Episode 19 : Wedang Jahe

Muza Yana

Aku tak percaya dengan semua ini. Seokjin, member BTS yang digilai jutaan wanita di belahan dunia mengajakku jalan-jalan. Hanya berdua saja. Ia seperti berani dengan apa yang akan nantinya terjadi. Apa yang ia lakukan sangat berisiko, mengingat di jalan bisa saja kami dipergoki wartawan ataupun penggemarnya.

Sejak keluar dari apartemen V, aku berjalan beriringan dengannya. Ia tampak santai berjalan dengan memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Sementara aku, aku justru waspada pada wartawan situs pergunjingan selebriti. Aku merasa tak enak jika namaku terseret, seluruh dunia pasti akan membenciku.

Seokjin mengeluarkan kacamata hitam dari kantong celananya dan memasangnya. Setelahnya, ia memasang hoodie sweater yang ia kenakan dan memakai topi. Ia justru tak terlihat seperti bintang K-Pop, ia justru terlihat seperti anak muda biasa didukung sweater berwarna cokelat lusuh yang ia kenakan. Sepertinya ia sengaja berpakaian seperti itu.

Seokjin datang tanpa membawa asisten dan pengawal. Pria ini sangat berani. Bahkan, saat kami berjalan melewati basement apartemen V, ia terlihat santai. Aku tak tahu ke mana ia membawaku, aku menurut saja. Bahkan, jika ia membawaku ke pelaminan mungkin aku akan mengikutinya. Khayalanku sungguh terlalu berlebihan.

"Kita berjalan kaki, kau tak keberatan?" Seokjin mengagetkanku tiba-tiba setelah aku berkhayal berjalan beriringan dengannya menuju penghulu.

"Hah? Um, iya Seokjin-ssi," aku langsung tergagap. Sebaiknya, berjalan dengan pria tampan jangan terlalu banyak berkhayal yang macam-macam. Apalagi berkhayal dirinya akan membawamu ke pelaminan.

Ia menghentikan langkahnya, sepertinya ia tersenyum. Aku tak bisa melihatnya karena wajahnya ditutupi masker dan kacamata hitam, sayang sekali. Aku tentu bisa menebak jika senyumnya tampak sangat manis karena bibirnya yang sangat imut. Jika diperhatikan baik-baik, bibirnya seperti berbentuk hati.

Tak bisa melihat wajahnya secara langsung bagiku tak masalah, dengan ia membawaku jalan-jalan saja aku sudah bersyukur, mengingat aku biasanya hanya di rumah saja mengerjakan pekerjaan rumah.  Aku harus hati-hati dan jangan sampai ceroboh di depan Seokjin apalagi mengkhayalkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi padaku.

Kami melanjutkan perjalanan kami. Seokjin banyak diam, sepertinya ia terkendala dengan bahasa. Ia seperti ragu-ragu jika akan berbicara. Mau tak mau aku yang memulai pembicaraan. "Kita ke mana, Seokjin-ssi?"

"Restoran Asia, kita mencicipi makanan Indonesia. Kau tak keberatan?"

Tentu saja tidak, aku bahkan ingin jalan-jalan sampai pagi. "Tidak, Seokjin-ssi," jawabku.

"Jangan memanggilku Seokjin-ssi. Kau panggil aku Oppa, ya," katanya santai.

"Baik, baiklah Seokjin Oppa," jawabku gagap. Gagap memanggil dirinya Oppa.

***

Jalan santai tanpa banyak obrolan hingga akhirnya tak terasa kami sampai di restoran Asia. Berhubung malam, restoran ini juga tak banyak dikunjungi. Mayoritas pengunjungnya juga bukan orang Korea, tetapi orang India, Arab, dan ada beberapa orang berwajah Melayu. Mungkin Malaysia atau sama denganku, Indonesia.

Seokjin mengambil duduk paling pojok belakang. Ia sengaja mengambil posisi duduk dekat dinding dan memintaku duduk di sebelahnya. Aku mengerti, ia seperti ingin aku menutupi keberadaannya dari kemungkinan orang lain yang mengenalnya.

"Jika kau merasa tidak aman, kita bisa pulang, Oppa. Kau baik-baik saja?" tanyaku.

"Tentu saja," jawabnya. Sambil memilih daftar menu iya menjawab pertanyaanku. Kemudian ia memilih nasi goreng dan wedang jahe. Yang ia pilih jelas saja makanan Indonesia. Aku justru memilih makanan Jepang dan soft drink.

Seokjin sepertinya memiliki selera makan yang besar. Setelah makan rendang di apartemen V tadi, sepertinya ia masih sanggup menikmati nasi goreng dan wedang jahe dengan membawaku kemari. Aku justru menghawatirkan dirinya. Bagaimana jika berat badannya bertambah beberapa kilo? Apakah ia masih terlihat menarik dengan berat badan yang naik drastis.

