Hidupku Akan Sempurna Kalau Afnan Tinggal Di Sini

"Bawa buku-buku yang kamu sukai dari sini," Afnan memberi tahu saat mereka masuk ke toko buku.

"Lebih menyenangkan membaca buku yang pakai bahasa Indonesia, kan?" Afnan mengambil sebuah majalah dari rak.

"Iya. Tapi kan ada e-book." Hari ini Hessa mengajak Afnan ke mal lagi, nonton film dan ke toko buku.

"Lebih menyenangkan mebaca buku kertas seperti itu." Afnan menunjuk deretan buku di rak di depan mereka.

Hessa membenarkan dalam hati apa yang dikatakan Afnan.

"Nanti aku ajak kamu ke perpustakaan di sana, dekat dengan flat kita. Kamu bisa baca buku di sana. Bukunya berbahasa Inggris, jadi nggak perlu beli."

Afnan mengikuti Hessa pindah untuk melihat-lihat buku dongeng.

"Aku sudah baca hampir semua buku dongeng di sini." Hessa memberi tahu, mengambil secara acak buku karangan Charles Dickens.

"Oh ya? Kamu geek juga ya." Afnan tertawa.

"Nggak. Aku bukan geek."

"Apa kamu juga delusional? Kamu pasti membayang-bayangkan didatangi pangeran tampan yang menyelamatkanmu dari penyihir jahat."

"Nggaklah." Hessa membantah.

"Bohong."

"Aku cuma membayangkan aku naik unicorn."

"Nanti malam baca dongeng buat aku ya, Hessa?" Afnan merangkul pinggang Hessa.

"Jangan kayak anak kecil!" Hessa tidak mau melakukannya.

"Kamu nggak mau memenuhi permintaan suamimu, ya?"

"Ya nggak mau. Malu." Hessa menjauh dari Afnan.

"Tapi aku pengen denger. Kayak yang di video-video kamu itu."

"Ya, lihat di internet sana!"

Afnan mengikuti Hessa berpindah lorong lagi.

Hessa membeli buku kerajinan tangan; tentang merajut, menyulam dan apa saja yang bisa dipelajarinya dan dilakukannya nanti di sana. Untuk membuatnya sibuk, selain dia akan kursus bahasa, kalau Afnan tidak sempat mengajarinya. Hessa harus bisa bahasa Denmar karena beberapa kali pembicaraan dengan Afnan, Afnan menyiratkan untuk mengajak Hessa tinggal sangat lama di sana.

"Aku sudah selesai." Hessa memberi tahu Afnan.

Afnan bersisian dengan Hessa menuju kasir untuk membayar semua belanjaan Hessa.

"Ada yang mau dibeli lagi?" Afnan menoleh kepada Hessa sebelum menyerahkan kartu kreditnya.

Hessa hanya menggeleng.

"Apa kita akan jalan-jalan begini juga nanti di Aarhus?" Hessa bertanya saat mereka berjalan keluar.

"Tentu saja. Di sana banyak tempat bagus."

"Apa aku boleh pergi sendiri kalau kamu kerja?"

"Boleh. Nanti aku kasih tahu caranya. Kamu akan senang di sana. Santai saja." Afnan merangkul pundak Hessa.

"Semoga saja ya." Hessa juga berharap semua akan mudah untuk mereka berdua.

***

"Kamu kelihatan lebih bahagia, ya?" Andini tersenyum mengamati wajah Hessa.

Hari Minggu ini Hessa berkunjung ke rumah Andini, sebelum Hessa meninggalkan Indonesia.

"Ya. Aku nggak ada masalah menikah sama Afnan. Dia ... menyenangkan. Kecuali bagian aku harus pindah ke Denmark itu." Hessa meminum orange juice-nya sampai habis.

"Seleramu berubah banget. Dari laki-laki gaul nggak memikirkan masa depan kaya si ... mantan kamu itu ... jadi ke Afnan laki-laki model-model juara kelas. Apa dia pinter banget?" Andini bertanya sambil tertawa.

"Biasa saja. Hanya dia itu mau kerja keras dan punya rencana yang jelas. Nggak kaya Adriasena yang diajak nikah saja nggak berani. Sia-sia benar bertahun-tahun pacaran sama dia. Kalau tahu ada orang bernama Afnan sejak dulu, aku pacaran sama dia, deh." Hessa ikut tertawa setelah menjawab.

Afnan tidak pernah membicarakan sesuatu yang disebut orang sebagai hyper-intelectual discussion dengan Hessa. Afnan mungkin penganut paham kepintaran itu seperti pakaian dalam. Sesuatu yang penting tapi tidak perlu dipamer-pamerkan. Afnan tidak terobsesi menceritakan kehebatannya, kecuali Hessa yang bertanya lebih dulu.

"Hes...."

"Apa? Ngelamun sedikit tadi." Hessa mengambil sepotong pizza buatan Andini di meja.

"Habis ini kapan kita ketemu lagi, ya?"

"Mungkin tahun depan. Kalau anakmu sudah lahir."

"Nanti aku bisa liburan ke sana, Hes. Ya, kan?"

