part 13


Aku ingin tahu apakah Laras akan terus terang soal ajakan Vano. Gadis itu bersikap biasa saja sepanjang pagi ini. Tiba di rumah sakit. Laras meminta agar aku, babysitter, dan Mario untuk menunggu di mobil karena memang anak kecil dilarang masuk. 

"Mau aku temani?" 

"Tidak usah, aku hanya sebentar," pamitnya seraya keluar dari mobil. 

Aku menatapnya hingga hilang dari pandangan. 

"Mobil apa?" tanya Mario seraya menunjuk ambulance yang baru masuk.

Bocah itu berminat dengan lampu dan suara sirinenya. Selama beberapa menit ia hanya membahas hal yang sama. 

"I want one," katanya dengan mata masih terus tertuju pada ambulance itu. 

"Ok, Boy. We'll buy one later," kataku seraya mengelus rambutnya. 

Tidak lama kemudian Laras keluar. Ia tersenyum dan minta maaf karena telah membuat kami menunggu. 

Tujuan kedua pagi ini adalah ke rumah Laras. Sejauh ini belum ada tanda-tanda ia akan bercerita. Ingin rasanya aku memancingnya untuk bercerita, namun mungkin sekarang bukan saat yang tepat. 

Mario terlihat senang diajak jalan. Ia banyak bertanya. Hingga sampai di rumah Laras pun, bocah itu belum terlihat bosan. 

"Aku ke rumah ibunya Wawan dulu. Abang ajak Mario panen jambu dan mangga, ya," ujarnya saat pamit keluar. 

Tampaknya Laras sudah mempunyai rencana tersendiri. Ibunya Wawan menyapaku dengan ramah. 

"Jadi ini mau boyongan?" tanyanya membuka percakapan.

"Iya."

"Kenapa semua perabot ditinggal? Apa tidak sayang?" tanyanya heran.

"Lebih mudah begitu. Ibu ambil saja yang sekiranya dibutuhkan. Selebihnya nanti biar Pak Man yang mengurus," jawab Larasa. 

Aku bisa melihat senyumannya, tapi sorot matanya terlihat sedih. 

"Uncle, kucing." 

"Iya," jawabku sambil melihatnya berjongkok mendekati kucing. 

Tangannya terulur dan kucing itu malah merebahkan diri di kaki Mario. Bocah itu seketika berteriak kegirangan. 

Cukup lama Laras berada di dalam rumah. Ia keluar dengan membawa sebuah koper besar. 

"Cuma satu?" tanyaku heran. 

"Iya. Baju Bapak biar nanti dirapikan dan dititipkan dulu. Selebihnya tidak ada yang perlu dibawa. Surat  dan dokumen penting sudah aku ambil," katanya seraya menyeret kopernya. 

"Tante Laras, kucing," kata Mario menarik perhatian. 

"Itu Imeng, kucingnya Mas Wawan," jawab Laras. 

"Imeng … imeng." Mario terus mengulang namanya. 

Babysitter Mario yang panen jambu dan mangga tampak antusias. Semua orang tampak bahagia, hanya aku sendiri saja yang masih terbelenggu dengan telepon pagi tadi. 

Laras menitipkan kunci rumah, lalu pamit. Aku mengangkat koper dan Mario digendongnya. Babysitter Mario membawa kantong plastik besar berisi mangga dan jambu. 

"Saya berasa sedang pulang kampung, Bu," katanya sambil terus tersenyum. 

***
Suasana mal cukup ramai menjelang jam makan siang. Restoran pun menjadi destinasi berikutnya. Beruntung ada tempat makan yang ramah anak. Ada tempat bermain dan pilihan menunya pun beragam. Aku duduk di sebelah Laras. Sesekali aku sengaja melingkarkan tangan ke pinggangnya. 

Ponsel Laras berbunyi cukup nyaring. Ia bergegas mengambilnya dari tas. Aku penasaran siapa peneleponnya. 
Lagi-lagi nama pria itu terpampang di layar. 

"Kamu boleh mengangkatnya," sindirku. 

Laras menoleh. Ia lalu menggeleng. 

"Kenapa? Karena ada aku?"

"Bukan," jawabnya singkat.

"Lalu?"

"Malas saja." 

"Kemarikan ponselnya biar aku yang angkat," kataku tidak sabar. 

Laras langsung menyerahkan begitu saja. 

"Yakin?" tanyaku sekali lagi. 

"Yakin," jawabnya cepat. 

Aku menggeser bulatan hijau yang ada di layar lalu mengangkatnya. Sengaja aku berdiri dan berjalan keluar restoran.

"Akhirnya kamu angkat juga. Kapan kita bisa bertemu?"

"Aku melarangnya," jawabku santai. 

"Melarang?" 

"Tentu saja."

