First Kiss


"Tiba-tiba? Ada jeda tiga bulan. Kita sudah sering telepon, video call, chatting."

"Ya, tiga bulan tapi kan kita nggak pacaran." Hessa tidak menemukan apa pun yang menarik di komputer Afnan. Hanya ada film-film Gundam, juga film robot-robotan lain. Hessa tidak tahu apa bagusnya benda-benda seperti ini.

"Apa enaknya pacaran?"

"Having fun." Hessa menelusuri folder-folder lain, seharusnya ada porn videos di sini.

"Kalau begitu ayo kita pacaran mulai hari ini."

"Apa? "Hessa menoleh ke kanan, supaya bisa melihat wajah Afnan.

"Orang pacaran itu ngapain saja? Aku belum pernah pacaran." Afnan memandang langit-langit kamarnya.

"Nggak tahu. Kamu nggak lucu." Hessa tidak tahu lagi harus bagaimana bicara dengan Afnan ini. Semua tanggapan dari Afnan selalu mengejutkan. Menyebalkan.

Hessa mematikan komputer lalu berdiri, memilih ikut duduk di tempat tidur Afnan. Afnan berbaring di sebelahnya. Hessa kembalo mengamati wajah Afnan. Kini mata Afnan terpejam, sedang mencoba untuk tidur. Laki-laki ini yang akan menjadi suaminya. Hessa dan Afnan punya pilihan untuk membuat ini semua, pernikahan mereka, berjalan dengan baik. Seperti kata Mahatma Gandhi, "Be the change you want to be."

Hessa mengambil bantal dari bawah kepala Afnan lalu membekap wajah Afnan dengan bantal.

"Aku bisa mati, Hessa!" Suara Afnan teredam oleh bantal.

Hessa hanya tertawa, semakin menekan bantalnya ke wajah Afnan.

Hessa menarik bantal dan melihat Afnan sedang mengumpulkan napas. Lalu Hessa menunduk dan memberanikan dirinya untuk menempelkan bibirnya di bibir Afnan. Takut Afnan marah karena menilai Hessa lancang, Hessa sudah akan menarik kepalanya. Namun Afnan menahan kepala Hessa.

Hessa merasa dirinya hampir pingsan. Seperti seluruh darahnya tiba-tiba mengalir ke kepala. Afnan membalas ciuman Hessa. Hessa sempat membelalakkan mata, sebelum memutuskan untuk menikmatinya. Saat bibir mereka bersentuhan, rasanya seperti dunia melebur di sekitar mereka, tidak ada orang lain lagi yang hidup di dunia selain mereka berdua.

"You stole my first kiss," kata Afnan setelah Hessa melepaskan bibirnya.

Hessa tertawa sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Kenapa dia agresif sekali, tiba-tiba mencium Afnan?

Apa tadi Afnan bilang? First kiss? Bagaimana mungkin ada laki-laki setua Afnan belum pernah ciuman? But he is good at kissing. He is way better than her ex.

Hessa menurunkan tangannya, takut-takut melihat Afnan yang berbaring dengan kepala sudah pindah di paha Hessa. Afnan kembali memejamkan mata. Ekspresi wajah Afnan sekarang seperti gabungan dari ekspresi terkejut, bingung, dan bahagia.

***

Everything is so perfect today. Hessa duduk bersama Afnan di teras belakang rumah orangtua Afnan. Matahari sudah hampir tumbang di ufuk barat. Tadi Afnan sudah tidur siang cukup lama. Hessa meninggalkan Afnan beristirahat untuk duduk di luar nonton TV dan membaca. Sampai mereka selesai makan siang—yang sangat terlambat, tidak ada satu penghuni lain dari rumah ini yang pulang.

Hessa duduk diam memandang langit senja. Tidak pernah Hessa merasakan damai seperti ini, selama masa berat menjelang pernikahannya. Sekarang Hessa bisa sedikit menerima bahwa dia dan Afnan sudah membuat keputusan yang masuk akal. Hanya perlu improvisasi di sana sini untuk membuat pernikahan mereka menjadi wajar. Memang mereka tidak saling mengenal, tapi bukan berarti mereka akan terus-menerus membiarkan jurang lebar membentang di antara mereka. Kalau tidak bisa emotionally, setidaknya physically mereka dekat.

Hessa menyentuh tangan Afnan, lalu mencium pipi Afnan, to make them more comfortable.

"Kita akan ketemu lagi nanti hari Sabtu," kata Afnan.

Hidup Afnan sudah sangat baik sebelum hari ini. Dan dia merasa hidupnya akan lebih baik setelah ada Hessa di dalamnya. Tidak tahu seperti apa tepatnya, tapi pasti akan lebih baik. When he has something good, it's difficult to imagine he can have something better.

"Iya. Besok aku akan sibuk, jadi kita nggak ketemu." Hessa menggumam.

"Sibuk apa?"

