We Will Be Fine, I Promise....
Hessa tersenyum dan mencium pipi Afnan,"Aku menyukainya dan aku akan berteman sama dia."
"Kayaknya aku ketularan jadi nerd juga." Hessa tertawa menyadari kalimatnya tadi.
"Aku bukan nerd!" Afnan membantah lagi.
"Ngeles melulu." Hessa memajukan bibir bawahnya.
"Kamu nggak capek? Tidur, yuk. Aku capek." Afnan menepuk-nepuk bantalnya.
"Yah, jangan dong." Hessa menarik tangan Afnan, menahannya agar tidak tidur dulu.
"Terus mau ngapain lagi?"
"Kita ngobrol dulu."
"Apalagi yang harus kita obrolin?" Afnan duduk tegak lagi.
"Aku lihat video kamu selama kamu di Aarhus. Kamu ini genius ya? Banyak betul prestasi kamu. Bikin minder."
"Memangnya kamu ngerti bahasanya?"
"Nggak sih...."
"Itu biasa saja. Aku ... suka menjadi yang terbaik ... dalam segala hal." Afnan mengangkat bahu.
"Apa aku harus lihat sisi baiknya juga?" Hessa tertawa lagi. Berapa banyak sisi baik yang harus dilihat Hessa malam ini. Afnan bisa sekali membuat Hessa terlibat dalam permainan menarik kesimpulan.
"Tentu saja. Sisi baiknya adalah ... aku akan menjadi suami yang terbaik. Aku nggak keberatan berusaha untuk itu."
Hessa tersenyum senang.
"Kamu ... berapa lama pacaran sama orang jelek tadi siang itu?" Afnan tiba-tiba menanyakan mantan pacar Hessa yang datang ke resepsi pernikahan mereka tadi siang.
"Dia nggak jelek." Kalau dia jelek, tidak mungkin Hesa dulu bisa menyukainya pada pandangan pertama.
"Kalau dia berdiri dekat aku seperti tadi, dia akan kelihatan jelek."
"Iya ... iya...." Hessa setuju untuk satu hal itu.
"Kok kamu nggak menjawab?"
"Lama. Sejak umurku dua pulah tahun. Putus beberapa tahun lalu." Biasanya Hessa tidak suka membicarakan mantan pacar. Tapi Hessa tidak bisa menghindar karena suaminya yang bertanya.
"Ngapain saja kamu sama dia selama enam tahun?"
"Eh? Ya ... seperti orang pacaran. Gandengan tangan, ciuman, ya apalah seperti itu." Hessa juga tidak tahu mengapa dia membuang waktu selama itu dan pada akhirnya tidak menikah.
"Kenapa kamu nggak menikah dengannya? Kamu maunya begitu, kan? Menikah kalau sudah kenal. Enam tahun sih terlalu kenal."
"Dia nggak mau waktu aku minta."
"Dasar laki-laki payah." Afnan memaki.
Hessa tertawa. Ya, memang mantan pacarnya payah.
"Kalau kamu? Mantan pacarmu seperti apa?" Hessa ganti bertanya.
"Aku cuma pernah pacaran sekali seumur hidupku. Dan itu cuma seminggu."
"Kenapa putus?" Hessa tertarik dengan cerita ini.
"Karena dia meninggal."
"Oh, sorry ... kenapa dia meninggal?"
"Dia sakit parah ... dokter bilang umurnya nggak akan lama. Keinginan terakhirnya adalah pacaran denganku. Lalu dia meminta padaku dan aku mau. Lalu seminggu kemudian dia meninggal."
"Sedih banget sih. Dia pasti suka banget sama kamu. Cerita kalia kayak cerita film aja." Biasanya Hessa akan menangis saat menonton film-film yang berakhir tragis seperti itu. "Tapi kamu baik ya, Afnan, kamu mau...." Hessa menghentikan ucapannya saat dia melihat Afnan menggembungkan mulutnya, menahan tawa. "Afnan! Kamu bohong, ya?!"
Afnan melepaskan tawa sambil memegang perutnya, bahunya sampai terguncang-guncang.
"Menurutmu?" Afnan bertanya di sela-sela tawanya.
"Dasar! Nyebelin amat, sih!" Hessa mengambil bantal dan memukuli Afnan.
"Wajah sedihmu tadi itu...." Afnan masih tertawa, menahan pukulan Hessa dengan tangannya.
Hessa menghentikan serangannya karena kelelahan. "Padahal aku sudah percaya."
"Aku khawatir dari kemarin, Hessa. Gimana kalau kamu mau punya suami romantis, tapi aku jauh sekali dari itu. Aku takut kamu kecewa," kata Afnan setelah berhasil berhenti tertawa.
