Suka Atau Tidak Suka, Besok Kita Tetap Berangkat
Afnan menarik Hessa agar duduk lebih dekat dengannya. Afnan senang saat-saat seperti ini. Saat dia dan Hessa membicarakan apa saja. Just lying on bed with no sex. Afnan bukan orang yang suka bicara banyak, apalagi membicarakan dirinya sendiri. Sebab Afnan merasa hidupnya membosankan dan tidak menarik untuk diceritakan. Tetapi Hessa mendengarkannya bicara, tidak menyela, tidak mengantuk, dan memperhatikan seakan-akan cerita Afnan adalah cerita paling menarik sedunia.
"Kenapa kamu nggak ikutan sama temenmu itu?"
"Ikut apa?"
"Making love sama cewek-cewek di sana."
"Buat apa? Buang-buang waktu. Aku tetap bekerja kalau ada waktu luang. Sisanya ya belajar."
"Pasti banyak cewek yang deketin kamu, ya?"
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
Hessa sudah meneliti bagaimana penampilan Afnan, bajunya, celananya, sepatunya, dan lain-lainnya. Untuk orang yang lebih banyak hidup di lab dan mengaku cuek dengan penampilan, he is fashionable. Jauh lebih baik daripada teman-teman kerja Hessa dulu.
"Ya kan sekali lihat kamu bisa bikin tertarik."
"Aku nggak peduli dengan hal-hal seperti itu."
"Kamu sih hidupnya serius amat."
"Aku lebih suka diakui orang karena hebat, bukan ganteng ... ah, tidur, yuk." Afnan berdiri untuk mematikan lampu.
"Jangan tidur dulu. Nanti cepat pagi."
Hessa tidak ingin hari-hari cepat berakhir, itu akan membuat tanggal keberangkatannya ke dekat semakin dekat.
"Jadi kita nggak tidur? Danish class?" Afnan langsung duduk lagi.
"Danish class apa?" Hessa tidak mengerti.
"Pillow way yang kubilang itu...."
Hessa tidak tahu bagaimana Afnan bisa aneh begini. Saat bersama keluarga Afnan, Afnan kadang-kadang bicara walaupun tidak sering. Dengan keluarga Hessa, Afnan lebih banyak diam. Bicara sopan dan seperlunya. Tetapi Afnan bicara banyak kalau di kamar begini atau saat sedang berdua saja dengan Hessa.
"Aku tidur kalau begitu." Afnan memejamkan mata karena Hessa tidak menjawab.
"Jangan dong, Afnan" Hessa memaksa membuka kelopak mata Afnan dengan jarinya.
"Afnannnn!" Hessa mengguncang lengan Afnan.
"Apa, Sayang?" Afnan tertawa.
"Kamu ... panggil aku sayang?" Hessa membuka mata Afnan lebar-lebar.
"Apa kamu nggak suka? Kalau nggak suka, aku nggak akan lagi pa...."
"Suka ... kalau kamu mau ulangi lagi." Hessa tersenyum menatap Afnan.
"Dengan senang hati, Sayang...."
Afnan mendekatkan wajah ke wajah Hessa untuk mencium bibir Hessa.
"Aku nggak mau kamu merasa dilecehkan dan direndahkan kalau aku melakukan ini." Afnan menatap Hessa tepat di matanya. If he doesn't respect his wife and have sex with her without her consent, he is an animal.
Hessa diam sebentar, mengerti apa yang dimaksud Afnan.
"Apa setelah ini aku akan bisa bahasa Denmark dengan lancar?" Hessa bertanya.
Afnan terkekeh. "Kalau kita rajin melakukannya ... kurasa ... ya, kamu akan lancar."
Hessa memejamkan matanya saat bibir Afnan bergerak ke telinganya.
***
Hessa terbangun dengan perasaan berbeda hari ini. Tadi malam, malam pengantinnya, ternyata tidak semengerikan yang dia duga. Tentu saja Hessa malu setengah mati saat dia akhirnya membuka baju di depan Afnan dan membiarkan Afnan menyentuhnya. He was staring at her, full of admiration. Hessa belum pernah merasakan dikagumi orang lain sebelum itu. Perasaan dikagumi, walaupun tidak mengurangi rasa malunya, sangat menyenangkan. Sekarang Hessa merasa lebih dekat—sexually and physically—lagi dengan Afnan.
