Part 1
Lampu remang-remang dan musik yang menghentak mewarnai malamku. Seorang DJ seksi memandu lagu dengan goyangan seksi. Pengunjung nightclub pun terbius adrenalin dan euforia seakan tanpa akhir. Biasa aku menikmatinya sampai subuh menjelang.
Kali ini aku bosan, ralat bukan kali ini saja, tetapi sudah beberapa minggu terakhir. Hanya saja ajakan Arman, saudara sepupuku, tidak dapat dielakkan. Kami duo badung dan biang kerok dari dulu. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan. Pertalian darah membuat kami semakin lekat satu dengan yang lain.
Mengenal rokok dan minuman keras sejak SMA kami lakukan bersama, terlebih saat dikirim kuliah ke luar negeri, kami semakin liar. Seks bebas dan pergaulan tidak sehat menjadi hal yang biasa. Obrolan kemarin dengan Mama, sedikit banyak membuatku berpikir. Mungkin ini saat yang tepat untuk meninggalkan semuanya.
"Selama kamu bisa bekerja dengan baik, Mama tidak ambil pusing dengan tingkah lakumu. Mama percaya kamu tahu bagaimana bermain dengan aman, tetapi kamu harus ingat ada wasiat Kakek. Batas waktumu tinggal beberapa bulan lagi," ucapnya di depan pintu kamar.
"Sial!" ujarku kesal.
Wasiat terkutuk itu seakan menghantui hidupku. Menikah sebelum berumur tiga puluh tahun atau melepaskan kesempatan memimpin perusahaan keluarga. Ternyata jadi anak yatim di usia belia membuat Kakek percaya kalau laki-laki dalam keluarga Wibisono tidak ada yang berumur panjang. Aneh! Padahal beliau meninggal di usia enam puluh empat.
Aku menatap ke setiap sudut, memperhatikan gadis-gadis cantik yang sedang berjoget. Banyak yang sudah aku kenal. Nightclub untuk high class customers tentu saja pengunjungnya kebanyakan dari kalangan kami sendiri. Tidak satu pun dari mereka menarik minat. Mungkin karena aku terlalu mengenal siapa mereka.
Zefanya, mantan pacarku tampak melangkah masuk. Aku menatapnya dengan enggan. Padahal dulu aku salah satu pemujanya. Membanjirinya dengan hadiah eksklusif dan mahal adalah suatu kesenangan. Pada akhirnya pun aku bisa mencicipi tubuhnya.
Pesona Fanya memang luar biasa, hingga aku menemukan kenyataan, kalau ia pecandu narkoba. Seketika rasa itu hilang begitu saja. Entah sudah berapa kali gadis itu mengemis agar kami bisa bersama lagi.
Aku menghisap kuat rokok, dan mengembuskannya ke udara. Arman yang mulai mabuk menarikku untuk turun. Aroma minuman keras menguar dari mulutnya.
"Nggak asyik, Bro. Lo nggak turun," ucapnya dengan sempoyongan.
"Malas. Cabut, yuk!" ajakku saat melihat kedua mata Arman sudah merah.
"Sini dulu aja, Bro. Ngapain pulang cepat?" tolak Arman.
"Bosan. Apalagi yang mau kita cari di sini?"
"Ah, karena Zefanya? Model seksi itu datang?" tebaknya asal.
"Ambil saja. Aku tidak peduli. Kalau lo nggak mau balik sekarang, gue cabut duluan," kataku seraya berdiri.
"Serah, Lo. Gue masih mau party!"
Aku berdiri dan memberikan kode pada waiter agar memasukkan tagihan ke rekening. Open bottle Jack Daniel platinum seharga tiga juta bukan nilai yang besar bagiku. Hanya saja aku bosan bangun tidur dengan kepala sakit dan hangover efek mabuk. Mungkin ini terakhir kali aku membeli minuman itu.
Aku tinggalkan Arman yang kembali turun untuk berjoget dan membuat keributan. Melangkahkan kaki ke parkiran ternyata tidak semudah itu. Zefanya menghalanginya. Gadis itu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Entah apa mau sekarang.
"Be mine tonight, Dan," ujarnya pelan.
"Kamu butuh berapa?" tanyaku lugas.
"Aku bukan pelacur!" ucapnya sambil menangis.
Sandiwara basi ini kembali terjadi.
"Aku tahu kamu bukan pelacur, tetapi beberapa gram sabu tentu lebih menyenangkan," sindirku pelan.
Gadis itu menatapku dengan kebencian. Tangannya terulur untuk menampar, sayang gerakannya terlalu gampang ditebak. Aku dengan mudah menangkapnya.