"Kenapa tidak kamu lepaskan saja Laras. Dia tidak mencintaimu."

"Kamu yakin?" 

"Tentu saja. Laras adalah gadis yang baik dan setia." 

"Kalau setia mengapa ia mau menikah denganku?" 

"Kamu memperdayainya. Arman sudah cerita banyak." 

"Anggap saja aku curang, tapi kamu bisa apa?" pancingku. 

Pria itu mengeluarkan berbagai macam umpatan. 

"Jangan terlalu percaya diri. Aku akan mengambilnya kembali." 

"Sebaiknya kamu menyingkir. Jangan campuri urusan rumah tangga orang," jawabku dengan tenang. 

"Kita lihat saja nanti siapa yang menang. Aku penasaran bagaimana kalau bapaknya Laras tahu siapa kamu dan rencana busukmu," ancam Vano.

Sialan!

Pria itu hendak bermain kotor. Bapaknya Laras pun dilibatkan. Aku terdiam dan berpikir bagaimana agar hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana Bapak berharap Laras menikah dengan bedebah itu. 

"Orang sedang sakit pun kamu libatkan. Hanya pengecut yang turun ke medan laga, menggunakan tangan orang lain," cemoohku. 

"Abang, pesanannya sudah datang," kata Laras menyusul. 

"Iya, Sayang. Sebentar aku menyusul," kataku tanpa menutup telepon. 

"Danendra, hidupmu tidak akan tenang," ancamnya dan panggilan itu pun terputus. 

Aku kembalikan ponsel pada Laras. 

"Vano mengancam akan mengadu pada Bapak," kataku seraya kembali duduk. 

"Mengancam bagaimana?" tanya Laras tampak khawatir. 

"Ia akan membeberkan semuanya," jawabku ringkas.

"Aku akan menelponnya nanti untuk mencegah hal itu," jawab Laras.

"Tidak usah. Aku ingin tahu seberapa jauh ia berani bertindak," tolakku. 

Gadis itu menarik napas panjang. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. 

"Everything is gonna be ok," kataku menenangkannya. 

Laras tidak menjawabnya. Aku tahu ia sangat khawatir. Suasana makan pun kurang menyenangkan. 

Setelah membeli beberapa keperluan, dan mainan untuk Mario, kami pun bersepakat untuk pulang. 

Aku benar-benar membenci pria itu karena membuat suasana jadi tidak menyenangkan. Terlebih besok aku harus pergi. Saat ini aku sedang mempertimbangkan untuk membatalkan perjalanan. Aku khawatir meninggalkan Laras dalam keadaan seperti ini. 

***

Dalam kamar, Laras tampak gelisah. Gadis itu bersedia menikah demi menyenangkan Bapak, dan sekarang Vano akan menghasut pria yang sedang tidak berdaya itu. Mungkin menghasut bukan kata yang tepat. Lebih tepatnya 'membongkar rahasia' kami. 

Damn! 

"Kemarilah," bujukku saat Laras terus menatap ponselnya. 

Gadis itu melangkah mendekat. Aku membawanya ke dalam pelukan. 

"Kita akan tunjukkan pada Bapak kalau itu semua hanya bualan Vano. Aku putuskan untuk tetap berada di sini, hingga masalah ini clear," bisikku.

Laras mendongak menatapku dengan tatapan terkejut. 

"Abang harus pergi. Soal Bapak, aku yang akan mengurusnya. Nanti aku akan hubungi pihak rumah sakit untuk membatasi pengunjung selain keluarga," jawabnya tampak yakin. 

"Kamu yakin?" tanyaku sekali lagi. 

Laras pun mengangguk. Harus aku akui kalau idenya cemerlang. 

"Sekarang, sudah hampir malam. Mau keluar?" tawarku. 

Laras pun menggeleng. 

"Apa hobi kamu?" tanyaku begitu saja. 

"Nonton," jawabnya. 

"Baiklah, kamu naik dulu ke tempat tidur!" 

"Mau ngapain?" 

"Nonton." kataku seraya menutup gorden agar pantulan cahaya dari lampu balkon tidak mengangganggu. 

Laras menurut, ia duduk bersandar pada headboard. 

Aku mengambil remote dan menyalakan tv. 

Laras menatapku dengan bingung. 

"Tampilan tv-nya seperti ponsel," katanya. 

"Android tv," jawabku seraya naik ke tempat tidur dan duduk di sisinya. 

Mencari channel khusus film dan memilih judul film, aku serahkan pada Laras. Gadis itu beberapa kali bertanya cara memakai remote. Film di mulai dan aku pun mencari posisi yang nyaman. 

Kebiasaan burukku adalah saat film yang kita tonton terasa membosankan, pasti aku tertidur. Sama seperti sekarang ini. Film drama keluarga pilihan Laras benar-benar membuatku bosan. Aku menguap berulang kali, hingga dengan hitungan menit aku tertidur. 

