Episode 48 : dipulangkan ke Indonesia

Kim Tae Hyung

Dua minggu kemudian aku kembali berangkat ke Los Angeles. Aku dan teman-temanku menghadiri sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta Amerika. Lagu kami sudah lima belas minggu berada di puncak tangga lagu internasional. Kami agak lama di LA, Yana ingin ikut, tetapi aku belum bisa membawanya.

Aku belum berani membawanya keluar apartemen. Sebab kru agensi belum mengetahui kalau aku memiliki hubungan dengan Yana. Ia sedikit kecewa, tetapi demi karir dan kesuksesanku ia mengizinkan bahkan menyemangatiku.

Malam itu, aku keluar dari apartemen menaiki mobil yang disiapkan agensi. Entah mengapa mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Dadaku berdebar, aku seperti sangat merindukan Yana. Aneh baru beberapa detik aku melihatnya, mengapa tiba-tiba aku merindukannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Seokjin padaku.

"Aku baik-baik saja, Hyung," jawabku.

Mobil melesat melewati jalan raya di Gangnam. Tanganku tiba-tiba dingin napasku terengah-engah. Aku tidak nyaman. Berulang kali aku mengusap wajahku. 

"Taehyung-ah kau seperti tidak baik-baik saja," Komentar Namjoon. Ia yang duduk di sebelahku menatapku dan memperhatikan gerak-gerikku. 

"Benar, Hyung," jawabku dengan dada berdebar-debar.

"Coba kau pikirkan, apakah ada yang ketinggalan?" sambung Namjoon. Seokjin akhirnya juga menatapku.

"Ada, ada yang tertinggal, Hyung. Muza Yana," goda Jungkook.

"Ssshh," desis J-hope. "Dengarkan dulu."

Jungkook langsung mengatupkan mulutnya sesaat setelah Jhope memarahinya. 

"Hyung, Jimin dan Jungkook. Aku, aku pulang dulu. Perasaanku tak enak. Aku akan menyusul dengan pesawat pagi. Aku akan menanggung biayanya sendiri," kataku tertunduk.

"Apa!" sahut mereka serentak.

"Maafkan aku, aku pulang dulu," kataku dengan rasa bersalah.

"Hei, hei mengapa begitu," Jimin angkat suara,

"Maaf, besok pagi aku akan menyusul," timpalku. "Namjoon, Hyung. Tolonglah aku, bantu aku memberikan alasan logis kepada Manajer Kim."

"Aduh, ini bagaimana? Aku harus mengatakan apa karena keterlambatanmu ini?" Namjoon kembali bertanya.

"Tolong aku, Hyung. Hanya kau yang bisa kuandalkan," kataku memohon. 

Beberapa saat Namjoon mengangguk. "Baiklah, kau janji pagi akan akan menyusul kami," peringat Namjoon.

"Terima kasih, Hyung. Aku berjanji," ujarku. 

Aku meminta sopir menghentikan mobil dan langsung bergegas keluar mobil. Ketika aku menutup pintu mobil Seokjin membuka jendela. "Taehyung-ah hati-hati," ujarnya.

"Terima kasih, Hyung," jawabku. Aku memberinya jempol. Dengan senyuman ia membalas memberikan jempolnya.

Rombongan pergi meninggalkanku. Aku memakai masker dan berlari ke seberang jalan. Begitu menginjakkan kaki di trotoar sebuah taksi berhenti menawariku.

"Samsung-dong," kataku pada sopir taksi.

"Baiklah, silakan," jawabnya.

Aku masuk dan menutup pintu. "Tolong ngebut, Ahjussi," perintahku pada sopir taksi yang berusia paruh baya.

"Baik," jawabnya.

Taksi meluncur dengan cepat. Aku hanya berniat menjemput Yana dan membawanya ke LA. Tentu saja ia kubawa terpisah dengan rombongan, sebab aku tak ingin meresahkan kru. Tentu saja yang ku khawatirkan mereka akan begosip.

Aku memberikan ongkos taksi begitu sampai di dekat apartemen. 

"Kembaliannya." Sopir memberikan kembalian ongkos taksi. 

