part 15
Aku bersiap kembali ke rumah sakit. Koper kecil dan ransel sudah terisi baju ganti dan perlengkapan mandi. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Apa saja bisa terjadi pada Bapak saat aku tidak berada di sampingnya.
Mbak Sari yang sedang menyapu halaman belakang, menghentikan pekerjaannya. Setengah berlari ia menghampiri.
"Bu Laras mau kemana? Baru juga sampai," katanya.
"Kembali ke rumah sakit, Mbak. Takut ada tindakan sewaktu saya tidak ada di sana," ujarku memberi alasan.
"Pak Danen sudah tahu?"
"Takut ya kena marah lagi?" godaku.
Ia menjawabnya hanya dengan senyuman penuh arti.
"Mama ada?"
"Ada. Bu Laras tidak mau ketemu?"
"Sebaliknya, malah harus ketemu untuk pamit."
Mbak Sari tertegun mendengar jawabanku. Aku menahan tawa saat melihat ekspresinya. Kakiku pun melangkah masuk ke ruang keluarga. Mama sedang asyik menelpon seseorang. Ia menatapku sepintas dan tidak lama kemudian meletakkan ponselnya.
"Duduk!" ucapnya suara tajam.
Aku tersenyum dan menurutinya.
"Kamu sengaja menarik perhatian Danen?"
"Perhatian?"
"Sudahlah tidak perlu bersikap sok polos. Kalau kamu mau mengurus resepsi sendiri, silakan!"
Aku menarik napas panjang dan mencoba bersabar.
"Ma, saya minta maaf kalau menimbulkan masalah. Saat ini saya tidak bisa mengurus apa pun kecuali Bapak," jawabku jujur.
"Lha itu kamu sudah tahu. Bukannya bersyukur malah seolah kamu hendak mengadu kami."
"Saya tidak punya maksud seperti itu. Sekali lagi saya minta maaf. Mama sendiri tahu kalau di antara kami hanya sebatas menjalankan perjanjian. Kalau memang perjanjian itu memberatkan, sebaiknya saya mundur," kataku dengan tegas.
"Kamu mengancam saya?"
"Bukan mengancam. Memang itu kenyataannya."
"Kamu mau mundur begitu saja?"
"Maksudnya?
"Licik! Tidak semudah itu kamu mundur dan mempermalukan kami," serunya tampak emosi.
"Lalu maunya seperti apa?"
Perempuan ini benar-benar menguji kesabaran.
"Sikap kooperatif yang jelas. Jangan mengadu pada Danen yang tidak-tidak."
"Mama bisa pegang ucapan saya. Tidak ada satu kata pun yang akan terucap dari mulut ini soal resepsi dan lain-lain. Kalau Abang mengetahui sesuatu jelas itu bukan dari saya!"
"Lalu kami bawa koper dan ransel mau kemana? Minggat?"
"Saya akan menginap di rumah sakit. Jelas butuh baju ganti," jawabku tenang.
Perempuan ini yang awalnya menyulut api pertikaian dan sekarang ia tampak gelisah karena api mulai membesar.
"Kapan pulang?"
"Belum tahu," jawabku jujur.
Mama menyipitkan mata dan terlihat ingin melanjutkan perdebatan. Namun, sepertinya ia kehabisan kata.
"Saya pamit dulu," kataku seraya mengulurkan tangan untuk pamit.
Kali ini ia menerima hanya saja tanpa kata. Saat aku berdiri dan meraih koper, beliau berdehem. Aku menatapnya dan tersenyum.
"Dua hari lagi tester dari katering akan ke rumah, jam sepuluh pagi kamu harus datang. Aku tidak tahu selera kamu," katanya seraya kembali sibuk menatap ponselnya.
"Saya usahakan. Namun, apabila ada halangan, Mama bisa memilih apa saja. Saya tidak keberatan," jawabku enteng.
Wanita itu menatapku tajam.
"Sebenarnya apa, sih perjanjian kamu dengan Danen?"
"Sebaiknya Pak Danen sendiri yang bicara. Beliau yang menemui saya dan menawarkan perjanjian."
"Aku tidak akan tinggal diam kalau kamu macam-macam," ucapnya sengit.
"Maksud Mama apa?"
"Kamu tidak usah berpura-pura. Arman sudah menceritakan tentang mantan pacarmu yang pencuri itu. Suatu kebetulan yang aneh bukan, dia mendekati Arman dan kamu menjalin hubungan dengan Danen. Saya diam selama ini semata-mata demi Danen."
Aku menarik napas panjang. Ini menjelaskan kenapa perlakuannya tiba-tiba tidak mengenakan.
