Apa Dia Akan Bahagia?

Hessa duduk di ruang makan, ibunya sudah hampir seleseai siap dengan makan malam mereka. Ayah Hessa masih di kantor, pulang sedikit terlambat.

"Mama..." Hessa menggigit bibir bawahnya.

"Ada apa?" Mamanya melepaskan sarung tangan antipanas dan memandang wajah Hessa.

"Aku ... mau menikah." Hessa memberi tahu.

"Apa?!" Mamanya sedikit kaget, lalu tertawa.

"Iya, Ma. Aku mau menikah." Hessa mengulanginya lagi.

"Sama siapa?" Mamanya tampak masih belum bisa percaya.

"Afnan."

"Yang benar kamu, Hessa?"

"Mama, sebenarnya Hessa ketemu Afnan setelah dia ke sini dulu. Ketemu di luar. Hessa nggak ngasih tahu Mama, lalu dia membicarakan pernikahan dan ... ya...." Hessa mengakhiri ceritanya.

"Kamu mau menikah sama Afnan?" Mamanya sudah berdiri tepat di depan Hessa.

Hessa menganggukkan kepala.

"Oh, Tuhan!" Ibunya langsung memeluknya. Lalu menciumi wajahnya.

"Mama..." Hessa ikut terharu melihat mata mamanya berkaca-kaca.

"Putri kecilku sudah dewasa, sudah besar sekali dan dia akan menikah." Mamanya memeluknya lagi.

"Afnan bilang dia minta maaf karena nggak bisa datang ketemu Mama dan Papa untuk melamar Hessa." Hessa menyampaikan permintaan maaf Afnan.

"Oh ... ya, kan, mahal kalau dia bolak-balik ke sini. Lalu kapan kalian ingin menikah?"

"Tiga bulan lagi saat Afnan dapat cuti. Kalau waktunya cukup untuk mempersiapkan."

"Tentu saja cukup. Mama akan bicarakan dengan Kana. Ah, ini cita-cita Mama sejak dulu. Kalau Mama ingin Hessa menikah dengan anak Kana. Anak-anak Kana semuanya baik."

Hessa tersenyum, ibunya terlihat bahagia sekali. Sepertinya ini pilihan yang terbaik yang sudah dibuatnya. Mamanya sudah merawatnya dan menemaninya selama hampir tiga puluh tahun. Siang dan malam mamanya menjaganya, sejak dia masih bayi dan tidak bisa apa-apa, melihatnya tumbuh dan menjadi remaja, sampai hari ini, saat dia sudah menjadi wanita dewasa. Mamanya yang selalu sabar merawatnya saat dia sedang sakit, membantunya belajar setiap malam, selalu berusaha memenuhi keinginannya, dan menjadikan Hessa—juga adiknya—sebagai prioritas utama hidupnya. Berapa kali seorang ibu mengesampingkan keinginannya sendiri demi mendahulukan kebahagiaan anaknya? Membuat mamanya bahagia saja tidak akan pernah menjadi harga yang pantas untuk membalas jasa-jasanya.

"Apa kamu bahagia?" Mamanya bertanya.

"Aku akan bahagia, Ma."

Hessa sendiri tidak yakin. Ini seperti sebuah pertaruhan, Hessa tidak tahu apakah akan menang atau kalah. Keputusan ini adalah keputusan terbesar yang pernah dibuatnya sepanjang hidup. Menikah dengan orang yang tidak dicintainya mungkin saja berpotensi membuatnya tidak bahagia selama sisa hidupnya. Penderitaan karena salah menikah bisa jadi harus dihadapinya selamanya.

"Tapi ... kenapa kamu tiba-tiba mau menikah sama Afnan? Kemarin kamu alot sekali disuruh kenalan saja." Mamanya tertawa pelan ketika menanyakan ini.

Hessa tidak pernah punya jawaban pasti untuk ini.

"Karena Afnan adalah pilihan yang baik. Mama dan Papa juga percaya padanya, kan?"

Hessa sudah melihat daftar prestasi Afnan, juga atas sebab apa dia jadi notable alumni. Afnan dan pekerjaannya. He takes it seriously and does his best at all times. Hidup tidak pernah mudah. Hessa memerlukan orang yang mau bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, mau bekerja keras juga untuk membuat pernikahan mereka berjalan baik. Tidak perlu bahagia, Hessa perlu ini semua berjalan baik. Dia tidak memasang harapan terlalu tinggi.

Afnan adalah orang yang kuat dan percaya diri. Suatu saat nanti akan ada masa di mana Hessa ragu-ragu dan hilang arah, Hessa memerlukan Afnan untuk membimbingnya kembali.

"Semoga benar ini pilihan yang baik. Mama dan Papa selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu dan adikmu. Mama dan Papa tidak ingin m­lepaskanmu kepada orang ... sembarang orang ... harus orang yang baik ... terbaik."