"Ambil saja, Ahjussi," jawabku sambil berlari. Aku bergegas cepat. Perasaanku tak enak, aku merasa sesuatu terjadi pada Yana. 

Begitu berjalan di trotoar dekat apartemenku tiba-tiba aku mendengar suara Yana berteriak. "Yeobo!" 

Aku tersadar, Yana mengeluarkan kepalanya di sebuah mobil sedan berwarna hitam. Tangannya ia ulurkan untuk meminta tolong. 

"Yana!!!" pekikku. Setelahnya kepalanya masuk ke dalam mobil seperti ada seseorang yang menariknya.

Apa masalahnya lagi? Bukankah identitasnya sudah kutemukan? Aku makin cemas. Aku berlari mengikuti mobil yang membawa Yana. Di persimpangan, aku melihat taksi yang berhenti. Aku menepuk body taksi dan mengejutkan sopirnya yang sedang bermain ponsel.

"Ahjussi," kataku. Ternyata ia sopir taksi yang membawaku ke apartemen beberapa saat yang lalu.

"Bantu aku, Ahjussi. Ngebut, dan ikuti sedan hitam itu," perintahku. Sopir itu melihat sedan hitam yang menjauh. 

"Ayo, cepat, anak muda," ujarnya.

Aku naik di kursi depan di sebelah sopir dengan dada berdebar. Sopir taksi sekuat tenaga menginjak pedal gas supaya lebih kencang dan mengejar mobil yang membawa Yana.

Mengerem dan menggas, itu yang dilakukan sopir taksi ini. Tak terhitung kali tubuhku menabrak pintu mobil karena pergantian rem dan gas. Tubuhku berbelok ke kiri dan ke kanan. Lalu kami tertinggal karena lampu merah.

"Ah, sial!" pekikku.

Sopir kembali menginjak pedal gas, dan kembali kami mencari-cari mobil hitam itu.

"Tampaknya mobil itu mengarah ke Miari," ucap Sopir.

"Ayo kejar, aku akan memberimu lima kali lipat ongkos biasanya," ujarku. 

Tak menjawab pria itu makin ganas melajukan taksinya. Aku seperti sedang berada di arena balap mobil formula. Sabuk pengaman ku kencangkan dan kuikuti pergerakan mobil ke kiri dan ke kanan saat menyalip mobil lain.

Aku menelepon Jigoong. Jigoong sejak pagi sudah berada di agensi mengurus kepergian kami ke LA. "Jigoong!" sapaku dalam telepon.

"Iya, Hyung," jawabnya.

"Jigoong, aku perlu bantuanmu. Aku sekarang hampir sampai di Miari. Bantu aku, bawa tiga orang temanmu ke Miari, aku mau mereka mengawalku," ucapku tergesa-gesa.

"Bagaimana ini, Hyung? Miari? Kau di Miari?" tanya Jigoong terkejut.

"Yana diculik, cepat! Kutunggu mereka di depan bioskop yang ada di Miari," ujarku.

"Baik, Hyung," ujar Jigoong.

"Tolong berikan informasi rumah bordil tempat temanmu menemukan identitas Yana," kataku sebelum menutup telepon.

Tak lama aku sampai di Miari. Tepat di depan bioskop. Aku memikirkan bagaimana menjemput Yana tanpa diketahui orang banyak. Tak mungkin aku langsung membuat kerusuhan di sana. Jika aku langsung menghubungi polisi. Aku akan ketahuan di sini. 

Aku meminta teman Jigoong. Mereka yang kuminta adalah preman daerah Gangnam. Jigoong memiliki banyak teman yang bertubuh kuat di daerah Gangnam. Pergaulan Jigoong memang sangat luas, inilah gunanya teman-teman Jigoong.

 Rumah bordil tak semudah itu kumasuki, mereka pasti memiliki bodyguard yang melindungi. Masih di dalam taksi aku menunggu tiga orang preman yang menghampiriku. Posisiku sudah kusebutkan pada Jigong. Aku juga meminta mereka membawa sebo penutup wajah. 

