Is Wedding Always Stressful?


"Bawa apa itu? Kulkas?" Hessa mengamati Afnan yang memasukkan koper superbesarnya ke bagasi.

"Buat siap-siap. Kalau bawaan kamu banyak nanti."

"Kamu tau aja. Aku mau bawa kecap sama bubuk cabe banyak-banyak." Hessa tertawa. Hessa ingin menyelundupkan makanan-makanan yang tidak ada di Denmark. Kalau bisa Hessa malah ingin bawa tempe. Juga durian dan mangga. Tapi membawa makanan kering sepertinya lebih baik, ringan dan tidak bau.

"Sama saja kamu kayak Lily dulu waktu pindah dulu." Afnan menggantikan Hessa menyetir mobil, walaupun kepalanya pusing sekali. Sebab Afnan tahu Hessa tentu sudah lelah menyetir saat berangkat ke sini tadi.

"Aku mau bawa seluruh isi kamarku." Hessa nyengir ke arah Afnan.

"Kasurnya juga mau dibawa?"

"Biar di sana berasa di rumah." Hessa menjawab dengan lesu. Sebenarnya dia takut sekali kalau nanti tidak kerasan di sana.

"Rumahku akan jadi rumahmu juga, Hessa. Rumah kita. Tapi sementara kita tinggal di flat dulu, ya? Aku mau beli rumah di deket hutan atau pantai di sana, tapi adanya kecil bener, perlu direnovasi. Masih aku hitung biayanya."

"Kenapa nggak tinggal di flat terus saja?" Hessa belum pernah tinggal di tempat yang tidak langsung menjejak tanah.

"Nggak nyaman nanti, anak-anak kita nggak bisa berlarian di sana. Kurang lapang. Apa kamu nggak suka kita punya rumah baru?"

Afnan melirik Hessa yang diam di sampingnya, berpikir bahwa angan-angan itu sudah semakin dekat dan nyata. She'll make a wonderful mother. Afnan membayangkan suatu hari nanti dia akan punya anak dengan Hessa. Ah, itu saja sudah membuatnya ingin tersenyum bahagia. Being a good father and husband, seperti papanya yang menurutnya luar biasa, is his lifetime goal.

"Suka." Tapi rumah baru di sini, Hessa menambahkan dalam hati.

"Memangnya kamu mau punya anak berapa?" Hessa belum membahas anak dengan Afnan. Kecuali masalah penundaan anak yang dulu mereka bicarakan, saat mereka membahas pernikahan setelah Hessa menerima lamaran Afnan. Setahun pertama nanti mereka masih menunda punya anak. Mereka akan punya waktu untuk merencanakannya, setelah saling menyesuaikan diri.

"Aku nggak menargetkan. Kalau kita sudah punya satu anak, lalu kita masih mampu lagi, ya lagi. Kalau dua masih mampu lagi ... dan seterusnya...."

"Maksudnya mampu itu apa?" Hessa bertanya sambil tertawa.

"Ya mampu, secara finansial. Juga tenaga kita, waktu kita, perhatian kita...."

Hessa diam dan melemparkan pandangannya ke luar jendela.

"Kita ke mana ini?" Hessa mengamati jalanan di samping kanannya.

"Ke rumahku."

Ini akan menjadi pertama kalinya juga Hessa datang ke rumah Afnan. Atau rumah calon mertuanya. Rumah Afnan di Aarhus. Sebentar lagi Hessa juga, kalau ada yang tanya rumahnya di mana, dia akan menjawab di Aarhus. Apakah terdengar cukup keren? Tapi dia lebih suka punya rumah di sini.

"Ayo." Afnan mengajaknya turun.

Hessa mengamati rumah di depannya. Bukan rumah yang sangat besar, hampir sama dengan rumahnya.

"Afnaaaaan!"

"Kalian mau ke mana?" Afnan menyeret kopernya sambil mendekati Lily.

"Rumah sakit." Lily menjawab, melambaikan tangannya pada Hessa.

"Ngapain? Apa keponakanku yang cantik sakit?" Afnan memerhatikan bayi di gendongan Lily yang sangat lucu.

"Nggak. Biasa, mau ke dokter saja. Dadah!" Lily ber­gegas menyusul suaminya yang tidak sabar menunggu dan meninggalkannya.

"Anak kecil itu belum pantas jadi ibu." Afnan membukakan pintu untuk.

Hessa mengamati interior rumah berwarna monokrom milik keluarga Afnan, yang akan menjadi keluarganya juga setelah ini. Warna putih, hitam, dan abu-abu mendominasi ruangan yang dilewati Hessa.