Suara ketukan pintu kamar, membuatku terbangun. Posisi tidurku terlihat cukup intim dengan Laras. Kepalaku berada di pangkuannya. Elusan tangan halusnya terhenti. Ia hendak berdiri, tapi aku menahannya. 

"Biarkan saja," ujarku enggan. 

Laras menatapku dan tersenyum. Ketukan itu terdengar lagi. 

"Masuk!" kataku dengan kesal. 

Pintu terbuka, Mario masuk dan berjalan mendekat.

"Tutup pintunya dulu, Rio!" kataku tegas. 

Bocah itu berhenti dan menoleh. 

"Sorry Uncle. Aku lupa," katanya seraya menutup pintu.

Mario kembali berjalan ke tempat tidur. 

"Are you napping?" 

"Yup." 

"Tapi ini sudah malam," protesnya. 

Aku langsung tertawa mendengar protesnya. 

"Napping memang tidur siang, hanya saja tadi sore, Uncle baru tertidur jadi bablas sampai malam," kataku seraya menatapnya. 

Laras memberikan kode agar Mario naik. Bocah itu tidak menolak. 

"Sudah makan?" tanya Laras.

"Sudah." 

"Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil menggeliat badan.

"Jam delapan malam," kata Laras. 

Aku tertidur hampir sejam lebih. 

"Kamu lapar ya?" tanyaku pada Laras. 

"Tidak terlalu," jawabnya. 

"Ayo naik motor ke depan. Ada yang jual mie enak," ajakku. 

"Ikut!" kata Mario 

"Kamu kan sudah makan," godaku seraya menggelitik perutnya. 

"Aku ikut ya, Tante Laras," rayunya. 

Kami pun tidak bisa menolak permintaannya. 

***
"Enak?" tanya Laras seraya menyuapkan mie rebus pada Mario. 

Bocah kecil itu mengacungkan jempolnya. 

"Ini coba, mie goreng," kataku seraya mengarahkan sumpit ke Laras. 

Ia pun tidak menolak. Gadis itu pun mengikuti gaya Mario. Bocah itu pun tergelak. 

Aku akan merindukan keduanya. Suatu saat, aku akan mengajak mereka traveling. Terutama dengan Laras. Aku akui kalau hati ini mulai mempunyai perasaan lebih. Entah ini ketertarikan sesaat atau tidak. Aku belum bisa menjawabnya. Dua minggu berjauhan dari Laras, aku rasa akan menjadi ujian pertama bagi kami. 

Aku tidak ingin malam ini cepat berakhir. Berulang kali aku menatap Laras dan perasaanku semakin berat untuk meninggalkannya. 

Seusai makan, kami pun langsung balik ke rumah. Mario sudah mengucek matanya berulang kali tanda ia sudah mengantuk. Saat memasukkan motor, aku baru tahu kalau bocah itu sudah tertidur. Babysitter-nya dengan cekatan mengambil Mario dari gendongan Laras dan membawanya masuk. 

"Mau jalan-jalan?" tanyaku.

Laras menggeleng.

"Ayolah cuma mengitari kompleks saja," ajakku. 

Laras akhirnya setuju. Ia pun naik lagi ke atas motor. Aku menarik tangan Laras agar memelukku. Motor pun kembali melaju. 

"Kamu ingin oleh-oleh apa?" tanyaku.

"Tidak usah."

Aku menghentikan motor setelah cukup jauh dari rumah. Tiba-tiba aku ingin mengungkapkan perasaanku, tapi masih ragu. 

"Kenapa berhenti?" tanya Laras. 

"Ingin menikmati saja, saat berdua denganmu," jawabku jujur. 

Laras tersenyum dan menunduk. Aku tidak tahu apakah, ia memiliki perasaan yang sama? Kekhawatiran paling besar yang aku miliki saat ini adalah saat kembali Laras sudah berubah. 

Gadis ini belum tahu betapa buramnya hidup yang aku jalani sebelum bertemu dengannya. Andai Laras tahu apa ia akan menjauh? 

"Ayo pulang, di sini banyak nyamuk," kata Laras memecah kesunyian. 

Aku pun menurutinya.

***
Laras sudah bersiap tidur saat aku keluar dari kamar mandi. 

"Minta peluk," kataku seraya menghampirinya. 

"Kalau tidak mau?" 

"Aku tidak akan memaksa," kataku pelan. 

Laras menatapku dengan heran. Anehnya, ia malah memberikan pelukan. Aku mendekap erat dan mengecupi kepalanya berulang kali. 

"Are you gonna be okay?" tanyaku seraya menangkup wajahnya. 

