The Wedding Is Three Days Away

"Setelah ini masih ada yang mau diurus, Hessa?" Liliana bertanya pada Hessa.

Hessa menggeleng, "Aku mau keliling-keliling saja di sekitar sini."

"Aku ikut dong."

"Ya, ayo saja." Hessa dengan senang hati mengizinkan.

Untuk orang yang awalnya tidak terlalu tertarik dengan pernikahan ini, malah Hessa yang lebih banyak mengurusi daripada Afnan. Sangat melelahkan, tapi mau bagaimana lagi. Ini sesuatu hal yang tidak bisa diulangi, jadi mengapa tidak melakukan dengan sebaik-baiknya. Bukan untuk adu bagus-bagusan dengan pesta-pesta lain atau membuat kagum tamu undangan. Ini demi mereka berdua. She wants to make sure it's a day that is about them. Dia dan Afnan akan mengingat hari itu selamanya, hari di mana mereka berdua, yang awalnya hanya orang asing yang tidak saling mengenal, akan menjadi satu.

Seperti yang dikatakan Afnan, "Kita akan berteman dan saling mengenal, lalu siapa tahu kita akan saling mencintai."

***

Semakin hari Hessa semakin takut menghadapi hari pernikahannya. Scared. Nervous. Anxious. Hessa masih tidak yakin apakah menjawab lamaran Afnan adalah sesuatu yang memang seharusnya dia lakukan. Rasanya Hessa ingin sekali mengatakan kepada Afnan bahwa dia ingin menunda pernikahan ini sampai tahun depan, sampai semua keragu-raguannya hilang. Hessa susah tidur, susah makan, dan merasa mual karena semua ini membuatnya tertekan.

Kepalanya dipenuhi pikiran bahwa mungkin pernikahannya dengan Afnan tidak akan berhasil, hari pernikahannya akan berubah jadi bencana, dan mungkin menikah dengan Afnan adalah sebuah kesalahan. Menikah dengan orang yang belum lama dikenal, dia dan Afnan baru bertemu dua kali, seperti sebuah kencan buta. Kencan buta yang berlangsung seumur hidup. Selama ini dia hanya berkomunikasi dengan Afnan lewat video call, yang bahkan sudah tidak mereka lakukan lagi dua minggu terakhir ini.

Kadang-kadang Hessa kesal karena Afnan sedikit tidak konsentrasi kalau mereka sedang bicara. Ada saja yang mengganggu Afnan, suara HP, e-mail yang harus dibaca segera, dan macam-macam. Padahal untuk berkomunikasi langsung seperti itu, Hessa harus menunggu sampai Afnan pulang kerja di sana, berarti jam sepuluh atau sebelas malam di sini.

"Aku pusing, Afnan. Sebentar lagi menikah, sebentar lagi aku nggak kerja, asal kamu tau aku suka pekerjaanku, sebentar lagi aku pindah dari sini. Aku membiasakan diri mengajak kamu ngobrol panjang-panjang ... kupikir biar kita terbiasa. Agar aku juga percaya bahwa ada harapan untuk kita. Untuk pernikahan kita nanti. Apa kamu pikir aku nggak takut, menikah sama kamu yang belum juga kukenal baik, ikut sama kamu pergi jauh ke tempat yang aku nggak tahu?

"Aku dari tadi nggak tidur, nungguin jam segini buat telepon kamu. Biar nggak ganggu kamu kerja. Akhirnya cuma dibikin kesel sama kamu. Aku kan punya perasaan juga, Afnan. Apalagi makin dekat hari pernikahan, makin stres. Kamu menikah sama biksu aja sana, yang stok sabarnya nggak abis-abis.

"Kamu harus ngerti. Ini semua bukan cuma tentang kepentingan kamu. Tapi aku juga. Kamu cuma pengen punya istri, setelah itu apa semua selesai? Kan, enggak. Kita akan hidup bersama, dalam satu rumah. Apa aku salah kalau aku coba berkomunikasi sama kamu? Setidaknya kita bisa berteman, kan, Afnan? Seperti yang kamu bilang?"

Pada pembicaraan terakhirnya dengan Afnan, Hessa melepaskan semua hal yang mengganggunya selama ini. Afnan memang minta maaf atas sikap tidak pedulinya, tapi Hessa masih malas bicara dengannya.

