Episode 3 : Rumah Barbie

Muza Yana

Jung Olivia membuka kaos oblongku. Bahkan, ia membuka celana trening yang kupakai tidur semalam. Kini aku hanya mengenakan pakaian dalam. Aku melipat tanganku di bagian dada dengan perasaan berdebar-debar. Apakah wanita paruh baya ini sinting? Apa dia penyuka sesama jenis. Aku jijik.

"Kau masih perawan, Yana?" Pertanyaan gila, mau apa wanita itu padaku? Jelas saja aku masih perawan. Aku tak pernah berbuat bodoh dengan bergaul bebas dengan sembarang lelaki, walau itu pacarku sekalipun.

"Tentu saja, Nyonya. Aku selalu menjaga pergaulan. Mengapa kau bertanya seperti itu?" Aku berusaha menahan emosiku. Semoga dia bukan kaum lesbian. Aku normal, aku menyukai lelaki.

Olivia tak menjawab. Ia mengeluarkan bungkusan di rak tumpukan ke dua dan membuka bungkusan itu. Isinya adalah gaun. Ia menunjukkan gaun ketat berwarna merah. Gaun itu hanya menutupi sebagian dada, sementara bagian bahu dan ketiak terbuka. Baju seperti ini dikenal degan tube dress.

"Pakai ini, Yana!" titahnya dengan suara yang terdengar santai.

"Aku tidak mau, Nyonya. Berikan saja aku baju yang tertutup. Celana jeans dan kaos lengan panjang kurasa sudah cukup," jawabku.

"Ini Korea, perpakaian seksi itu hal biasa. Kau pakai ini. Ini seragam kerja perusahaan kami," jawabnya.

Sungguh gila, bagaimana mungkin seragam karyawan kafe sangat minim seperti itu? Apa sebegitu parahnya untuk mengundang pelanggan? Sampai-sampai karyawan wajib berpakaian kurang bahan?

***

Setelah perdebatan dengan Jung Olivia, akhirnya aku memakai pakaian kurang bahan itu. Mau bagaimana lagi? Aku terpaksa melakukannya karena aku tak punya uang lagi. Aku hanya punya uang tujuh ratus ribu rupiah di tanganku. Kurasa itu kurang untuk biaya hidup di sini.


'Seragam' seksi itu akhirnya kupakai. Ukurannya pas,  tetapi sangat pendek hingga pahaku terekspos dengan jelas. Jika jongkok sedikit saja, celana dalamku bisa terlihat, astaga.

Setelah rapi aku diantar ke kafe oleh gadis seksi. Dia berpakaian minim juga sama sepertiku. Warnanya juga sama dengan yang kukenakan. Gadis itu sangat cantik, mengingatkanku pada Irene Black Velvet.

"Follow me," ajaknya. Ia berusaha berkomunikasi dengan bahasa Inggris padaku. Sepertinya ia tahu kalau aku tak bisa berbahasa Korea.

Aku mengangguk dan mengikutinya keluar dari bangunan in the kos kami. Setelahnya, kami berjalan melewati lorong menuju kafe yang dimaksud Olivia. Aku tak bertanya apa pun pada gadis itu. Aku cukup risi dengan pakaian sialan ini.

Banyak lelaki yang menatap kami termasuk gadis Korea itu. Ada juga lelaki yang berani menyentuh gadis itu, tetapi gadis itu cuek saja. Gadis itu terus memanduku ke kafe. Beberapa menit kemudian, aku sampai di kafe tempat yang di instruksikan Olivia pada gadis cantik itu.

"Can you speak Korean?" tanyanya.

"No, just English and Mandarin. What about you?" tanyaku.

"Just little of English," jawabnya tersenyum manis.

Aku mengangguk dan memandangi toko kecil yang katanya kafe. Aku tak melihat banyak kursi di kafe itu. Bukankah kafe itu seharusnya banyak kursi untuk pesanan makanan pembeli? Sungguh kafe yang aneh.

"Ini tempat kerjamu. Kuharap kau betah, Eonie," kata gadis itu dengan bahasa Inggris aksen Korea.

"Ini?" aku kembali bertanya.

"Ne," jawabnya.

Oke, ne artinya iya. Mungkin ini kafe ini khusus untuk pemesanan sistem drive thru. Aku masih celingukan, melihat bangunan lainnya yang mirip kafe ini. Semua bangunan itu dihuni oleh cewek-cewek seksi dan di goda pria. Kuhitung ada sepuluh lebih bangunan mirip rumah Barbie ini.

Bangunan kafe ini mirip rumah Barbie karena dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Di dalam bangunan ini dicat bernuansa pink dan diisi perabotan sesuai usaha. Nah, yang ini perabotannya adalah perabotan dapur lengkap dengan bahan masakannya.