Beberapa saat, mereka datang dan memberiku sebo yang kuminta, mereka juga sudah memakainya. Aku bersembunyi mengganti masker yang kupakai dengan sebo yang mereka berikan. Mereka sepertinya juga tak mengenaliku karena aku tak menampakkan wajahku,

"Kalian ikuti aku dan lindungi aku," ucapku memberi perintah tiga orang itu di dalam taksi tanpa menghadap ke belakang. Mereka bertiga duduk di bangku penumpang taksi.

"Baik, Hyung-nim," jawab mereka.

"Jika terjadi sesuatu jangan menyebut Jigoong sebagai dalangnya, atau aku. Kupastikan kalian aman, aku akan mencari pengacara terbaik di Seoul andai kita tertangkap. Kalian harus cepat kabur setelah keadan berantakan, aku akan lapor polisi, paham!" ucapku pada mereka di dalam taksi. 

"Paham, Hyung-nim," jawab mereka.

***

Bukan main, mereka benar-benar brutal. Mereka mengiringi langkahku. Mereka melindungiku dari serangan bodyguard rumah bordil. Setiap CCTV yang kami temukan, langsung kami libas dengan tongkat baseball yang sengaja mereka bawa. Salah satu tugas mereka adalah merusak CCTV, sebab CCTV bisa membuatku dalam masalah besar.

Banyak wanita yang berteriak melihat aksi kami. Beberapa hidung belang menyerangku, tetapi mereka berhasil satu persatu kuhempaskan. Ada bodyguard yang menyerangku, mereka langsung berhadapan dengan teman Jigoong. 

Pimpinan rumah bordil yang berusia paruh baya, berteriak sejadi-jadinya, wanita itu juga menangis. Rumah bordilnya kubuat berantakan. Tiap kamar yang ada ditendang teman Jigoong. Aku yang memintanya, sebab aku mencari Yana.

"Kita bisa bicara baik-baik, Tuan," kata wanita yang kurasa pengurus rumah bordil ini. Ia memohon padaku, tetapi aku tak menghiraukannya. Akun Tidak bisa bersuara di tempat ini. Aku hanya diam seperti orang bisu, tetapi tangan dan kakiku sibuk membuka pintu kamar rumah bordil.

Hidung belang dan wanita yang ada di sana berlari berhamburan. Ada yang masih berpakaian dan ada juga yang sudah menanggalkan pakaian. Para wanita menangis-nangis karena aksi kami, dan beberapa hidung belang ada yang tiarap ketakutan. 

Aku masih dalam pencarian. Ternyata bangunan rumah bordil ini cukup besar dan memiliki kamarnya sangat banyak. Dengan sabar aku membuka pintunya satu persatu. Sementara dua teman Jigoong melawan bodyguard, aku dan pengawal yang satu lagi mencari Yana.

***

Muza Yana

Aku disekap di ruangan rumah bordil. Aku ingat ruangan ini karena aku pernah diisolasi di sini. Mereka membawaku kembali ke rumah bordil setelah aku berbelanja di mini market di dekat halte bus. Sebelumnya V memperingatkanku untuk tidak keluar. Namun karena kebutuhan pokok sudah habis, aku nekat keluar apartemen sendirian. 

Aku menyangka diriku aman setelah identitasku ditemukan V. Ternyata aku belum aman, tiga orang bodyguard menangkapku di dekat halte yang memang suasananya sepi.

Mereka membawaku ke tempat sial ini. Kini aku berhadapan dengan salah satu bodyguard yang sebelumnya pernah melecehkanku hingga wajahnya kuludahi. 

Aku diikat, sesekali ia menamparku, menjambakku dan mendorongku. Belum berlangsung lama, tetapi wajahku sudah bengkak-bengkak dan tubuhku sakit semua. Aku hanya bisa menangis dan minta tolong.

"Hanya ada aku dan kau di tempat ini. Kita bercinta sampai pagi," ujarnya dengan suara yang terdengar penuh nafsu. Sangat menjijikkan. Beberapa kali ia menamparku, sepertinya ia memiliki kelainan seks sadisme. 

"Binatang!" umpatku.

