Wedding Day
"Uuuuu ... mesranya...."
Hessa mendengar suara orang bersiul. Dan mendapati Mikkel berdiri di pintu kamar Afnan yang dibiarkan terbuka.
Afnan hanya menoleh sekilas, lalu memunggungi Mikkel lagi.
"Karena Afnan datang, aku jadi batal punya istri kedua." Mikkel berkomentar.
Mikkel mengedipkan matanya kepada Hessa, membuat Hessa ingin tertawa.
"Bosan hidup, ya?" Afnan mengepalkan telapak tangan dan mengeluarkan dari tasnya, seolah-olah sedang mengancam Mikkel.
"Hahahaha ... Mama suruh turun makan." Mikkel meninggalkan Afnan dan Hessa sambil tertawa keras.
"Sudah?" Afnan bertanya.
Hessa mengangguk.
Afnan menutup kopernya dan membawanya turun bersama mereka. Malam ini kopernya akan dibawa ke rumah Hessa.
"O iya, sepatu sama sandalku. Nanti ingetin sehabis makan ya, supaya nggak ketinggalan." Afnan meletakkan kopernya di dekat pintu dapur.
"Hei." Liliana yang duduk di ruang makan, masih memakai baju kerjanya, menyapa mereka.
Hessa iri setengah mati. Seharusnya Afnan seperti Mikkel, pindah ke sini.
"Hai." Hessa membalas lalu duduk di sebelah Lilian.
Ini pertama kali Hessa bergabung dengan keluarga Afnan di meja makan. Semua anggota lengkap. Kedua orangtua Afnan, Mikkel dan istrinya, Lily dan suaminya, serta Afnan. Hessa belum menjadi bagian dari keluarga ini. Plus Hessa belum pernah ada dalam situasi seperti ini, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Ayo makan, Hessa." Mamanya Afnan memberikan piring kepada Hessa, lalu kepada Afnan.
"Terima kasih, Tante." Hessa tersenyum sopan.
"Lily, kamu gembul banget. Nggak sadar apa badan kamu sudah seperti balon. Bisa kaget nanti anakmu lihat mamanya nanti." Mikkel mengamati Lily yang sedang makan dengan lahap.
"Berisik! Aku perlu banyak makan demi anakku juga." Lily tidak kalah menjawab.
"Memang dasarnya kamu gembul. Anak dijadikan alasan."
Hessa mengamati semuanya dalam diam. Afnan tampak tidak terganggu dengan keributan kakak dan adiknya. Tetap fokus pada isi piringnya. Bagi Hessa, yang paling penting hari ini, pertemuan ketiganya dengan Afnan berjalan dengan baik. Walaupun sedikit, Hessa bisa menghilangkan sedikit jarak dengan Afnan sebelum pernikahan mereka.
***
Apa yang dirasakan seorang wanita saat bangun pagi dan menyadari pagi itu adalah hari pernikahannya? Hessa panik dan tegang. Sejak pagi Hessa mencemaskan pestanya. Bagaimana kalau makanannya ternyata tidak enak, bagaimana kalau kue pengantinnya tidak datang tepat waktu, bagaimana kalau venue pestanya tiba-tiba ambruk dan banyak lagi.
Ternyata insiden buruk dimulai sejak pagi. Hessa sudah duduk, full make-up, ditemani mamanya, calon ibu mertuanya, adiknya, dan calon-calon iparnya. Mereka sudah siap selama sepuluh menit di sana. Ayah Hessa dan beberapa orang laki-laki yang tadi bercakap-cakap sekarang gelisah, berkali-kali memeriksa jam.
"Astaga! Ini jadi nggak pernikahannya? Lily, kakakmu itu ke mana?" Ibu mertua, calon ibu mertuanya, berdiri dari duduknya. "Dia kira dia menikah di hutan? Apa dia nggak tahu penghulunya gantian?"
"Sudah kutelepon nggak bisa, Ma." Lily sempat menjawab sebelum mamanya berjalan pergi.
Lily dan Lilian berjalan mengikuti Kana, berjalan mendekati ayah Afnan.
Hessa ingin tertawa melihat semua orang panik, karena sudah lebih dari jam tujuh pagi Afnan belum datang. Hessa sendiri seharusnya panik, tapi tidak tahu kenapa, kejadian ini cukup menghiburnya.
"Afnan ke mana?" Liliana duduk di samping Hessa dan bertanya kepada Hessa.
Hessa hanya menggeleng sebagai jawaban, lalu tertawa.
"HP-nya mati." Hessa mengangkat bahu.
"Mikkel juga, nggak diangkat pula ditelepon." Liliana kembali mengeluh.
Bagus kalau Afnan tidak datang, mungkin pernikahan mereka bisa ditunda sebentar. Oleh karena itu, Hessa santai saja mengamati sekelilingnya. Ibunya dan ibu Afnan Afnan terlihat tegang sekali. Semua orang sudah siap di sini, malah pengantin laki-lakinya yang belum ada.