"Jangan berani-berani menamparku. Sampai kapan pun aku tidak tertarik padamu. Minggir!" bentakku seraya melepaskan tangannya.
Aku bukan berlagak sok suci. Hidupku pun cukup kelam. Hanya saja aku paling tidak suka berurusan dengan narkoba. Kehancuran pemakainya aku lihat sendiri di depan mata. Segera aku masuk dan men-stater mobil.
Apa hidupku akan terus begini? Bahkan dalam benak ini kematian tampak lebih menarik saat hidup terasa tidak punya tujuan
***
Pekerjaan selesai dan beberapa dokumen telah diserahkan kembali pada Retha, sekretarisku. Iseng aku menjajaki aplikasi pertemanan dan perjodohan. Beberapa syarat dan ketentuan aku cermati, sepertinya hanya aplikasi Madam Rose yang paling masuk akal.
Aku tertarik untuk mendaftar menjadi member VIP. Tentu saja, aku tidak ingin privasiku terbuka untuk umum. Mengisi data dan membayar sesuai petunjuk. Ternyata cukup mudah. Aku memasukkan beberapa kriteria gadis yang aku inginkan dan memilih near-by.
Beberapa foto tampak di layar ponsel. Hampir semua cantik, hanya ada satu foto yang membuatku tertarik. Aku mengenalinya. Gadis itu pernah tersandung dan menabrakku. Waktu itu ia terlihat gugup dan salah tingkah. Wajahnya merona, terlihat begitu menggemaskan. Dia karyawan di perusahaan kami. Seketika aku tersenyum saat mengingatnya.
Tidak banyak yang tercantum di dalam biodatanya. Namanya pun hanya ditulis dengan singkat, Laras. Gadis itu masih cukup belia, hanya kecantikannya yang natural terlihat cukup menonjol.
Mengapa harus mencari yang belum jelas kalau ada yang menarik di depan mata, putusku saat men-swipe ke kanan. Ada rasa berdebar khawatir Laras menolak ajakanku untuk bertemu.
Sempat tergoda untuk memanggilnya agar masuk ke ruanganku sekarang juga hanya saja akal sehat ini melarangnya. Mengikuti aturan Madam Rose tentu lebih bijaksana. Aku pun tidak mau terlihat terlalu agresif.
Aku menutup aplikasi tersebut dan kurang dari lima menit aku kembali membukanya. Ya, ampun ini sangat konyol. Tidak mungkin Laras menjawabnya secepat itu. Kenapa aku jadi malah berharap? Aku letakkan ponsel dan kembali mencoba konsentrasi pada beberapa dokumen di meja.
***
Malam ini aku tidak keluar. Makan berdua dengan Mama terasa begitu sunyi. Marisa, adik semata wayangku, sudah menikah dan pindah rumah. Dulu, ia paling sering melontarkan lelucon atau obrolan ringan. Sekarang, Mama malah berulang kali menatapku seolah aneh.
"Kamu tidak keluar?" tanyanya memecah keheningan.
"Mama tidak suka aku di rumah?" balasku dengan tersenyum lebar.
"Danen, please. Jangan konyol. Kamu ada masalah?"
"Tidak ada, Ma."
"Jangan bohong deh! Kamu bisa cerita apa saja ke Mama," balasnya dengan penuh perhatian.
Aku merasa seperti anak sekolah yang sedang menghadap wali kelas. Beliau menatapku dengan penuh selidik.
"Tidak ada, Ma. Mungkin aku hanya jenuh saja."
Mama menarik nafas panjang seolah paham, padahal aku sendiri pun tidak paham dengan hatiku saat ini.
"Mungkin ada seorang gadis yang menawan hati?" tanyanya belum mau menyerah.
"Memang ada gadis cantik yang menawan hatiku," jawabku sekenanya.
"Siapa? Anak Om Roni? Anak Tante Dina?"
Entah mau berapa nama lagi yang meluncur dari bibirnya. Aku bisa melihat sorot bahagia di mata perempuan paruh baya itu.
"Iya, Putri Pariwisata tahun delapan puluhan," jawabku sambil tertawa.
Mama langsung terlihat manyun. Beliau memang pernah mendapat gelar tersebut. Tidak heran Papa dulu langsung mengajaknya menikah. Gurat kecantikannya masih terlihat jelas.
Obrolan kami terhenti saat sebuah pesan masuk dari Laras. Ia juga men-swipe ke kanan. Aku segera mengirimkan chat kepadanya.