"Saya tidak bisa memberikan pembelaan atas tuduhan tersebut. Saya dan Vano tidak bertemu cukup lama. Kehadirannya di malam itu juga mengejutkan saya."
Mama terlihat tidak percaya.
"Begini saja, selama Pak Danen tidak ada di rumah, saya tidak akan tinggal di sini. Jadi Mama tidak perlu khawatir kalau ada sesuatu yang hilang."
Perempuan itu terlihat seperti sedang berpikir. Ia mungkin dilema, di satu sisi ingin mendepakku, tapi di sisi lain ia membutuhkanku untuk memenuhi wasiat. Aku tidak menyalahkannya. Bagaimanapun ia seorang ibu yang ingin terbaik untuk anaknya.
"Terserah kamu saja, ingat undangan sudah disebar. Jaga perilakumu! Andai aku menemukan hal yang mencurigakan, aku tidak segan untuk menghancurkanmu!" ancamnya.
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Jangan merasa di atas angin! Zefanya dengan senang hati akan mengambil posisimu bila kamu mundur. Kamu paham maksudnya?"
Aku kembali mengangguk.
"Ada lagi yang perlu kita bahas, Ma?"
Wanita paruh baya itu terdiam.
"Nanti aku kirimkan jadwal kapan fitting, pemilihan suvenir, dan dekorasi. Terserah kamu mau datang atau tidak," ucapnya dengan suara datar.
Aku pun pamit seraya membawa tas dan koper. Mungkin nanti sore atau besok pagi, aku bisa minta tolong agar koper itu bisa di kirim.
Kehidupan yang semakin berat kadang membuat kita harus mengeraskan diri. Maraknya kasus kejahatan kadang membuat kita jadi takut dan waspada. Ada kejadian seorang pembantu bersekongkol dengan pacarnya lalu merampok rumah majikan, dan masih banyak cerita yang mirip seperti itu terjadi.
Saat ini fokusku adalah Bapak. Aku berharap ada kabar baik hari ini. Soal Mama biar waktu saja yang menjawabnya. Hal ini membuatku yakin untuk mundur setelah perjanjian selesai. Pak Danen sudah melakukan bagiannya. Setidaknya ia membuat Bapak bahagia karena keinginannya terpenuhi. Sebentar lagi adalah giliranku untuk memenuhinya.
Perjanjian yang awalnya terlihat sepele ternyata sangat sulit saat harus dijalani.
Pak Bin memaksa agar boleh mengantarku ke rumah sakit.
"Tidak usah, Pak. Saya bisa naik taksi," kataku.
"Jangan begitu, Mbak. Baru kali ini saya kena marah Pak Danen. Saya yakin beliau begitu karena ingin istrinya aman. Namanya pengantin baru, masih sayang-sayangnya, tapi harus berjauhan."
Sayang? Ada-ada saja. Pak Bin membuatku terhibur, setidaknya kali ini aku tersenyum karena ucapannya lucu.
"Baiklah, tapi jangan ditunggu. Saya sudah booked kamar hotel untuk beberapa hari ke depan."
"Kok di hotel?" tanyanya dengan mengerutkan kening.
"Iya. Pak. Repot kalau harus bolak-balik. Walau di rumah sakit saya cuma bisa menunggu, setidaknya kalau ada yang penting saya bisa segera datang mau jam berapa pun," jelasku.
Pria itu akhirnya mengangguk paham. Ia membukakan pintu mobil dan mempersilakan aku masuk. Mobil Pak Danen membuatku memikirkan pemiliknya. Ada wangi khas dirinya yang tertinggal di sana. Aku rasa sampai kapan pun aroma ini tidak akan terlupakan.
***
Check in hotel dan melakukan pembayaran telah aku lakukan. Setidaknya seminggu ke depan aku akan tinggal di sini. Tugas berikutnya adalah mencari perawat yang bersedia menjaga Bapak. Aku tidak bisa standby dua puluh empat jam terlebih lagi kondisi ini tidak tahu sampai kapan. Aku butuh fisik dan mental yang kuat.
Aku membawa kartu penunggu, dan mengecek tas sebelum ke rumah sakit. Power bank, charger dan buku tidak boleh tertinggal. Jam-jam panjang menunggu tanpa kepastian telah siap aku hadapi.
Aku berjalan kaki dari hotel menuju rumah sakit. Mampir sebentar ke minimarket untuk membeli minum dan roti. Aku rasa amunisiku untuk begadang sudah siap. Berjalan sendirian di sepanjang koridor menuju ruang ICU membuatku berpikir tentang banyak hal. Jujur, aku belum siap menerima kabar buruk. Doa pun aku bisikan berulang.
