Apa Kita Akan Sering Pulang Ke Sini?

"Ya macam-macam. Ada yang sudah dua puluh lima tahun tinggal di Denmark belum bisa, ada yang baru dua tahun sudah sampai bisa mencontek aksennya. Aku belajar dari Papa sejak kecil, karena menurutku keren banget kalau aku bisa bicara bahasa yang teman-temanku nggak bisa. Bahasa kan keterampilan, semakin sering kamu mengobrol sama orang dengan bahasa tersebut ya semakin bisa. Sama kayak bahasa Inggris, kan? Danish juga begitu. Tinggalkan zona nyaman, terus bicara bahasa Denmark walaupun bahasa Inggris lebih gampang."

"Kamu mau ngajarin aku, kan?" Hessa bertanya penuh harap.

"Ya. Asal kamu nggak gampang bosan dan nggak gampang menyerah."

"Ya ampun. Kenapa kamu nggak tinggal di Malaysia aja? Yang gampang bahasanya. Elok tak, Pakcik?" Belum juga berangkat bayangan language barrier sudah membayang di mata Hessa.

"Kamu nggak perlu lancar bahasa Denmark, asal tahu sedikit-sedikit, cukup. Supaya bisa baca sign di jalan, atau untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana saat belanja, naik taksi." Afnan mencoba membuat ini tidak terlalu terlihat sulit. "Kamu tahu nggak, Hessa?"

"Tahu apa?"

"Tahu cara terbaik untuk belajar bahasa?"

"Nggak tahu. Bagaimana caranya?" Hessa perlu waktu yang sangat lama untuk bisa bahasa Inggris, itu juga terbantu karena di tempat kerjanya cukup banyak ekspatriat.

"Pernah denger pillow way?"

Hessa menggeleng. "Pillow way itu apa?"

"Belajar bahasa dengan cara ... tidur sama native speaker. Teman-teman kuliahku dulu gitu, karena pusing nggak bisa-bisa bahasa Denmark, mereka pacaran sama orang Denmark lalus tinggal bersama. Cepet aja lancarnya, lebih cepat daripada orang yang kursus."

"Aku harus tidur sama siapa? Laki-laki mana?" Hessa dengan bodohnya bertanya.

"Ya sama akulah. I am a Danish." Afnan jadi kesal sendiri karena kodenya tidak dibaca Hessa.

"Bisa saja ya kamu mencari kesempatan." Hessa memukul perut Afnan dengan bantal.

"Aku mau membuktikan pillow way itu. Kita coba ya?"

"Hahahahahaha! Bodo, ah! Mesum terus ke mana-mana kamu!" Hessa tertawa melihat wajah Afnan yang mencoba membujuknya.

"Aku mau belajar sama ayahmu saja. Atau sama Mikkel." Hessa jengah sendiri karena Afnan mulai membawa-bawa masalah tidur bersama.

"Enak sama aku, Hessa. Aku puas, kamu puas, and free Danish class."

"Sudahlah. Aku lapar. Aku mau makan."

Hessa berdiri sebelum Afnan semakin melantur bicaranya. Dari pelajaran bahasa bisa saja dibawa-bawa ke arah sana. Ke arah tidur bersama.

"Ngapain sih, kamu?" tanya Hessa ketika Afnan tiba-tiba berdiri di belakangnya. "Aku mau ambil baju." Hessa mendorong dada Afnan dengan sikunya.

Afnan memaksa memeluk Hessa dari belakang.

"Apa, sih, Afnan?" Hessa bertanya.

Afnan hanya diam.

Hessa memandang pantulan dirinya dan Afnan di cermin lemari.

Afnan membenamkan kepalanya di rambut Hessa.

"Mau makan di mana?" Afnan melepaskan pelukannya.

***

Hessa ngeri melihat dua mangkuk soto daging di depan Afnan. Ini baru makan pagi, tapi suaminya sudah makan sebanyak itu. Apa seperti itu porsi makanan Afnan setiap hari? Hari-hari setelah pernikahan memang dipakai untuk saling mengenal lebih dalam lagi. Hessa merasa, setelah menikah, dia dan Afnan malah seperti orang pacaran.

"Afnan." Hessa menegur.

"Ya?" Afnan sudah mulai menyerang mangkuk pertamanya.

"Kamu nggak papa makan banyak kayak gitu?"

"Kenapa? Aku kan laki-laki. Makannya memang banyak."

"Nanti kamu buncit, lho." Hessa memperingatkan.

"Nggak akan. Aku tetap akan seksi dan kamu tetap akan suka. Karena aku rajin berrenang."

"Ya tapi kan ... makannya diukur dong, secukupnya, jangan berlebihan. Kamu kayak orang nggak nggak dikasih makan sebulan."