Mama menatapku seraya menarik kedua alisnya ke atas. Ia tampak penasaran.
"Pasti Arman," tebaknya.
"Salah!" jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
"Siapa?"
"Rahasia," jawabku seraya meninggalkan meja makan.
Sejauh ini semua berjalan cukup lancar. Ternyata aplikasi ini cukup menyenangkan.
***
Aku masuk kamar dan membaringkan tubuh ke atas ranjang. Tulisan "match" membuat bibir ini menyunggingkan senyuman. Laras pasti susah menolak. Punya wajah tampan, harta berlimpah, dan kedudukan, memang membuatku boleh menepuk dada dalam hal memikat perempuan.
Desakan waktu, membuatku harus bertindak dengan cepat dan penuh pertimbangan. Bertemu Laras adalah salah satu cara untuk mengukur tingkat kecocokan. Semoga dia berpikiran terbuka. Pesan pun aku kirimkan kepadanya.
Hai, apa kabar?
Beberapa menit tanpa jawaban. Aku masih menunggunya dengan sabar.
Baik.
Sibuk?
Tidak.
Salam kenal. Aku Danendra biasa orang memanggilku Danen.
Iya, saya tahu.
Aku langsung tersenyum lebar. Tentu saja dia mengenali profilku.
Bagus, saya rasa kita tidak perlu membuang waktu. To the point saja. Bisakah besok kita bertemu dan makan malam?
Basa-basi perkenalan rasanya tidak penting. Bertemu dan membuat kesepakatan tampak jauh lebih menarik. Laras tidak menjawab segera. Entah apa yang menjadi pertimbangannya. Jujur, aku tidak sabar. Sepintas ada rasa penasaran kenapa wanita secantik dirinya perlu mendaftar aplikasi Madam Rose untuk mendapatkan pasangan? Sekadar iseng, penasaran, atau serius mencari pasangan?
Boleh, jam tujuh malam. Tempat saya yang menentukan atau anda?
Aku terdiam berpikir restoran mana yang paling menarik dan pas. Pertemuan pertama ini aku ingin semuanya perfect, tanpa gangguan, dan mempunyai privacy. Hanya saja rasa ingin tahu sebagus apa selera Laras menggelitik pikiranku.
Menurutmu, dimana tempat yang paling cozy?
Steak Bar atau Sky Garden?
Steak Bar would be fine.
Laras pun mengakhiri pesan tidak lama kemudian. Good choice, pilihannya tidak terlalu buruk. Aku pun sudah lama tidak datang ke restoran tersebut. 'Semoga dia adalah gadis yang tepat,' ujarku dalam hati.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ruang kerja. Connecting door antara dua kamar ini tidak pernah terkunci. Aku dengan mudah bisa kapan saja mencurahkan waktu untuk mempelajari berkas dan kontrak. Pekerjaan adalah pelarian yang paling menyenangkan saat kejenuhan melanda.
***
Sikap Mama yang terus memperhatikanku dengan saksama. membuat perasaan ini terasa tidak nyaman. Perempuan yang telah melahirkanku itu seolah punya kekuatan membaca isi pikiran.
"Semalam, sikap kamu ganjil. Pasti itu pesan dari seorang perempuan, kan?" tebaknya.
Aku bisa melihat sorot mata yang penuh selidik seolah ingin mengupas detail kehidupan pribadi. Membalas tatapannya tanpa kata akhirnya membuat perempuan itu menyerah.
Posisi tidak nyaman ini, aku pikir tidak akan pernah aku alami. Marisa yang biasanya menjadi pusat perhatian Mama. Ada saja obrolan mereka yang membuatku malas untuk bergabung. Segala detail menjadi pembicaraan hangat. Namun hari ini akhirnya aku tahu rasanya.
Wanita paruh baya itu menatapku dengan enggan. Aku memilih buru-buru berangkat sebelum Mama melancarkan jurus lain. Desahan kekecewaan terdengar jelas dari bibirnya. 'Maaf, Ma. Belum waktunya aku bercerita,' ungkapku dalam hati.
***
Setiba di kantor, aku sengaja lewat di depan ruangan Laras. Berharap bisa memandangnya sesaat, tetapi harapanku sia-sia. Gadis itu tidak terlihat di sana.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapa Pak Rico atasan Laras saat melihatku.
"Cuma cek saja. Sejauh ini ada kendala apa?" tanyaku berusaha bersikap biasa.
"Tidak ada, Pak."
Laras mana? Pertanyaan itu sudah hampir terlepas dari ujung lidah. Aku berusaha menahan diri sebisanya.
