Episode 29 : Bertemu Chanyeol
Muza Yana
Catatan :
Kepada readers cerita ini (baik silent/tidak) harap untuk tidak baper dan kesal di part ini dan mengomentari Yana bukan Army atau segala macamnya. Ini hanya bagian konflik drama yang diciptakan penulis yang berkaitan dengan alur part berikutnya. Aku bisa saja ganti Chanyeol jadi Namjoon tapi kayaknya kaku di part berikutnya, jadi kuputuskan boyband lain yang di-bucinkan Yana. Selamat membaca.
Setelah sampai di toilet wanita, tiba-tiba aku merasa tak nyaman melihat V dan Xiaoyu di panggung. Belum lagi baju yang kukenakan ini juga membuatku tak nyaman, bagian bahunya terbuka dan terlalu membentuk tubuh. Aku terpaksa memilih dress berwarna hitam ini daripada V menatapku sinis karena aku tidak ingin hadir di acara ini.
Aku merasa sudah sangat merepotkan V, pelayan sepertiku tak sepantasnya memakai pakaian berkelas apalagi pakaian ini sama dengan yang dipakai Jenny member Black Purple.
Tak enak, sungguh aku merasa tak enak. Kerja puluhan tahun pun sepertinya tak bisa menebus harga baju ini. V memang baik, aku menyesal sering mengumpat dan menggerutu lalu menyumpah serapahinnya dalam hati.
Setelah membenarkan baju yang kukenakan, aku keluar dari toilet. Karena ini puncak acara, lorong menuju auditorium ini terasa sepi dan sunyi. Aku berjalan pelan karena sepatu yang kukenakan terlalu tinggi. Aku berpenampilan seperti ini justru bukan seperti pelayannya member BTS, tetapi aku seperti artis Indonesia yang datang ke acara penghargaan musik K-Pop.
"Ya!" Suara seseorang memanggilku. Aku berhenti dan menoleh. Jantungku rasanya hampir copot. Hal yang paling kuhindari ternyata kini menghampiriku. Aku menelan saliva dan diam tak bergerak.
Aku rasanya hampir mati, rupanya Cha Minho, klien rumah bordil yang hampir mem-booking-ku. Ternyata lelaki hidung belang itu datang ke acara ini. Orang kaya selalu muncul di segala kesempatan. Wajahku langsung memerah, jantungku berdetak lebih cepat. Aku merasa hidupku berhenti sampai di sini. Aku mundur perlahan seiring dengan langkah Cha Minho yang mendekat padaku.
Begitu tepat berada di hadapanku, Cha Minho menatapku nanar. Matanya memerah. Ia sangat marah. Ia berjalan perlahan mendekatiku dan semakin dekat hingga aku berpikir untuk kabur lagi.
"Astaga!" Sungguh sial, aku tak bisa apa-apa, bagaimana aku kabur. Ingin berlari saja rasanya mustahil. Sepatu yang kukenakan haknya terlalu tinggi. Jika dibuka pun memakan waktu lama karena lilitan talinya.
"Hm, kita bertemu di sini, Pel***r!" semprotnya.
"Mau apa kau!" jawabku.
"Aku sudah mem-booking dirimu, tapi kau malah kabur!" Setelah mengumpat, ia melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia juga tampak keheranan dengan penampilanku. "Oh, mengapa kita bertemu di sini? Apa ada selebriti yang mengajakmu kencan semalam juga?" sinisnya. "Kau gundik salah satu selebriti? Hebat sekali kau!"
"Shit! Aku wanita baik-baik. Jaga ucapanmu, Hidung Belang," semprotku.
Cha Minho melangkah maju, sementara aku mundur pelan-pelan menjauh darinya. Pria itu makin maju dengan senyuman sinis.
"Menjauh dariku, atau aku akan berteriak!" umpatku.
Ia mendekat dan mencengkeram rambutku dengan kuat. Rasanya sakit sekali. Tubuhnya juga menyudutkanku. Tak kuasa air mataku mulai turun. Aku takut, aku tak mau kembali ke rumah bordil itu.