"Ya rahasia. Itu urusan pengantin wanita." Sibuk apa lagi selain ritual menyiapkan diri untuk menghadapi malam pengantin mereka. Sebenarnya ibu Hessa yang rebut mengenai perawatan diri sebelum menikah dan Hessa malas untuk berdebat.

"Kenapa aku nggak ada kesibukan?" Afnan menunjuk dirinya sendiri.

"Menurutmu ... apa yang bakal kamu rasakan hari Sabtu nanti?" Hessa mengabaikan pertanyaan Afnan.

"Lapar," Afnan menjawab singkat.

"Hah?" Jawaban Afnan selalu di luar dugaan Hessa.

"Aku pasti nggak sempat sarapan pagi-pagi. Siap-siap sejak subu. Terus ada acara nikah. Setelah itu kita ada acara lagi sama keluarga sebentar. Aku nggak sempet makan lagi. Lalu resepsi."

"Ya ampun." Hessa menepuk keningnya dan tertawa.

"Lalu kita akan salaman dan tersenyum-senyum dengan para tamu. Aku akan melihat tamu-tamu makan dan aku nggak makan. Aku tetap akan lapar."

"Terserah deh." Hessa menggeleng-gelengkan kepala, takjub dengan jalan pikiran Afnan.

"Aku harus siap-siap sekarang. Ayo masuk." Afnan menarik Hessa berdiri bersamanya.

"Siap-siap?" Hessa menatap punggung Afnan.

"Beberapa barang-barangku harus dibawa ke rumahmu. Kita tinggal di sana kan, setelah menikah dan sebelum berangkat ke Aarhus?" Afnan memastikan Hessa belum mengubah rencananya.

"Iya."

Hessa berjalan pelan mengikuti Afnan masuk.

"Oh, Hessa di sini?" Ibu Afnan sudah ada di dapur saat Afnan dan Hessa masuk ke rumah lewat sana.

"Kami makan malam di sini nanti, Ma." Afnan memberi tahu.

"Eh, begitu? Aku akan bantuin Tante masak kalau gitu." Hessa mencoba melepaskan tangannya yang tengah digenggam Afnan.

"Kamu bantu aku packing dulu." Afnan menggeret Hessa meninggalkan dapur.

"Nggak enak dong aku cuma makan saja di sini. Nggak bantu-bantu. Kayak di restoran saja." Hessa protes, masa dirinya hanya datang, makan, lalu pulang.

Afnan tidak menjawab, hanya membuka koper besar yang tadi dibawanya dari bandara.

Afnan membuka lemari dan mengeluarkan baju-bajunya.

"Ini apa?" Hessa memegang kain dengan telunjuk dan ibu jarinya. Saat ini Hessa duduk di lantai menghadap koper Afnan.

"Celana dalam. Kenapa kamu jijik? Nanti kamu juga yang doing laundry."

"Ih! Kamu cuci sendiri, lah!" Hessa melemparkan begitu saja ke koper Afnan.

Afnan tertawa keras. "Itu cuma celana dalam. Bukan isinya."

"Afnan, stop. Mulutmu itu harus disetorkan ke lembaga sensor, deh."

"Ini kan pembicaraan orang dewasa. Apa yang harus disensor?" Afnan kembali tertawa melihat Hessa menutup telinga.

Afnan mengeluarkan perlengkapan perang yang dia bawa dari Aarhus.

"Ini apa?" Hessa sedikit tertarik dengan barang-barang laki-laki. Karana Hessa hanya memiliki adik perempuan, jadi dia tidak tahu kalau laki-laki memiliki banyak benda penting. Seperti make-up kit dan lain-lainnya bagi Hessa.

"Sabun."

"Kalau ini?" Tulisan di botolnya tidak bisa dipahami Hessa.

"Foam untuk wajah."

"Ini?" Hessa mengacungkan secarik kain.

"Celana renang. Hessa, Kamu harus bantuin beres-beres. Bukan mengaduk-aduk begitu." Afnan menegur Hessa yang sedari tadi hanya membolak-balik tumpukan baju Afnan.

"Ah, oke." Hessa mengatur bawaan Afnan, biar tidak kusut di koper.

"Ini apa?" Hessa kembali bertanya.

"Sunscreen."

"Oh ... kamu takut gosong ya?"

"Itu buat berenang. Bukan masalah gosong. Biar nggak kena kanker kulit."

Afnan berjongkok di depan Hessa, memasukkan parfum ke dalam kopernya.

"Kamu iseng banget." Afnan melihat Hessa membentuk kaos kaki Afnan jadi bola-bola.

"Biar nggak hilang sebelah tahu. Jangan protes terus, ah."

"Siapa yang protes? Aku kan cuma ... heran." Afnan menyelipkan rambut Hessa, yang panjang sebahu, ke balik telinganya. Biar lesung pipi Hessa terlihat kalau Hessa tertawa. Manis sekali.

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top