Beberapa menit setelah gadis itu menemaiku, ia pamit. Kini tinggalah aku sendiri di dalam kafe ini. Aku bingung, jika ada pesanan aku mau masak makanan apa? Sementara aku tidak hafal resep masakan Korea.

Aku membereskan kitchen set yang ada di kafe tembus pandang ini. Aktifitas orang di luar kafe terlihat jelas olehku. Mungkin karena masih pagi aktivitas di luar belum kelihatan. Aku mencoba membereskan dapur dan membuka lemari es yang isinya sayuran dan buah.

Aku mencoba mengecek daftar menu di dinding tapi aku tak bisa membaca menunya. Sebab, menu yang tertera di dinding ditulis dengan tulisan hangeul.

Setelah berberes-beres dapur, aku mencoba membuka pintu yang ada di dalam kafe ini. Satu-satunya pintu yang ada selain pintu keluar yang terbuat dari kaca. Mulanya aku berpikiran positif itu adalah kamar mandi, tetapi begitu kubuka aku justru kaget. Itu bukan kamar mandi, melainkan kamar inap seperti hotel, lengkap dengan kamar mandinya.

"Kafe apa ini?" geramku. "Berengsek!" Mengapa kafe justru ada kamar inapnya? Aku manaruh curiga. Berkali-kali aku menyumpah serapahi diriku sendiri.

Tak ada pembeli, lantas aku mencoba mendekati kaca dan melihat sekeliling. Pemandangan luar biasa, ketika para gadis berbaju seksi digoda lelaki dari balik kaca.

Mataku masih menyaksikan gadis yang digoda lelaki. Ia tampak tertawa cekikikan. Mereka seperti saling bernegosiasi. Si gadis memberikan penawaran si lelaki menawar. Mereka entah melakukan transaksi jual beli apa.

Masih menatap ke luar, aku memindahkan pandanganku ke bangunan lainnya. Tepat di sebelah mereka yang bernegosiasi aku menyaksikan lelaki masuk ke rumah kaca dan disambut gadis seksi yang berpakaian sama denganku. Gadis itu menarik lelaki ke dalam ruangan dan masuk kamar seperti kamar yang ada di sini.

Prostitusi, aku yakin ini adalah kompleks praktek prostitusi dan aku terjebak di dalamnya. Bergegas aku mencoba menutup pintu ruangan kaca yang kuhuni. Aku meraba-raba mencari kunci ruangan, tetapi kuncinya tak ada. Berengsek!

Baru beberapa detik aku mencoba mengamankan pintu, pria Korea tinggi kurus mencoba membuka pintu ruangan. Sekuat tenaga aku menahannya, tetapi terlambat. Pertahananku melemah dan pria ini berhasil masuk.

Aku mundur tanpa mengiraukannya. Ia seperti sedang memberikan penawaran untuk membeliku. Aku hanya diam saja, aku tak mengerti apa yang ia sampaikan.

"Get out!" kataku geram.

Pria itu justru terkekeh. Berengsek. Ia masih berbicara dengan bahasa Korea. Aku tak menjawab, ia berjalan mendekatiku dan mencoba menyudutkanku di area kitchen set. Ia membelai rambutku hingga membuatku merasa jijik. Tangan kananku mencoba meraih panci teflon, dan berhasil. Aku mendapatkannya.

Sembari ia membelai rambutku aku mencoba tenang lalu menghantamkan panci di tanganku ke kepalanya. Ia kesakitan dan wajahnya berubah menjadi marah.

"Jen jang!" pekiknya. Pria itu lantas cepat-cepat melonggarkan ikat pinggangnya dan mencoba membuka risleting celananya. Tanpa ragu aku menendang selakangannya. "Dasar bodoh!" umpatku.

Ia kesakitan, aku tak peduli aku harus kabur dari tempat ini. Pria itu kutinggal lari dan aku berencana kembali dan mengambil barang-barangku lalu aku ke KBRI berniat pulang ke Indonesia.

Glosary:

Follow me : ikuti aku

Can you speak Korean? : kau bisa berhasa Korea?

No, just English and Mandarin. What about you? : tidak, hanya bahasa Inggris dan Mandarin. Bagaimana dengan mu?

Just little of English : bahasa Inggris sedikit-sedikit.

Ne (Korea) : iya

Jenjang (Korea) : sialan

Terima kasih teman-teman yang masih setia. Mohon votenya dan komennya. Supaya aku semangat untuk Up. Bagi teman-teman yang memberi vote semoga rezekimu lancar.

Pict : instagram/yongsunnie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top