Ia langsung menamparku. Setelahnya ia mengeluarkan pecut dan memecutku. Ia pun tertawa terbahak-bahak melihatku kesakitan dan lemas. Aku terbaring miring di lantai. Pria jahanam itu tertawa puas. Ia membuka resleting celananya dan seketika aku berteriak.

"Tidak!!! Jangan!!!" pekikku.

Ia makin tertawa dan selanjutnya terdengar suara pintu ditendang.

Brakk

Pria bertubuh tinggi dengan postur tubuh yang bagus memasuki ruangan. Pria itu memakai sebo yang sering dipakai maling. Begitu pintu terbuka aku mendengar keributan di rumah bordil ini.

Pria memakai sebo itu langsung meninju bodyguard rumah bordil yang melecehkanku. Sekali, dua kali dan tiga kali pria itu melayangkan tinjunya hingga si pria bodyguard terhempas. Pria bersebo itu menarik kerah si bodyguard memaksanya berdiri dan kembali meninjunya hingga kembali terjatuh.

Bugh bugh bugh

Bunyi tinjuan yang kudengar. Tubuhku sakit semua dan aku hanya bisa terbaring pasrah sambil terisak menangis. 

Terakhir setelah si Bodyguard jatuh pria itu menginjak paha si bodyguard. Bodyguard bertubuh gempal itu memegangi pahanya, tampaknya ia kesakitan. Setelah tak bisa melawan pria bersebo itu menyeret si Bodyguard keluar kamar. Pria  bersebo itu kembali masuk dan mengunci pintu kamar.

Aku terlalu lemah karena menerima pukulan, kepalaku juga pusing. Pria itu berdiri mematung dan segera ia membuka sebonya. Pria itu adalah V.

V ternyata belum berangkat ke LA, aku menangis. V mendekat padaku dan mendudukkanku. Ia memelukku dan menyandarkan kepalaku di dadanya.

"Mereka menyakitimu, maafkan aku yang tidak melindungimu," tanya V dengan suara serak. Ia menangis terisak-isak karena melihat kondisiku seperti ini. V membuka tali yang mengikat tanganku.

"Bodyguard itu belum sempat memperkosaku. Ia menyakitiku. Beruntung kau datang," ucapku pelan.

V makin menangis, sesekali ia mengusap dan mengecup ubun-ubunku. 

"Bagaimana kau bisa sampai di sini, Yeobo?" tanyaku.

"Besok akan kuceritakan, ayo kita pergi dari sini. Sebelum polisi datang," ajaknya.

Bunyi sirine polisi akhirnya terdengar, makin lama makin terdengar jelas.  Aku lemas karena disiksa. V  berniat membawaku pergi tapi tak bisa. Polisi dan segenap pihak keamanan hampir sampai.

V harus bersembunyi dan lari untuk menghindari orang banyak. Jika tidak, ia akan memiliki masalah baru karena berkelahi dan berada di rumah bordil. Jika polisi atau siapapun menemukan V di sini, ia akan mendapatkan skandal buruk. Orang akan mengira V suka ke tempat ini. Parahnya V akan dikira pelaku kerusuhan rumah bordil ini karena sudah berkelahi dan mengacak-acak.

Suara sirine polisi hampir dekat. "Yeobo, cepat pergi. Tinggalkan aku di sini," perintahku.

"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu di sini. Kau tak usah mempedulikanku," jawabnya dengan suara gemetar. 

"Polisi dan pihak kedutaan akan datang, Yeobo. Aku tak ingin mereka melihatmu di sini," ujarku dengan suara pelan. "Yeobo, aku mencintaimu. Aku tak ingin masalah besar menimpamu. Tinggalkan aku! Pergilah, aku akan baik-baik saja."

"Tidak Baby, aku mencintaimu. Kita pergi bersama, kau kuat berlari bukan? Jika kau tidak kuat aku akan menggendongmu!" ucapnya sambil mengecup keningku.

"Pergi lah Yeobo, aku tak ingin masalahku menjadi masalah baru buatmu. Pergi lah jika kau memang mencintaiku. Aku akan pulang ke Indonesia. Aku janji aku akan menemuimu lagi suatu hari nanti," ucapku.