Gadis itu mengangguk yakin. Aku mencium bibirnya dengan lembut. Saat ini kembali muncul keinginan untuk membisikan cinta, tapi aku mengurungkannya. 

"Boleh aku tidur di sisimu malam ini?" bisikku. 

"Enggak," jawab Laras sambil tersenyum. 

What? 

Biasanya rayuanku dengan mudah meruntuhkan perempuan mana pun yang aku mau. Sekarang dengan enteng Laras menolak. 

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Takut timbul godaan," jawabnya santai.

"Lalu? Kita boleh tergoda dan berbuat apa pun," rayuku. 

"Dan pada akhirnya kita akan menyesalinya. Apabila tidak hati-hati perasaan kita akan mudah terbawa suasana. Ada perjanjian yang harus kita selesaikan," ucap Laras seakan menusuk hatiku. 

Apa yang ia ucapkan benar. Mungkin aku terlalu mendalami peran semu ini. 

"Ada yang perlu disiapkan untuk besok?" tanyanya mengalihkan percakapan.

Aku menggeleng. Laras mengurai pelukannya. Ia melabuhkan kecupan di pipiku. Ini pertama kali Laras mau mencium tanpa aku minta. Aku mendongakan kepala, mencoba menenangkan perasaan. Semoga saat kembali nanti perasaan ambigu ini menemukan kejelasan. 

***
Laras tidak menemaniku ke bandara. Ia pamit karena kondisi Bapak drop. Pelukan dan ciumannya sebelum pergi menghangatkan perasaanku. 

"Ayo aku antar," kataku saat Laras membangunkanku dini hari. 

"Tidak usah. Abang sebentar lagi harus berangkat. Doakan saja Bapak segera pulih," ucapnya menolak. 

"Aku bisa membatalkannya. Bapak lebih penting," kataku seraya duduk dan melemparkan selimut. 

"Abang, kondisi Bapak memang sering begini. Di sini tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali berdoa. Aku tahu niat Abang baik hanya saja urusan perjalanan ini juga penting. Jangan terlalu khawatir," ucapnya seraya meremas tanganku. 

"Kalau begitu biarkan Pak Bin yang mengantarmu. Mulai hari ini, beliau yang akan mengantarkanmu kemana pun sampai aku balik lagi," paksaku. 

Aku tidak ingin Laras ke mana-mana sendirian. Aku harus memastikan ia aman. Gadis itu mengangguk patuh. 

"Terima kasih banyak, Bang," pamitnya seraya mengulurkan tangan. 

Ia mencium tanganku dan melabuhkan kecupan di pipi. 

"Safe flight," bisiknya. 

Laras pun berjalan tergesa ke luar kamar. Aku menghampiri ranjang tempat semalam laras menghabiskan malam. Menyelinap masuk ke dalam selimut dan menikmati aroma Laras yang tertinggal, aku pasti akan merindukannya. Saat ini pun aku sudah rindu.

Aku mengecek semua dokumen yang akan dibawa berikut isi koper yang sudah disiapkan Laras. Semua sudah siap. Aku pun mandi dan berencana untuk sarapan di bandara. 

Aku sudah tiga kali menelepon Laras untuk memastikan ia sudah sampai dan baik-baik saja. 

"Bilang Pak Bin untuk menunggu di sana. Ia tidak boleh pulang kalau kamu tidak pulang!"

"Kenapa begitu?" 

"Kamu nurut saja. Kabari aku kalau ada perkembangan." 

"Iya, Abang sudah sampai bandara?" 

"Sebentar lagi. Please jaga diri baik-baik!" Kembali aku mengingatkannya. 

"Pasti. Sampai bertemu dua minggu lagi," kata Laras menutup pembicaraan. 

Aku memasukkan ponsel di saku, belum sampai beberapa menit benda itu bergetar. Aku mengambil dan segera mengusap layarnya. Sebuah pesan dari Laras masuk.

[Thank you so much untuk segalanya.]

Aku pun segera membalasnya.

[You're always welcome, Sayang. I miss you, already]

Lama tidak ada jawaban. Aku pikir Laras tidak akan membalasnya. Setiba di bandara dan check in saat aku ambil ponsel ternyata Laras menjawabnya.

[Me too. Take care!]

Sekarang belum pergi saja, aku sudah ingin pulang. Ini akan menjadi dua minggu terpanjang dalam hidupku. 

"Pak Danen, ganteng banget pagi ini," sapa Retha yang ternyata sudah datang lebih dulu di executive lounge. 

Aku hanya menjawabnya dengan senyum simpul. Pikiranku masih fokus pada jawaban Laras. Semoga ia benar-benar merindukanku. Entah sudah berapa kali kalimat singkat itu aku baca, namun dampaknya tetap sama. Aku tidak bisa berhenti tersenyum. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top