Hessa menggelengkan kepalanya, tidak, dia tidak kecewa. Malah Hessa terkejut, dia kira Afnan tidak akan menyenangkan seperti ini. Dia kira Afnan akan menyerangnya membabi buta di malam pertama mereka dengan alasan Hessa sudah menjadi istrinya. Sudah menjadi miliknya.
"Aku nggak kecewa." Hessa memandang wajah Afnan.
Tangan kanan Afnan menahan dagu Hessa. Afnan mencium kening Hessa, lalu menempelkan hidungnya di wajah Hessa. Tidak ada satu pun dia antara mereka yang bersuara. Tangan kiri Afnan memeluk punggung Hessa. Dalam keheningan ini Hessa seperti mendengar suara hati Afnan, "We will be fine. I promise you...."
Hessa merasa wajah Afnan bergerak, menuju bibir Hessa. Afnan mendorong punggung Hessa, membuat Hessa semakin mendekat kepada Afnan. Hessa menutup mata, mengantisipasi apa yang selanjutnya terjadi.
"Tidur, yuk. Biar besok kita bisa jalan-jalan." Afnan melepaskan pelukan dan ciumannya.
Hessa terkejut. "Eh, apa ... em ... kita ... nggak...?"
"Apa?"
"Melakukan...?"
"Nggak. Kita akan punya banyak waktu untuk itu nanti." Afnan tersenyum geli.
Hessa berbaring di sebelah Afnan.
"Afnan...."
"Hmmm?"
"Good night kiss?"
"Good night," Afnan mencium kening Hessa lagi.
Kadang-kadang Hessa perlu waktu yang lama untuk terbiasa dan nyaman dengan orang baru. Bertahun-tahun mungkin tetap tidak membuatnya nyaman dengan mereka. Tetapi Kadang-kadang hanya perlu hitungan jam saja untuk klik. Tapi dengan Afnan, their conversations, kisses, and hug were enough to leave her to be cupid-struck. Semua memang akan baik-baik saja. Seandainya saja mereka tidak perlu pindah ke Aarhus.
***
Hessa turun ke dapur karena berniat membantu ibunya memasak sarapan. Kurang dari dua minggu Hessa tidak akan memasak bersama ibunya lagi. Rasanya Hessa ingin waktu berhenti saja sekarang. Walaupun selama tiga hari ini, Hessa senang menjalani hidupnya dengan Afnan. Namun Hessa ingin berada di sini lebih lama lagi.
"Mama mau ke mana?" Hessa justru melihat ibunya santai sekali minum teh di dapur. Bukan memasak.
"Mau pergi olahraga sama Nana. Mama mau sarapan di luar nanti. Kamu mau dibelikan? Apa mau masak sendiri?"
"Nanti aku beli sendiri saja, Ma." Ya sudahlah, tidak jadi ada acara memasak.
"Mama pergi dulu, ya." Mamanya berdiri karena Nana sudah berteriak dari teras.
Hessa mengambil minum dan memilih masuk kamar lagi.
"Katanya mau masak?" Afnan baru keluar kamar mandi dan mendapati Hessa malah tiduran sambil main HP.
"Nggak jadi. Kita makan di luar saja ya? Habis gini juga aku pindah nggak bisa makan-makan yang enak lagi di sini."
"Terserah kamu saja."
"Aku bilang sama mama dan mamamu kalau aku ... mmm ... masih menunda hamil." Hessa belum memberi tahu Afnan masalah pembicaraan kedua ibu.
"Kenapa harus kamu sampaikan?"
"Ya biar nggak ditanya-tanya kapan hamil. Nggak habis-habislah. Ditanya kapan nikah sudah berlalu, pasti bakal ditanya kapan hamil."
"Terus apa kata Mama?"Afnan naik ke tempat tidur dan berbaring lagi.
"Terserah kita katanya. Kan kita sendiri yang mengatur hidup kita."
Afnan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Karena Afnan juga setuju bahwa pada tahun pertama mereka akan fokus membuat pernikahan mereka lebih kuat, punya anak sekarang mungkin akan menambah tekanan dalam pernikahan mereka. Lagipula yang akan menjalani kehamilan adalah Hessa, Afnan tidak bisa melakukannya sendiri walaupun dia ingin punya anak. Hessa juga yang melahirkan, Hessa yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak mereka setiap hari. Jadi Afnan akan mengikuti rencana Hessa.
"Apa ... di Aarhus menyenangkan?" Hessa mengalihkan pandangan dari HP-nya.
"Iya."
"Di sana kita bicara bahasa apa? Inggris?"
"Ya, tapi nggak semua orang. Aarhus bukan kota besar seperti Copenhagen. Jadi kita banyak ketemu orang-orang lokal yang nggak bisa bahasa Inggris. Juga orang-orang yang agak tua, biasanya mereka nggak bisa."
"Berapa lama buat belajar bahasa Denmark?" Ada lagi satu tugas berat yang harus ditaklukkan Hessa.
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top