"Kau ikut denganku!" Ia menarik rambutku hingga aku mengikuti cengkeraman tangannya yang mengarah ke tepi koridor.
"Tidak, aku tidak mau!" jawabku.
"Aku sudah membayarmu jadi kau harus melayaniku," ucapnya.
Aku hanya pasrah. Aku ingin berteriak tetapi tak bisa. Tangan kiri lelaki itu tiba-tiba membekapku sementara tangan kanannya masih mencengkeram rambutku. Air mata makin membasahi pipiku. Apa aku harus berakhir di sini? Sungguh, aku malu.
"Ya!" Tiba-tiba suara bas menghentikan aksi Cha Minho. Kami menoleh pada sumber suara. "Geunyeoreul noh-a jwo!" pekiknya.
Tanpa menjawab Cha Minho langsung melepas tangannya dan kabur. Ia sepertinya orang penting yang tak ingin aibnya diketahui orang banyak. Setelah lelaki mesum itu pergi aku bernapas lega.
"Are you alright?" tanya pria yang ada di hadapanku.
"Thanks," jawabku dengan napas tersengal-sengal dan mata tertutup karena merasa lega.
"No pe," jawabnya dengan suara bas yang terdengar seksi. Suara yang terdengar familiar, ya aku seperti sering mendengarnya. Aku mendongak, oh astaga!
Aku tak percaya, apa aku mimpi? Jantungku berdetak lebih cepat, dadaku berdebar, mataku tak bisa berkedip, mulutku ternganga, dan ototku kaku. Tuhan, ia sangat tampan. Ia adalah pria idamanku sepanjang masa, ia adalah pangeran berkuda putih, ia adalah pahlawanku, dan ia adalah calon suami khayalanku. Pria itu adalah Chanyeol, lelaki Korea pertama yang aku idolakan.
"Are you OK?"
"Hmm," jawabku dengan anggukan. Sudah jelas aku tak melepas pandanganku darinya. Sangat rugi jika melewatkan wajah tampannya barang sedikit pun. Aku harus kuat, aku tak boleh pingsan. Jangan. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri.
Chanyeol membimbingku jalan terseok-seok karena sepatu high heels sialan ini. Ia memegang tanganku dengan lembut dan mendudukkanku di kursi tunggu di pinggir koridor. Perlu diingat aku hanya pura-pura terseok dan susah melangkah. Ini semua kulakukan supaya Chanyeol membantuku.
Pria itu memang sangat gentleman. Tak rugi rasanya jika bertahun-tahun aku mengidolakannya dan berkhayal menjadi istrinya. Aku masih menikmati wajah tampannya, mata bulat, hidung mancung, lesung pipi, dan wajah maskulinnya. Aku menyukainya, sangat menyukainya.
"Would you marry me?" Tiba-tiba kalimat sialan itu terlontar. Aku melamarnya tanpa berpikir. Mulut yang tak bisa kompromi dengan kenyataan.
"Hah, what?" jawab Chanyeol.
Astaga, apa yang kulakukan barusan. Aku refleks melamarnya. Sungguh gila! Tidak, ini tidak gila, aku waras. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan refleks minta dinikahi. Aku wanita normal, aku mau dinikahi olehnya.
"I love you so much!" jawabku meracau. Masih dengan tatapan yang terfokus padanya.
"Hehehe," Chanyeol terkekeh. Sepertinya, pria itu sudah biasa menghadapi halusinasi para penggemarnya yang kadang kelewatan seperti diriku.
"Are you from Singapore?" tanyanya.
"No, i'm from your heart!" jawabku refleks.
Chanyeol tertawa menutup mulutnya. Ia tertunduk dan kembali bertanya. "Hahaha realy? You looks not a Korean girl. Malaysia, maybe?"
"No, I'm from Indonesia," jawabku. Aku mengakhiri gurauanku. Aku tak ingin pria ini kesal dan meninggalkanku begitu saja.
"Oh, Indonesia. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam," jawabku. Kemudian, aku tersenyum. Aku ingat kalau lelaki ini lancar membaca salam.
"Apa pria itu menyakitimu?" tanya Chanyeol. Kami mengobrol dengan bahasa Inggris.