"Baiklah kalau begitu," ucapku seraya tersenyum kaku.
Laras muncul dengan setumpuk berkas dari ruang sebelah. Gadis itu tampak terkejut saat melihatku. Segera aku memasang wajah cuek, seolah kami tidak kenal.
"Pagi, Pak," sapanya seraya sedikit menundukan kepalanya tanda menghargai.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Gengsi kalau belum-belum Laras pikir aku mengejarnya. Seketika aku pamit dan meninggalkan keduanya.
Bersyukur pekerjaan dan meeting sepanjang hari berhasil mengalihkan pikiranku. Arman baru datang menjelang jam tiga sore. Pembawaannya yang terlalu santai selalu membuatku kesal, tetapi percuma memarahinya. Terakhir kali aku menegurnya ia hanya menjawab kalau perusahaan tanpa kehadirannya masih berjalan dengan lancar dan profit terus meningkat.
"Please, jangan komentar. Kepala gue masih pusing!" ucapnya seraya duduk di sofa dan menyandarkan badannya seolah ingin kembali tidur.
"Kalau mau tidur seharian kenapa datang ke kantor?" tanyaku jengkel.
"Di sini, lo setidaknya akan membiarkan gue tenang. Di rumah, Mami terus ngoceh. Wanita tua itu membuatku sebal," jawab Arman asal.
Sikap inilah yang membuatku perlahan sadar kalau harus berubah.
"Pulang kantor, ke apartemen, yuk. Malam nanti kita party lagi," ajaknya.
"Apa lo enggak jenuh? Waktu habis dengan pesta yang tiada akhir?" tanyaku mencoba menyadarkannya.
"Sudahlah. Cukup Mami saja yang terus ngoceh soal party. Gue cuma butuh elu jadi teman dugem. Kalau mau jadi penasihat? Elu lihat diri sendiri. Kita sama saja. Just shut up!" serunya kesal.
Mungkin, Arman belum waktunya bertobat. Percuma saja berulang kali aku mencoba mengingatkan. Sepupuku itu pun terlelap dalam sekejap. Sikapnya membuatku semakin yakin dalam menentukan langkah. Harus ada seseorang yang berani bertanggung jawab, perusahaan ini butuh pemimpin yang baik. Setidaknya aku akan berusaha.
***
Menyelesaikan semua pekerjaan dan bersiap makan malam, membuatku terpaksa membangunkan Arman. Aku tidak ingin melewatkan pertemuan dengan Laras.
"Kita ke apartemen saja, mandi, makan, dan nanti malam hang out," ujarnya dengan menguap lebar.
"Gue enggak bisa, Bro. Ada urusan yang harus diselesaikan," elakku.
"Nonsense! Elu kenapa, sih?" tanyanya dengan kesal.
"Kenapa? Maksudnya?"
"Elu berubah. Gue enggak suka. Jangan munafik. Hidup kita memang isinya pesta, gaul, dugem, main perempuan!" raungnya tanpa kendali.
"Gue bosan, lelah. Mau sampai kapan kita party?" tanyaku ikut terpancing.
"Sampai mati! Biar Marisa kelak yang ambil tanggung jawab perusahaan ini."
"Hanya cucu laki-laki yang boleh ambil kendali. Marisa pun sudah mendapatkan hak warisannya," jawabku sekenanya.
Arman tampak tidak terima. Ia pun meninggalkan ruanganku begitu saja tanpa pamit. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan bersabar.
***
Laras tampak cantik dalam balutan sackdress biru laut. Ia menatapku dalam-dalam seolah tidak percaya kalau aku sudah datang sesuai dengan perjanjian.
"Se-selamat malam, Pak," sapanya dengan gugup.
"Selamat malam, Bu," jawabku seraya menarik kursi dihadapannya.
"Panggil Laras saja, Pak," ucapnya seraya tersenyum ragu.
"Panggil Danen, saja Bu," jawabku mengikuti penuturannya.
"Bapak kenapa terus memanggil saya dengan, Bu?" protesnya.
"Saya juga tidak suka ada saat di luar kantor orang memanggilku dengan pak," balasku santai.
Laras terdiam mencerna ucapanku.
"Kurang pantas rasanya kalau saya memanggil dengan nama begitu saja," ujarnya seraya menatapku secara langsung.
"Kamu bisa panggil, Sayang," jawabku dengan cuek.
Wajah cantik itu pun memerah. Ia menatapku tidak percaya. Aku pun tersenyum lebar. Sepertinya aku sedikit menyukainya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top