Afnan menuang jus ke gelas dan memberikan kepada Hessa. Dapur rumah Afnan langsung menghadap halaman belakang yang penuh bunga.

"Itu apa?" Hessa menunjuk dinding sebelah kanannya, ada kaca tebal di tembok. Møller Message Board. Dinding yang dimaksud Hessa langsung terlihat saat mereka masuk ke dapur ini dari ruang tengah.

"Itu untuk menulis pesan, kalau mau ngomong tapi orangnya nggak ada di rumah. Daripada lupa." Afnan menjelaskan.

"Ini contohnya. Mama, obatnya di dekat TV, dari Linus. Linus itu suaminya Lily, yang tadi. Terus ini apa? Jelek tulisannya. Pasti Papa. Astaga! Did I tell you that I love you, Kana? Cheesy banget."

Hessa tertawa sampai hampir tersedak. Hessa hanya pernah sekali bertemu papanya Afnan. Orangtua Afnan datang ke rumah Hessa untuk menentukan tanggal pernihakahan. Warna mata ayah Afnan sama dengan milik Afnan. Biru.

"Aku tempel di kulkas, kalau di rumahku." Hessa memberi tahu.

"Kalau seperti punya Mama bisa dihapus, nggak pakai kertas. Mamaku terobsesi dengan penghematan."

Hessa menghabiskan minumannya.

"Ayo. Biar aja di situ gelasnya, Hessa."

Hessa mengikuti Afnan naik ke lantai dua. Ruangan luas yang nyaman terhampar di hadapannya. Rak buku menempel dari lantai sampai menyentuh langit-langit. Dan penuh buku. Dua sofa panjang berwarna putih menghadap layar televisi sangat lebar. Coffee table lebar berwarna putih juga. Ada futon berwarna hitam ditumpuk di samping sofa. Afnan membuka salah satu pintu dan masuk. Hessa menyudahi pengamatannya, mengikuti Afnan.

"Jangan sentuh itu!" Afnan memperingatkan.

Hessa langsung menarik tangannya. Baru Hessa menyadari dirinya berdiri dekat dengan robot Gundam setinggi anak umur lima tahun. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin menyentuhnya. Penasaran dengan robot mahabesar itu.

"Ini yang bikin kamu mau membunuh Mikkel?" Hessa meninggalkan si Gundam pembawa petaka itu. Salah-salah Hessa bisa dicekik Afnan juga.

"Tahu dari mana kamu cerita itu?" Afnan merebahkan tubuhnya di kasur.

"Dari mamamu."

"Itu benda-benda yang nggak boleh disentuh." Afnan menunjuk rak di dinding di sebelah pintu. Isinya mainan Gundam berjajar-jajar, lebih dari dua puluh buah.

"Pelit amat."

"Itu hartaku. Demi beli itu, aku puasa setiap hari, nggak jajan. Nyusunnya juga susah."

"Dasar nerd." Hessa mencibir.

Afnan tidak menjawab.

Hessa duduk di kursi Afnan, menghadap ke komputer Afnan. Karena bosan, Hessa memutar-mutar kursinya. Kamar Afnan terlalu sepi. Tidak banyak barang selain Gundam dan bola dunia besar berwarna abu-abu di atas lemari bajunya. Oh, ada layang-layang besar berbentuk naga digantung di dinding yang menghadap tempat tidur.

"Aku ngantuk. Aku tidur dulu ya." Afnan memejamkan mata.

Hessa menyalakan komputer milik Afnan.

"Kamu kalau mau nonton TV, ada di luar sana. Buku-buku juga ada. Buku-buku cengeng punya mamaku zaman dulu juga ada."

"Ya." Hessa lebih tertarik untuk meneliti isi komputer Afnan.

"Kenapa wajahmu begitu?" Afnan berbaring miring mengamati wajah Hessa dari samping.

"Hari Sabtu cepet banget datang, ya?" Hessa memperhatikan kalender di komputer.

"Kenapa memangnya kalau hari Sabtu datang?"

"Pusing."

Is it just her or is wedding always stressful?

"Begitu saja bikin kamu pusing. Akan banyak lagi hari-hari lain yang bikin kita lebih pusing nanti. Misalnya saat lihat kamu melahirkan, saat anak kita sakit ... percayalah, hari pernikahan mungkin malah menyenangkan dibandingkan hari-hari lain nanti."

"Ah, kamu nggak ngerti. Aku ingin pacaran dulu. Bukan tiba-tiba menikah."

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top