"Tadi seharusnya Afnan berangkat ke sini sama Papa dan Mikkel. Kok kamu santai banget, sih, Hessa?" Lilian heran melihat Hessa hanya duduk diam tidak melakukan apa-apa.
"Terus aku harus gimana? Cari Afnan? Jalan saja ribet." Hessa tidak mungkin menyusul Afnan.
"Kalau Afnan kabur gimana?" Lilian malah terlihat semakin panik.
"Ya ampun. Afnan. Dia itu bisa ya mengacau di pestanya sendiri." Lily ikut duduk di samping Lilian.
"Hahahahaha." Hessa hanya tertawa. Memang tidak ada yang normal sejak Hessa setuju menikah dengan Afnan. Hessa sudah mulai terbiasa dengan kelakuan Afnan yang tidak bisa diprediksi. Sejak awal perkenalan mereka memang segalanya sudah tidak wajar, tidak masuk nalar orang waras. Hessa dan Afnan mungkin sudah kena penyakit gila nomor 31 karena memutuskan menikah.
Hessa memilih tetap duduk dan menyalakan HP-nya. Paling tidak Hessa akan mencoba juga menghubungi Afnan. Sudah jam setengah delapan pagi. Terlalu siang. Jadwal mereka padat sekali. Gedung resepsi disewa sampai jam satu siang dan jam sepuluh mereka akan menerima tamu. Kalau Afnan tidak muncul sampai jam sepuluh, tidak akan lucu sama sekali.
"Itu Afnan!" Lily berseru.
Betul. Afnan berjalan masuk dengan santai. Baju pengantin, yang saat fitting memakai tubuh Mikkel, tentu jauh lebih bagus saat dikenakan Afnan. Afnan melihat ke arah Hessa, lalu tersenyum lebar. Hessa ingin tertawa, Afnan benar-benar santai sekali. Dia datang bersama ayahnya yang kelihatan seperti ingin membunuh anaknya itu. Pagi ini, di hari pernikahannya sendiri, Afnan terlambat hampir satu jam.
"Kak...." Qiena menyenggol tangan Hessa.
"Kakak beneran nggak pacaran sama Kak Afnan?"
"Nggak." Hessa menjawab yakin.
"Tapi kalian kayak orang pacaran."
"Habis ini kami kayak suami istri." Hessa masih mengamati Afnan yang sedang berbicara dengan ayah Hessa. Mungkin Afnan memohon ampun karena datang terlambat pada hari sepenting ini dan membuat panik semua orang.
"Nana, tolong ambilin Kakak makanan. Roti atau kue atau apa, sama air minum. Makanannya dua, ya." Hessa menoleh ke arah adiknya.
Adiknya mengangguk dan berjalan meninggalkan Hessa.
Everything goes smoothly. Afnan menyelesaikan proses nikah dengan cepat. Hessa tidak sempat meresapi kejadian itu karena tiba-tiba dia diberi tahu untuk menandatangani buku nikahnya. Salah satu modalnya untuk hidup di negara orang. Walaupun Afnan bilang akan ada satu lagi nanti marriage certificate di Denmark. Practical reasons. Social security, health insurance, etc ...etc....
"I am sorry." Afnan memandang Hessa dengan tatapan bersalah.
Hessa hanya mengangguk, walau sebenarnya ingin memukul kepala Afnan. Ditambah masih banyak orang. Bisa kena pasal kekerasan dalam rumah tangga kalau dilaporkan. Padahal mereka belum mulai berumah tangga.
"Gimana, Kak, rasanya?" Qiena antusias bertanya.
"Nggak terasa." Hessa benar-benar tidak merasakan apa-apa.
Ketakutan Hessa sebagian sudah lenyap karena takdirnya sudah dieksekusi. Hessa mendengarkan nasihat pernikahan dengan tidak fokus. Bagaimanalah memikirkan terciptanya pernikahan yang bahagia, kalau kepala Hessa sibuk memikirkan nanti malam. Bagaimana rasanya tidur dengan seseorang yang sebelumnya belum lama dikenal lalu tiba-tiba mereka sekarang menjadi suami istri?
"Aku bangun kesiangan." Afnan duduk di sebelah Hessa, kursi yang tadi diduduki Liliana.
Hessa memberikan roti yang tadi diambilkan Qiena kepada Afnan. Karena yakin Afnan pasti tidak sempat sarapan. Hessa kasihan memikirkan nanti Afnan menyalami para tamu dengan perut kosong.
"Papa mengamuk." Afnan menggigit rotinya. "Katanya mana ada laki-laki di keluarga kita yang terlambat di hari pernikahannya sendiri, bikin malu saja."
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top