Afnan tidak tahu mengapa dia kuat makan banyak, mungkin keturunan. Papanya makan banyak. Mikkel makan banyak. Afnan makan banyak. Lily juga makan banyak.

"Kamu juga makannya yang banyak, Hessa, karena kamu kurus." Afnan melihat Hessa makan ogah-ogahan. Padahal kata Hessa ini soto kesukaannya.

"Ya ini makan."

Afnan tertawa melihat Hessa kepedasan dan wajahnya merah sekali. Cepat-cepat Hessa mengambil botol minumnya.

"Katanya tahan makan cabe?" Sindir Afnan.

"Berisik! Yang tadi itu kurang beruntung." Hessa kehabisan air dari botolnya. "Kalau di sana ... apa makanannya pedes juga?" Hessa mengipasi mulutnya.

"Nggak." Afnan memberikan air minumnya pada Hessa.

"Mana enak makan nggak pakai cabe?" Hessa mengeluh.

"Aku belum pernah coba makan salmon pakai cabe. Kita bisa coba bikin nanti."

"Salmon? Apa nggak mahal?"

"Nggak, di sana banyak, tinggal mancing di dekat Aarhus saja kalau kamu mau. Kalau kita nggak bisa dapat daging atau ayam halal di sana, kita makan ikan."

"Gimana tahu halal apa nggak?"

"Tanya sama yang dagang. Nggak semua mau jelasin sih. Ya ... kalau kamu ragu-ragu waktu mau makan atau beli daging, beli saja ikan."

Hessa langsung diam lagi. Ini benar-benar akan jadi sesuatu yang tidak mudah. Hessa tidak terlalu suka makan ikan.

"Masa mau makan soto ikan." Hessa terdengar merana.

"Sudah, yuk." Afnan mengajak Hessa berdiri, mengambil uangnya dan membayar.

"Gimana kalau hari ini kita kencan?" Afnan berjalan di samping Hessa, jalan kaki lagi pulang ke rumah Hessa.

Aku suka di sini sama kamu, Hessa menjawab dalam hati.

"Kita mau ke mana habis ini?" Hessa mencoba tersenyum.

"Hmm ... shopping? Mungkin kamu perlu beli baju-baju tebal, kaos kaki, juga sepatu."

"Kamu yang bayar?" Yang menyenangkan dari ini semua, uang milik Hessa aman semua.

"Iya."

Hessa membuka pintu rumah dan Afnan mengikuti di belakangnya. Ibu Hessa dan Nana belum terlihat di rumah. Hessa langsung naik ke kamar.

"Kalau kita sudah di sana ... apa kita akan sering pulang ke sini?" Hessa berdiri di depan lemari bajunya yang terbuka lebar.

"Ya. Setahun sekali kita bisa pulang. Aku dapat cuti hampir dua bulan setiap tahun. Jadi bisa pulang dan dua bulan tinggal di sini. Rugi kalau pulang hanya sebentar. Biayanya mahal." Afnan duduk di tempat tidur.

Hessa masuk ke kamar mandi untuk mengganti bajunya.

"Nana mungkin menikah tahun depan. Apa kita bisa pulang?" Hessa keluar dari kamar mandi dan membahas masalah ini.

"Kita lihat nanti. Aku nggak bisa memastikan sekarang."

"Kalau kamu sibuk ... apa aku bisa ke sini sendiri?"

"Nggak."

Hessa diam menyisir rambutnya. Posisinya tidak baik sekali. Pulang ke sini perlu uang dari Afnan. Afnan sudah membuka semuanya, berapa banyak uang yang dia miliki, juga rencana-rencananya dengan uang itu. Ada rencana membeli rumah dan rencana besar lainnya, kemudian ada tabungan untuk masa depan dan keadaan darurat, dan sisanya ada di tangan Hessa. Tetapi menghambur-hamburkan uang untuk sering-sering naik pesawat jelas tidak masuk hitungan.

Tabungan Hessa memang ada, tapi tidak ada gunanya juga kalau Afnan tidak mengizinkan Hessa pergi pergi. Kenapa Hessa mengeluhkan ini? Bukankah dia sudah tahu sejak sebelum menikah, bahwa memang seperti itulah kehidupannya bersama Afnan? Afnan sudah menceritakan pekerjaannya yang sudah dijadwal ketat untuk tahun ini. Sebab Afnan sudah cuti dua kali.

"Kamu nggak usah memikirkan hal-hal yang belum terjadi, Hessa. Nikmati saja waktu kita di sini. Pergi makan ke tempat-tempat yang kamu suka, hang out sama teman kamu, kamu habiskan waktu sama Mama dan Papa juga Nana."

"Kamu gimana?"

"Aku akan punya banyak waktu sama kamu nanti di sana."

Hessa menganggukkan kepalanya sambil berusaha tersenyum.

#####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top