***

Hessa menatap cermin di depannya untuk memastikan penampilannya baik tanpa cela. Hari ini akan menjadi pertemuan ketiganya dengan Afnan. Sebelum naik pesawat ke sini, Afnan meminta Hessa untuk menjemputnya di bandara. Dengan mata mengantuk, terpaksa Hessa menyetir mobil papanya jauh-jauh ke bandara. Sejak tidak bekerja lagi, jam tidurnya jadi molor sampai pukul delapan atau pukul sembilan. Sebagian penyebabnya adalah sindrom susah tidur mendekati hari pernikahannya. Yang semakin membuat ibunya marah-marah sepanjang hari karena kebiasaan baru Hessa yang buruk ini. Tentang tidak baik wanita bangun siang, seharusnya segera bangun subuh, dan masih banyak lagi.

Hessa hanya menuruti saran Afnan, menikmati kebebasannya sebelum tidak bisa lagi. Nanti, hari Sabtu, adalah awal mula Hessa akan kehilangan kebebasannya. Dia akan mulai hidup dengan jabatan dan tanggung jawab baru. Sebagai seorang istri.

Hessa berdiri menunggu Afnan dengan tidak sabar. HP Afnan sudah tidak bisa dihubungi sejak dia memberi tahu akan masuk ke pesawat.

The wedding is about three days from now. Setelah persiapan yang menyita waktu, emosi, tenaga, dan uang, mereka akan berpesta selama setengah hari. Minggu-minggu terakhir ini benar-benar menyebalkan. Semua orang di rumahnya meributkan persiapan pestanya. Sama sekali tidak memikirkan perasaan Hessa.

Afnan muncul di pintu kedatangan membawa koper super besar, Hessa mungkin bisa masuk ke dalamnya dan tidak usah bayar tiket. Cukup masuk bagasi.

Hessa tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan saat laki-laki itu langsung berjalan ke arahnya. Pertemuan kedua mereka dulu memang cukup natural, tidak dibuat-buat. Tapi saat itu dia dan Afnan adalah dua orang asing, tanpa status apa-apa. Sekarang status mereka berubah. Tunangan. Calon suami. Calon istri. Apa yang dilakukan sepasang kekasih saat bertemu lagi setelah long distance relationship selama tiga bulan?

We can see people kissing in the departure or arriving terminals of airports and railway stations. Tapi dia dan Afnan jelas bukan sepasang kekasih. Mereka hanya dua orang yang sepakat untuk menikah. Mereka akan menikah karena sama-sama takut mereka akan semakin tua dan tetap sendiri.

Jadi yang didapat Hessa adalah Afnan, calon suaminya, yang berjalan menuju ke arahnya sambil tersenyum—yang masih saja membuat Hessa ingin pingsan.

"Ayo." Afnan bergerak meninggalkan terminal kedatangan.

Hessa mengamati punggung Afnan. People said marriages are made in heaven. Tuhan menciptakan pasangan untuk setiap manusia jauh sejak sebelum manusia dilahirkan. Sekeras apa pun manusia menolak, kalau memang sudah ditakdirkan pasangan itu akan bertemu. Juga sebaliknya. Sebesar apa pun manusia berusaha bersama dengan seseorang yang diinginkannya, kalau memang tidak ditakdirkan, pasangan itu tidak akan bersatu. Apa itu teori yang hanya dilihat Hessa dalam Pride and Prejudice atau When Harry Met Sally? Hessa bertanya dalam hati. Untuknya, untuk Afnan, marriage made here on earth. Diputuskan oleh mereka berdua berdasarkan alasan-alasan logis buatan mereka sendiri.

Menikah dengan orang yang dicintai atau menikah karena dijodohkan, judulnya akan sama-sama menikah. Akan sama-sama berakhir menjadi suami istri. Akan sama-sama menghadapi masalah dalam pernikahan nantinya. Hessa menarik napas panjang. Untuknya, semua dimulai dari sini.

"Afnan!" Hessa memanggil Afnan yang sudah agak jauh meninggalkan Hessa yang masih berdiri di tempatnya semula.

"Ya?" Afnan berhenti dan menoleh ke belakang.

Hessa mengulurkan tangan kanannya. Afnan berpikir sebentar, lalu berjalan lagi ke tempat Hessa berdiri.

Afnan menggandeng tangan kanan Hessa. Hessa melangkah bersama Afnan dalam diam, sambil mengamati tangan Afnan yang menggenggam tangannya. Bukankah orang terbiasa dengan bergandengan tangan semacam ini sejak masih kanak-kanak? Orangtua atau orang dewasa menggandeng tangan kecil kita saat berjalan dulu. To ensure that we were not alone and someone was there to help us at that time. Saat ini Hessa ingin kembali merasakan itu, saat dia sedang berjalan menuju kehidupan yang belum terbayangkan olehnya. That she is not alone and he is there to help her.

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top