Aku mengangguk dan tertunduk. Aku malu jika harus terus terang. Chanyeol bertanya tentang pria itu. Aku hanya menjawab tidak tahu. Aku tak ingin Chanyeol tahu kalau pria itu adalah pria yang pernah mem-booking-ku di rumah bordil. Aku tak ingin menyebut-nyebut rumah bordil. Selain aku malu, aku tak ingin Chanyeol jijik melihatku walau memang aku belum sempat melayani tamu di rumah bordil itu.
"Kau selebriti Indonesia?" tanya Chanyeol.
"Bukan," jawabku.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Karena aku bukan selebriti, Chanyeol menjadi bingung bagaimana bisa aku berada di sini. Ya, ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Takdirku bersamamu Chanyeol, itu bisa saja terjadi. Aku mungkin ditakdirkan bertemu dengannya, dan mungkin menikah denganya. Kemudian, cerita selesai sampai di sini. Selamat tinggal V, aku tentu lebih memilih Chanyeol, sebab pria ini idolaku. Aku sempat berpikir, mengapa bukan mobilnya saja yang kuretakkan kacanya, mengapa oh mengapa?
"Aku asisten salah satu agensi." Akhirnya aku mengakui sebagai asisten. Harus jujur, sebab cinta itu dilandasi dengan kejujuran.
Lagi-lagi Chanyeol menahan tawa. "Kau justru terlihat seperti selebriti, bukan seperti staf agensi."
"Benarkah?" Aku senang ia berkata seperti itu. Baiklah, sekarang aku tak ingin berbelit-belit dengannya. Lebih baik aku mengaku sebagai staf agensi saja, kalaupun mengaku sebagai putri seorang sultan kerajaan Arab pria itu juga tidak akan percaya.
"Baiklah, soal siapa aku. Sebaiknya tak usah dibahas, Oppa,"kataku.
"Memangnya kenapa?" timpalnya.
"Sebab, aku hanya ingin membahasmu," jawabku. Chanyeol pun tertawa kembali. Julukan happy virus memang cocok untuk dirinya. Ia sangat ramah, baik dan suka menolong. Padahal, ia sama sekali tak mengenalku dan tak tahu aku ada dan mencintainya dalam hati, selama bertahun-tahun.
"Baiklah, kau bekerja di agensi mana?" Chanyeol semakin ingin tahu. Heran, mengapa ia bisa betah duduk di sebelahku dan ingin tahu banyak? Apa benih-benih cinta mulai tumbuh di hatinya? Semoga saja.
"Hah, agensi? Mmm ... Greatest Hits."
"Waw, aku tak menyangka di agensi itu ada orang Indonesia," ujarnya.
Aku tak terlalu menanggapi uacapannya, kalau bisa ia tidak perlu tahu kalau majikanku adalah V BTS. Aku mengeluarkan ponsel dan berfoto dengannya. Kesempatan emas memang tak boleh disia-siakan. Mumpung Chanyeol ada di sampingku. Beruntungnya ia mau berfoto denganku.
Selamat, aku adalah penggemar paling beruntung bisa duduk bersebelahan dan berfoto dengannya. Teman-temanku pasti akan iri melihatku. Apalagi jika seandainya undangan pernikahan yang mempelainya adalah aku dan Chanyeol. Ya ampun, lagi-lagi aku berkhayal.
"Ekhem." Tiba-tiba suara seorang pria mengagetkan kami. Khayalan tingkat tinggiku langsung buyar seketika.
"Taehyung-ah?" ucap Chanyeol.
Terjemahan :
Ya! = woi
Geunyeoreul noh-a jwo!" (korea)= lepaskan dia
Would you marry me? (Inggris) = maukah kau menikah denganku?
Are you from Singapore?" = apakah kau dari singapura?
"No, i'm from your heart!" = tidak, aku berasal dari hatimu
"Seriously? You looks not a korean girl. Malaysia, maybe?" = Serius? Kau tak rlihat seperti gadis Korea. Malaysia mungkin?
"No, I'm from Indonesia," = tidak, saya berasal dari Indonesia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top