana rumah saya?" tanyaku heran.
"Well, bisa dicari di GPS. You're safe with me. Tenang saja, aku aman. Bukan pria aneh," jawabnya ringan.
"Bapak tidak ingin membatalkan perjanjian tadi?"
Ia hanya menggeleng pelan. Sesekali ia menatapku seolah menyakinkan sesuatu.
"Ada yang aneh?" tanyaku heran.
Ia mengangguk ringan.
"Apa?"
"Kita akan menikah dan kamu masih memanggilku bapak."
"Tapi itu, kan hanya sementara dan pura-pura," elakku.
"Makanya harus lebih meyakinkan," jawab Pak Danen tampak serius.
"Tapi tidak harus malam ini, kan?"
"The sooner the better, Baby."
Wait! Apa-apaan Baby?
"Kok diam, ayo coba panggil aku sayang!" kata Pak Danen tidak mau menyerah.
"Ssa-yang," ucapku dengan gugup.
"Iya, Sayang," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Bisakah dirimu bayangkan betapa anehnya sekarang. Aku memanggil bosku di kantor dengan sayang.
"Oh iya, kita harus memastikan tidak seorang pun tahu kalau ini adalah sandiwara, paham?"
Aku menatapnya dengan bimbang.
"Di kantor?" pancingku.
Aku tahu dia pasti akan memintaku bersikap profesional.
"Ah, ide bagus. Itu akan tampak bagus."
"Hah? Maksudnya?"
"Ya, kita harus bersikap layaknya sepasang kekasih-lah."
"Bapak sudah gila!" umpatku secara refleks.
"Sayang, bukan Bapak. Kalau kamu terus mengucapkan kata itu. Artinya kamu ingin punya anak dariku. Aku mungkin baru akan mengizinkanmu memanggilku bapak," tungkasnya tidak mau kalah.
Aku memelototinya. Dalam dua jam kami adalah pasangan yang akan menikah dan sekarang ia menyebut soal anak. God, please wake me up. Ini adalah mimpi paling aneh sepanjang hidupku.
Perdebatan kecil kami terhenti saat dia menghentikan mobil di depan gang rumahku. Bersyukur gang rumahku sempit. Aku hendak bergegas turun, tapi tangannya menahanku.
Kami bertatapan dengan intens. Entah apa yang ada dalam benakku saat itu. Apa ia bermaksud menciumku? Pria itu tersenyum.
"Panggil aku sayang sekali lagi sebelum kamu turun!" ucapnya pelan.
"Aku enggak mau!" tolakku.
"Yah baru minta dipanggil sayang doang. Belum minta cium," ujarnya menggoda.
"Baik, tapi jangan antar aku sampai masuk gang!" balasku memberikan syarat.
"Baiklah," jawabnya setuju.
"Sayang ... duh sayang banget memang kalau makanannya ketinggalan," ucapku seraya tertawa dan mengambil kantong plastik dari bangku belakang.
"Baiklah. Sampai jumpa besok. Jangan lupa jam makan siang, kamu ada kencan denganku," cetusnya mengejutkan.
Aku tidak ingin menjawabnya. Aku turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih. Segera langkah kaki ini membawaku ke rumah. Di depan rumah Wawan aku berhenti sebentar. Aku ketuk pintu rumah bocah yatim itu. Seorang perempuan paruh baya muncul dari dalam rumah.
"Tumben, ke rumah sudah malam. Dari rumah sakit?" tanyanya perhatian.
"Sore tadi pulang kantor ke rumah sakit. Ada rezeki diajak teman makan. Ini aku bawakan ini buat Wawan," ucapku seraya menyerahkan makanan itu.
"Ya ampun, Ras. Kamu ingat saja sama Wawan. Terima kasih banyak," ucapnya sambil tersenyum.
Aku menatap wajah Bu Sari sambil tersenyum. Janda dengan tiga orang anak itu mungkin memang miskin harta, tetapi kaya hati. Bersyukur aku mengenalnya.
Ponselku pun berbunyi. Sebuah pesan masuk.
[Jangan bengong. Buruan masuk rumah!]
Seketika aku menoleh ke belakang. Pak Danen menatapku sambil tersenyum.
"Sayang, aku pulang, ya!" teriaknya tanpa tahu malu.
Bu Sari, ibunya Wawan pun tersenyum lebar.
Duh!
Pak Danen! Ampun, deh!
Pria itu benar-benar di luar dugaan. Aku tidak tahu seperti apakah dia? Akankah ia berubah suatu saat nanti? Kemana perginya sosok cuek dan angkuh yang selama ini melekat pada dirinya?
Segera aku pamit, sebelum Bu Sari bertanya lebih banyak.
Aku mengeluarkan kunci pintu rumah dan bergegas masuk saat pintu terbuka. Saat masuk kamar ponselku kembali berbunyi dan pria itu kembali mengirimkan pesan.
Aku menggeleng pelan tidak percaya. Ada puluhan kata sayang tertulis di sana. Sengaja aku tidak membalasnya, tapi dia tidak mau menyerah. Panggilan telepon pun masuk.
"Kenapa tidak dijawab?"
"Harus jawab apa?" tanyaku kesal.
"Dijawab iya, Sayang, gitu."
"Iya, Sayang. Puas?"
"Belum. Diketik, dong. Biar kita jadi biasa," jawabnya konyol.
"Kalau tidak mau?"
"Bilang saja, kamu ingin aku terus menelponmu. Kamu rindu, ya?"
Segera telepon aku tutup. Duh, semoga aku tidak ikut gila.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top