Aku berhenti sebentar untuk menunjukan kartu penunggu. Walau satpam sudah hafal, tapi namanya prosedur tetap harus dilakukan.
"Semoga Bapak cepat membaik," ucapnya saat menyerahkan kembali kartuku.
"Amin. Terima kasih, Pak."
Aku melanjutkan langkah dan kembali larut dalam doa.
"Ras," panggil seorang perempuan membuatku menoleh.
"Bu Mayang," sapaku ramah.
"Kita sepertinya akan meronda lagi berdua," katanya seraya menghampiri.
"Bagaimana dengan kondisi suaminya, Bu?"
"Masih sama. Aku pun beberapa kali menyempatkan diri tadi menengok bapakmu saat masuk. Beliau juga belum siuman sepertinya kita berdua harus berdoa lebih banyak lagi."
Aku mengangguk setuju. Aku menyerahkan satu kantong plastik berisi makanan dan minuman untuknya. Ia pun berterima kasih.
Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan. Namun, aku bersyukur di saat seperti ini mendapatkan teman yang sepenanggungan. Merasakan dan melewati hal yang sama membuat kami akrab. Tidak jarang kami pun bergantian jaga.
"Bagaimana kabar anak-anak?" tanyaku.
"Baik. Beruntung anak-anak sudah besar jadi bisa mengurus dirinya sendiri. Alfan sedang ketemu klien. Dia bilang sebentar lagi akan datang. Nanti aku kenalkan, ya," ucapnya sambil tersenyum penuh arti.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Tidak mungkin juga aku menolak tawarannya.
"Anakku ganteng lho, sudah lumayan mapan dan belum beristri," kata Bu Mayang promosi.
"Wah, tinggal tunggu calon yang tepat," balasku.
"Iya. Belum ketemu yang cocok. Siapa tahu berjodoh denganmu," lanjutnya.
Aku yang sedang minum, nyaris tersedak.
"Bisa saja, Bu," jawabku kikuk.
"Nah, itu dia. Panjang umur!"
Aku pun menoleh ke ujung koridor. Seorang pria dengan tampilan casual sedang mendekat. Celana jeans dan kemeja yang digulung lengannya membuatnya tampak macho. Wajahnya memang tampan, pantas kalau ibunya begitu memujinya.
"Kenalkan, ini Alfan," kata Bu Mayang saat pria sudah berada di sisinya.
"Laras," jawabku.
Pria itu tersenyum lalu mengangguk.
"Siapa yang sakit?" tanyanya membuka percakapan.
"Bapak," jawabku singkat.
"Sama."
Ia pun mengeluarkan beberapa pertanyaan basa-basi.
"Tumben, mau ngomong banyak," kata ibunya yang membuat pria itu salah tingkah.
"Kalau diam saja nanti dikira patung," jawabnya membuatku ikut tersenyum.
Obrolan pun mengalir cukup lama. Aku lebih banyak menjadi pengamat. Sosok bu Mayang mengingatkanku akan Ibu, cerewet, tapi bukan dalam artian negatif. Ia banyak bicara karena peduli dan perhatian.
"Jelaskan, sekarang kenapa aku lebih banyak diam. Ibu kalau sudah bicara itu menggemaskan. Sampai tidak bisa gantian," ucap Alfan sambil mencolek pipi Ibunya.
Bu Mayang pun tertawa renyah. Interaksi keduanya terlihat menyenangkan. Natural dan hangat. Aku iri melihatnya.
"Nanti, Ibu pulang dijemput Alifah. Biar Alfan yang menunggu malam ini," kata pria itu seraya duduk di sebelah ibunya.
Pria itu sesekali mencuri pandang ke arahku dan tersenyum. Aku pun jadi kurang nyaman. Saat Bu Mayang pamit. Aku segera pindah tempat duduk.
"Mas, aku pindah ke sana yang lebih terang. Mau baca novel," pamitku sambil berdiri.
Sengaja aku tidak memberikan kesempatan untuk ngobrol lebih panjang. Bisa jadi aku hanya sekedar salah tangkap dengan perhatiannya. Namun jalan terbaik adalah menjauh. Aku tidak perlu drama tambahan saat ini.
Jam sepuluh malam lebih, pria itu menghampiri.
"Ras, mau teh atau kopi? Boleh juga kalau mau titip sesuatu, aku mau ke depan sebentar," tawarnya.
"Tidak usah. Air mineralku masih banyak. Kalau minum kopi, takut tidak bisa tidur," tolakku.