Sambil menunggu pesanan datang, kami ngobrol-ngobrol perihal kuliner. Ia meminta rekomendasi gulai apa yang enak dicicipi kalau jalan-jalan ke Indonesia. Aku dengan santai menjawab gulai nangka.

"Hah, jackfruit? Can be as curry?"  ia bertanya dengan nada terkejut. Keterkejutannya tak terlihat jelas olehku karena pria itu mengenakan kacamata hitam.

"Iya benar, nangka yang dipakai adalah nangka muda," ceritaku.

"Waw, apakah rasanya manis?"

"Tidak, Oppa. Rasanya sangat enak," jawabku. Mungkin ia mengira buah nangka yang mengkal.

"Kuharap suatu saat kau memasakkan untukku," sambungnya.

"Apakah kau sering ke tempat ini?" tanyaku tiba-tiba. Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Kupikir permintaannya ada-ada saja, kalau memasak gulai nangka, ke manakah aku harus mencari pohon nangka? Tolong jangan menyiksaku, Seokjin.

"Benar, cukup sering. Aku suka menu-menu masakan Asia. Aku sangat penasaran dengan wedang jahe. Bisakah kau menceritakan padaku apa saja bahan-bahannya?" Seokjin mengobrol denganku menggunakan bahasa Inggris seadanya. Bahasa Inggrisnya tidak selancar V dan Namjoon.

"Apakah kita ke sini hanya untuk mengetahui kandungan wedang jahe?" aku bertanya dengan berlagak tak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas, pria ini ingin tahu kandungan wedang jahe. Pikiranku masih saja dipenuhi khayalan dan halusinasi kalau sekarang adalah kencan.

"Kau bisa menebaknya," jawabnya. "Aku ingin mencoba membuatnya di rumah."

Aku tertawa pelan dan menutup mulutku. Seokjin ternyata lucu. Ia membawa orang Indonesia hanya untuk mengetahui resep membuat minuman hangat. Suatu kebetulan, apalagi suhu udara yang rendah minum wedang jahe memang solusi menghangatkan badan.

Aku menyebutkan bahan wedang jahe satu persatu seperti, jahe, gula, madu, dan sedikit daun mint. Selama aku menceritakan cara membuatnya, ia memerhatikanku dengan saksama di balik kacamata hitamnya. Sesekali pria itu menggigit bibirnya. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku sangat yakin kalau pria ini tidak menyimak. "Coba kau ulangi, Oppa. Apa saja bahan wedang jahe?" Aku mencoba mengetesnya.

"Oh, apa ya? Curcuma?" jawabnya. Sudah bisa kutebak, pria ini tidak menyimak. Lantas sejak tadi apa yang ia pikirkan? Sejak kapan wedang jahe berbahan dasar temulawak?

"No, not curcuma. Wedang jahe made of gingger. Jahe is gingger," aku menjelaskan dengan sabar.

Ia terkekeh dan menutup bibirnya. Setelah bercerita tentang wedang jahe. Kami mulai menyantap makanan kami. Walau ia sudah makan, ia sanggup makan lagi. Sementara aku, aku tadi sengaja tidak menyentuh rendang, sebab aku sering memakannya. Selama di Korea aku akan mencoba makanan lain, bukan makanan dari negaraku.

Ia menggigit kerupuk dan mengunyahnya. Gigitan kerupuk yang cukup keras menampakkan kalau ia menikmati nasi goreng dan kerupuknya. Ia tersadar kalau aku memerhatikannya sedang makan. Ia menghentikan suapan nasi goreng dan tersenyum padaku, sepertinya pipinya memerah. Ia menunduk dan kembali menyuapkan nasi goreng.

Setelah kami menghabiskan makanan, kami duduk dengan canggung. Kami banyak diam, sesekali aku menoleh padanya ia salah tingkah dan mendeham. Sekali lagi aku menoleh padanya ia pun menatapku. Tanganku mengarah ke pipinya. Ia terkejut dan salah tingkah. Tak menyerah, tanganku makin medekat dan mengambil sebutir nasi yang menempel di sudut bibirnya. Ia tersenyum malu lalu kembali menunduk.

Seokjin mendeham berkali-kali dan menatap langit-langit restoran. Sesekali ia juga menoleh, jika aku menoleh, cepat-cepat ia membuang muka. Gelagat seperti ini adalah gelagat pria grogi dan jarang, bahkan tidak pernah berkencan dengan wanita.

"Yana," panggilnya.

"Iya," jawabku dengan wajah menoleh padanya.

"Next weekend, kita ke Eropa. Bagaimana? kau setuju?"

Votenya ya teman-teman

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top