Hessa hanya tertawa. "Mending kamu ke Prancis, Italia atau Spanyol. Kata Afnan di sana lebih hangat."

"Nggak ketemu kamu dong."

"Ya aku sama Afnan ke sana, ketemu kalian." Hessa menjawab dengan cukup yakin, dengan catatan kalau Afnan tidak sibuk, mereka bisa pergi ke mana saja.

***

Hessa berdiri di dapur Andini, memanggang sayap ayam. Makanan kesukaan mereka berdua. Di belahan dunia mana pun, rasanya Hessa tidak akan bisa menemukan sahabat seperti Andini.

"Jangan dicabein!" Andini sekali lagi mengingatkan Hessa.

Hessa hanya tertawa dan tetap menyertakan cabai. Nanti Hessa akan menyiapkan APAR kalau lidah Andini kebakaran.

"Sudah gede kok nggak doyan makan cabe." Hessa menyelesaikan tugasnya dan membawa ayam-ayam itu ke meja makan.

"Kamu dijemput jam berapa, Hes?"

"Habis gini." Hessa menerima piring dari Andini.

"Afnan nunggu kamu di mana?"

"Di rumah."

"Aku pengen suamiku kayak gitu. Dia sih kalau nggak diiket di kursi bakalan mencelat ke mana-mana."

"Tahu nggak, Din, hidupku bakal terasa sempurna kalau Afnan itu orang sini, tinggal dan kerja di sini."

"Kamu beneran suka sama dia ya, Hess?" Andini tersenyum menatap Hessa.

Hessa tidak pernah memikirkan itu. Mungkin sebelumnya dia dan Afnan adalah dua orang yang benar-benar asing, tapi sama-sama berkomitmen untuk menjalani pernikahan ini sebaik-baiknya. Bukankah banyak pasangan juga seperti itu? Berawal dari dua orang asing yang sebelumnya tidak saling kenal. Lalu takdir membuat mereka berpapasan. Di sekolah, di kampus, di tempat kerja, di kafe, di mana saja. Lalu salah satu tertarik dan mencari tahu. Kenalan. Berteman. Sama-sama jatuh cinta. Pacaran. Menikah jika memang ditakdirkan.

"Ya. Mungkin aku menyukainya."

Mungkin. Hessa belum yakin. Orang-orang bilang, cinta itu kalau kita rela melakukan apa pun untuk orang yang kita cintai. Meskipun itu bertentangan dengan keinginan kita. Meskipun itu hal yang paling tidak kita sukai. Their needs come before our own. Hessa memang belum merasakan ini. Sebab Hessa tidak dengan senang hati meninggalkan negara ini untuk hidup dengan Afnan di Aarhus. Hessa terpaksa melakukannya. Bukan tulus dari hatinya.

Lagipula, Hessa baru menikah, belum genap dua minggu umur pernikahannya. Semuanya masih tampak seperti surga.

***

"Kamu sudah makan?" Afnan menjemput Hessa di rumah Andini.

Afnan tidak percaya dia akan menanyakan ini pada seorang wanita dalam hidupnya. Sebelum ini Afnan tidak pernah peduli orang sudah makan apa belum. Tanpa Afnan sadari, naluri untuk lebih perhatian besar kepada istrinya muncul begitu saja.

"Ngemil-ngemil saja tadi." Hessa menyalakan radio di mobil.

"Mau makan di luar dulu sebelum pulang?"

"Mau makan bakso."

Afnan sudah tahu tempat favorit Hessa untuk makan bakso. Di belakang Kantor Pos. Afnan mungkin belum terlalu banyak mengenal Hessa, less than 50% of the person she is, tapi Afnan punya waktu seumur hidup untuk semakin mengenalnya.

Afnan membawa Hessa untuk berpamitan dengan bakso favoritnya.

Hessa duduk setelah mengatakan pesanannya, bakso tanpa tahu putih.

"Biasa saja ngasih cabenya." Afnan heran melihat Hessa menuang cabai cair banyak-banyak.

"Nggak apa-apa. Ini enak. Kamu payah nggak doyan cabe."

Afnan tidak pernah mengerti apa enaknya cabai, hanya membuat lidahnya sakit dan mati rasa. Begitu kena cabai, lidah jadi tidak bisa merasakan enaknya makanan.

"Kamu kenapa?" Afnan melihat mata Hessa berair.

"Pedas."

"Kita bisa bikin bakso juga nanti di sana. Daging giling ada."

"Aku foto sama Andini tadi." Hessa menunjukkan HP-nya pada Afnan.

"Kalian cantik."

"Lebih cantik Andini atau aku?"

"Jawaban sebagai laki-laki atau suami?" Afnan mengembalikan HP Hessa.

"Laki-laki."

"Lebih cantik Andini." Afnan menjawab dengan jujur.

"Huh! Kalau suami?"

"Kamu yang paling cantik." Afnan mengacak rambut Hessa.

"Kamu ngeselin, ah."

"Orang jawab jujur dibilang ngeselin."

Afnan menunggui Hessa yang makan lebih lambat darinya, menghabiskan isi mangkuknya.

Afnan berdiri dan mengajak Hessa pulang setelah Hessa meletakkan gelas esnya.

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top