"Tidak, tidak," jawabnya sambil menggelengkan kepala.

"Pergilah, Yeobo. Kau dan teman-temanmu lebih penting. Jangan membuat penggemarmu kecewa karena masalah ini. Pergilah, aku akan baik-baik saja," kataku dengan bibir bergetar. 

Ia masih menggeleng. "Tidak, aku mau kau bersamaku," jawabnya.

"Pergilah, tinggalkan aku. Aku akan baik-baik saja. Jangan sampai mereka melihatmu di tempat ini. Cepat, Yeobo!" rengekku.

V menggenggam tanganku. Ia menangis dan memelukku. Tangannya memegang pipiku. Ia mencium bibirku dengan lembut lalu ia juga mencium keningku. "Saranghae," bisiknya.

V berdiri dengan terpaksa. Ia mengambil vas bunga yang terletak di atas meja kamar ini. Ia melemparnya pada jendela hingga jendela pecah berkeping-keping. Setelahnya V kembali menangis dan menoleh padaku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Sekejap ia pun melompati jendela yang kacanya pecah. Saat itu adalah saat terakhir aku melihatnya. Semoga ia selamat dalam pelariaannya dari tempat ini.

"Aku mencintaimu, V," gumamku. 

Bunyi sirine polisi tepat di depan rumah bordil. Beberapa saat kemudian polisi Korea datang dan memeriksa kondisiku dan beberapa tim polisi memeriksa rumah bordil yang berantakan diporakporandakan V dan beberapa orang yang tadi mungkin bersamanya.

Aku diangkat perawat ke atas tandu dan dibawa ke ambulans. Keributan di tempat ini mengundang polisi datang, kuharap V dan orang-orang yang bersamanya sudah kabur.

Aku ditanyai dan mereka tahu kalau aku adalah korban TKI ilegal dan perdagangan manusia. Seharusnya aku bekerja di perusahaan Tiongkok. Tetapi aku justru sampai ke Korea. 

Aku menceritakan mendetail kejadian ini, tetapi aku tidak menceritakan kalau aku diselamatkan BTS dan tinggal di rumah salah satu anggotanya. Aku mengaku pada mereka setelah aku kabur dari rumah bordil ini, aku bekerja sebagai pelayan salah satu orang kaya di Gangnam. Mereka percaya dengan ceritaku.

Saat aku ke mini market sebelum aku diculik mereka, aku membawa dompetku dan identitas termasuk ponselku yang masih ada di kantong celana jeans-ku. Jadi saat polisi memeriksa identitasku mereka langsung menghubungi pihak KBRI.

Setengah jam kemudian, Pihak KBRI datang menenangkanku dan akan mengembalikanku ke Indonesia secepatnya. 

"Kakak, kamu bisa dengar suaraku?" tanya seorang laki-laki Indonesia. Setelah enam bulan aku tak bertemu orang Indonesia. Kini aku bertemu dengan orang Indonesia yang mungkin salah satu staf di kantor kedutaan. Dari papan namanya, kubaca namanya adalah Riko Saputra.

"Kak, apa keluargamu tahu kalau kamu di sini?" tanya pria itu. 

Aku hanya menjawab dengan anggukan. 

"Sekarang kita ke rumah sakit, ya. Kalau memungkinkan kamu untuk pulang, besok kamu akan dipulangkan. Jika tidak, mungkin lusa kamu akan dipulangkan," sambungnya.

"Terima kasih," jawabku lirih. 

Pria itu tersenyum, setelahnya ia beranjak dan aku dinaikkan ke atas ambulans menuju rumah sakit.

Di atas ambulans yang meluncur di jalan raya, aku menangis dalam diam, air mataku menetes. Aku merindukan V, baru beberapa menit V meninggalkanku aku sudah merindukannya. Entah bagaimana selanjutnya, apakah aku bisa bertemu V lagi dengan mengunjunginya. Apakah ia akan ada waktu bertemu denganku. Aku mendadak sedih. Apakah kebersamaanku dengan V hanya sesaat. Apakah kami masih bisa bertemu lagi? Entahlah, Aku berusaha tegar walau hatiku sangat merindukan V.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top