"Apa kita jadi berangkat besok?" Hessa bertanya sambil setengah melamun.
Hessa duduk di samping Afnan di mobil, kembali ke rumah orangtua Hessa setelah menginap di rumah orangtua Afnan.
"Iya."
"Nggak bisa diundur sehari aja?"
"Hessa, kita sudah ngomongin ini berkali-kali. Kita akan berangkat hari Sabtu dan nggak akan berubah."
"Aku masih belum puas di sini."
"Mau diundur berapa kali juga kamu nggak akan puas. Aku punya tanggung jawab di sana. Kamu tinggal berangkat saja. Nggak perlu cari tempat tinggal di sana. Nggak perlu takut kehabisan uang. Ada aku di sana. Apalagi masalahnya?"
"Kenapa kamu nggak bisa tinggal di sini? Seperti Mikkel. Liliana bilang...."
"Aku nggak bisa. Aku sudah kasih tahu kamu tentang pekerjaanku dan aku nggak mungkin pindah. Apa kamu mengharapkan aku adalah Mikkel?" Afnan sedikit kesal karena Hessa seperti tidak mau menjalani semua ini.
"Nggak, hanya saja...."
"Kamu ingin laki-laki yang mau berkorban seperti Mikkel yang jadi suami kamu? Iya? Tapi aku nggak akan menjalani hidupku seperti Mikkel. Jadi jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Mikkel! Aku tahu apa yang baik untukku, untuk kamu, dan untuk keluarga kita. Kalau kamu merasa pernikahan ini nggak seperti yang kamu inginkan, kamu belum terlambat untuk membuat keputusan dan tetap tinggal di sini. Mungkin mencari suami seperti Mikkel."
"Kok kamu ngomong begitu sih, Afnan?" Hessa membuka pintu mobil dengan jengkel, berjalan cepat masuk rumah.
"Lalu apa lagi? Kita sudah membicarakan ini sejak aku melamarmu. Aku sudah bilang kalau aku akan hidup di Aarhus dan istriku harus mau ikut. Kamu mau menikah denganku dan aku menyimpulkan kamu mau tinggal denganku di sana." Afnan berusaha menahan suaranya saat mereka berdua sudah di dalam kamar Hessa.
"Itu kan hal yang bisa didiskusikan."
"Nggak. Kamu sudah tahu aku memberi syarat yang sangat jelas dan kamu sudah menerima."
"Pilihanmu hanya ada dua, Hessa. Kamu, terserah, mau tinggal di sini dan aku nggak tahu akan seperti apa pernikahan kita. Atau kamu ikut denganku ke sana dan menjalani pernikahan ini dengan normal. Apa kamu pikir di sana aku akan menelantarkanmu? Nggak akan ada bedanya di sini dan di sana. Caraku memperlakukanmu akan tetap sama. Aku akan tetap menyayangimu seperti biasanya."
"Aku bukan nggak mau ikut. Tapi aku masih ingin di sini, sebentar aja. Dua atau tiga hari."
"Aku dudah nggak punya argumen lagi. Aku tetap berangkat hari Sabtu. Pikirkan dua pilihan tadi." Afnan masuk ke kamar mandi, mencegah mulutnya mengatakan hal-hal yang akan menyakiti Hessa.
Afnan tidak mengerti apa susahnya pindah ke Aarhus, tinggal berangkat saja. Hessa tidak harus menderita seperti Afnan dulu. Yang harus mencari tempat tinggal, mencari pekerjaan. Afnan melakukannya sendiri, saat umurnya masih belasan. Hessa sendiri yang mengiyakan permintaan Afnan untuk menikah. Afnan tidak pernah memohon-mohon, tidak pernah membujuknya. Sekarang Hessa tidak mau diajak pindah ke Aarhus?
Afnan kecewa dan dia tidak menyukai perasaan ini. Dia sudah memberi waktu kepada Hessa selama dua minggu dan istrinya itu masih saja menawar. Kalau memang Hessa tidak mau ikut, itu urusannya sendiri.
Sialan! Apa Hessa pikir dengan menjebak Afnan dalam pernikahan, lalu Afnan akan menuruti semua permintaannya? Untuk hal lain mungkin Afnan akan mau mengalah pada Hessa. Tapi tidak untuk yang satu ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top