Hessa tersenyum.

***

"Hessa! Cepet berangkat! Ditunggu Kana lho." Mamanya memanggilnya dari bawah.

Hessa melihat jam di laptopnya, lalu Hessa segera men-save and share daftar tamu undangan, lalu mengirim WhatsApp kepada Afnan. Memberi tahu untuk segera mengisi nama-nama tamu yang ingin diundang. Ini harus dialokasikan dengan benar karena mereka memutuskan akan punya tamu seratus sampai seratus lima puluh orang tamu saja.

Hari ini Hessa akan membereskan salah satu komponen penting untuk pesta pernikahan mereka. Perfect dress. Sekalian akan mencari make-up and hair options. Ini akan menjadi hari yang panjang lagi. Hessa masuk ke taksi dan minta untuk cepat diantar ke tukang jahitnya. Mamanya Afnan akan ada di sana. Perkara baju ini menjadi lucu lagi, karena Afnan tidak ada untuk diukur, kakaknya yang akan menggantikan. Hessa meragukan ketepatan ukurannya, tapi Afnan bilang pasti sama.

"Maaf, Tante, Hessa telat." Hessa menerobos masuk saat melihat Kana sudah ada di sana.

"Tante baru sampai, kok. Kita tunggu Mikkel ya, biar sekalian." Kana tersenyum menenangkan melihat Hessa datang dengan napas memburu.

Hessa mengangguk dan ikut duduk di sofa, menarik napas dalam-dalam.

"Afnan sudah setuju dengan model baju pilihan kalian?"

"Afnan bilang terserah saja." Hessa memberi tahu. Memang Afnan bilang seperti itu saat Hessa menunjukkan baju yang akan mereka pakai.

"Dasar anak itu. Memangnya dia pikir dia menikah di hutan apa. Apa-apa kok terserah."

Hessa ingin tertawa mendengar ibunya Afnan mengeluh. Siapa juga yang tidak jengkel kalau calon pengantin laki-lakinya hanya ongkang-ongkang kaki, orang lain yang repot. Semua diserahkan kepada pihak yang berada di Indonesia.

"Ah, itu Mikkel datang!" Kana berseru riang.

Hessa mengamati laki-laki yang mendorong pintu kaca, berjalan bersama seorang wanita seumuran Hessa. Kalau ibunya Afnan tidak memberi tahu kalau laki-laki itu adalah Mikkel, Hessa pasti mengira itu Afnan. Afnan tidak pernah mengatakan kepada Hessa kalau dirinya kembar. Kembar identik. Hanya bilang kakakku, kakakku, kakakku, dan Mikkel, Mikkel, Mikkel.

"Ini Hessa. Calon istrinya Afnan. Hessa, ini Mikkel, kembarannya Afnan. Dan istrinya, Liliana." Kana memperkenalkan mereka bertiga.

Hessa bersalaman dengan Mikkel sedangkan Liliana langsung memeluk Hessa.

"Wow! Ternayat Afnan hebat juga ya." Mikkel mengamati Hessa.

"Mikkel! Yang sopan!" Kana mendesis memperingatkan anaknya.

"Gimana baju pengantinku, Ma? Sudah siap?" Mikkel mengamati sekelilingnya.

Seorang wanita datang dan bersiap untuk mengukur badan Mikkel.

"Begini ya rasanya mau menikahi istri kedua." Mikkel tertawa, langsung dipukul mamanya.

Hessa bengong melihat sikap Mikkel yang sangat berbeda dengan Afnan. Mikkel jauh lebih santai.

"Coba, ya, kalau Afnan sampai minta diwakili juga saat menikah, aku dengan senang hati melakukannya, Hessa." Mikkel mengedipkan matanya pada Hessa.

"Mati saja kamu habis ini." Liliana yang duduk di sebelah Hessa memperingatkan Mikkel sambil tertawa.

Kalau Afnan itu manly, Mikkel itu boyish. Afnan jadi terlihat sangat dewasa bagi Hessa setelah melihat Mikkel hari ini.

"Mau ngapain kamu?" Liliana bertanya saat Mikkel mengeluarkan HP dari sakunya.

"Memotret istri-istriku yang lagi akur."

"Mikkel! Astaga! Kalau Afnan dengar, kamu bisa mati kehabisan napas. Dan Mama nggak akan menolong kamu kalau Afnan menyakitimu." Kana memperingatkan.

Mikkel tertawa keras mendengar ancaman ibunya.

"Dulu saat remaja dia pernah mengambil mainan gundam milik Afnan, nggak pakai bilang dulu. Mikkel dicekek sama Afnan sampai hampir mati." Kana memberi tahu Hessa dan Liliana. "Gundam aja sampai mau bunuh-bunuhan, ini calon istrinya kamu pakai untuk bercanda. Dilempar ke neraka kamu sama Afnan." Mereka semua tertawa mendengar komentar Kana.

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top