"Yakin?"
Aku segera mengangguk. Pria itu malah menatapku dan terdiam cukup lama.
"Ada apa?"
"Eh, iya maaf. Aku mau ngomong apa malah lupa," katanya seraya menggaruk keningnya.
Aku pun tersenyum.
"Ah, iya. Ini nomor ponselku. Tolong kabari kalau ada kabar tentang bapakku," katanya seraya menyerahkan secarik kertas.
Aku mengangguk dan menerimanya. Pria itu pun berlalu. Aku melanjutkan bacaan yang ada di tangan. Sebuah pesan masuk.
[Aku baru bangun. Mungkin saat ini kamu sudah tidur. I just wanna say that I miss you a lot. Sweet dream, Sayang]
Aku hanya membaca dari notif dan sengaja tidak menjawabnya. Mungkin mulai menata jarak adalah jalan yang terbaik agar saat kami berpisah rasanya tidak terlalu sakit. Pak Danen pria pertama yang membuatku merasa dicintai, bohong kalau aku tidak merasa tersanjung. Hubunganku dulu dengan Vano sangat datar. Ia mencium pipi pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun saat ulang tahun.
Sedangkan Pak Danen yang aku pikir dingin dan cuek ternyata kebalikannya. Ia terlalu seksi dan panas. Ya ampun, pikiranku malah kemana-mana.
"Ras," panggil Alfan yang ternyata sudah kembali.
"I-iya," jawabku gugup.
"Makan dulu, aku lihat dari tadi sore kamu belum makan," katanya seraya menyerahkan dua buah kotak berlabel restoran ayam goreng waralaba.
"Aku tidak lapar. Mas saja yang makan," tolakku halus.
"Sudah makan dulu. Sudah dibeli juga, mubazir kalau tidak dimakan," bujuknya.
"Satu saja, ya. Ini terlalu banyak," kataku sambil mengembalikan salah satunya.
Ia pun mengangguk.
"Boleh duduk di sini?" tanyanya seraya menunjuk bangku di samping.
Aku mengangguk mengizinkan.
"Kata ibuku, kamu tidak punya siapa-siapa kecuali bapak. Memang benar begitu?"
"Dulu iya," jawabku sambil tersenyum.
"Dulu?"
"Iya. Aku sudah menikah."
"Oh."
Aku sengaja memberitahunya agar tidak salah sangka dan menjaga jarak.
"Aku terlambat rupanya," katanya sambil tersenyum.
Kami pun terdiam.
"Ayo dimakan dulu, kalau dingin tidak enak," ucapnya saat melihatku belum juga mulai makan.
"Suami kamu kerja di mana? Siapa tahu aku kenal."
"Pekerja kantoran biasa."
"Cinta lokasi?" tanyanya seraya makan kentang goreng.
"Bisa dibilang begitu."
"Sepertinya aku salah pilih tempat kerja. Di warehouse dan bengkel semua laki-laki," katanya sambil tertawa.
"Teman kantorku banyak yang single. Mau aku kenalkan?" tawarku.
"Boleh."
Obrolan santai pun mengalir. Jam sebelas malam aku pamit ke hotel. Seorang penjaga pasien yang direkomendasikan oleh pak Bin sudah sampai. Ia akan menunggu sampai jam delapan pagi.
"Kartu penunggunya, saya kembalikan besok pagi, ya?"
"Dibawa saja Pak. Mungkin besok saya akan minta kartu satu lagi," kataku saat menemui di pos satpam.
"Baik, Mbak. Mulai besok jam sembilan malam saya sudah di sini," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih banyak, Pak. Saya pergi dulu," pamitku.
Pria itu malah mengikutiku. Aku berhenti dan berbalik.
"Bapak kenapa mengikuti saya?" tanyaku waswas.
"Pak Bin bilang suruh temani Mbak sampai hotel. Sudah larut malam."
"Saya berani, Pak. Lagian dekat," kataku menolak.
"Tidak apa-apa Mbak daripada nanti saya kena masalah," jawabnya.
Sampai di depan hotel, pak Bambang pun pamit. Aku sudah masuk lobi dan baru ingat belum memberinya uang. Aku pun berbalik dan menyusulnya mumpung belum jauh.
Saat aku hendak memanggilnya. Pria itu ternyata sedang melambaikan tangan ke sebuah mobil. Pak Bin? Ya ampun semoga dia tidak seharian menunggu di sana. Mobil itu pun melaju sebelum aku memanggilnya. Jujur, aku merasa bersalah karena sudah merepotkannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top