Episode 13 : Pertanyaan Istri
Muza Yana
Dugaan V adalah pria tampan sempurna jelmaan pangeran berkuda putih ternyata salah besar. Dia tidak lebih dari bayi menyebalkan yang susah dibangunkan. Bukan hanya V, Jigoong asistennya juga mirip bayi gemuk yang kerjaannya tidur sepanjang hari.
Pekerjaanku semakin hari semakin miris dan bertambah satu per satu. Dari daftar kerja yang ada, V tidak menyebutkan kalau aku harus membangunkannya pukul enam pagi setiap hari, kecuali minggu. Kenyataannya, aku tidak membangunkannya dan ia terlambat ke kantor Greatest Hits. Akhirnya ia menambah daftar kerjaku satu lagi yaitu membangunkannya setiap pagi.
Membangunkan V ternyata sangat sulit. Telinganya seperti telah tertutup rapat dari suara-suara. Aku memang membangunkannya pelan-pelan, tetapi tak bereaksi, ia justru menarik selimutnya kembali dan melanjutkan tidurnya.
Dengan perasaan kesal aku mengambil satu gayung air dan kupercikkan di wajahnya. Sebenarnya tak tega, tetapi kalau ia terlambat ia juga nantinya akan memarahiku.
"Bangun!" kataku dalam bahasa Indonesia. V tak bereaksi. "Bangun! Bagun! Sana kerja, cari duit yang banyak!" pekikku sambil memercikkan air.
"Bi, bi, bi." V mengigau. Tak lama ia sadar. Matanya melotot. "I'm late!" tanpa basa-basi ia langsung ke kamar mandinya dan aku keluar dari kamarnya.
Untuk membangunkan Jiggong aku tak perlu bersusah payah seperti membangunkan V. Aku cukup memencet hidungnya dan seketika dengkurannya terhenti dan ia terbangun dengan mata merah. Cara ini kulakukan karena ia tak mempan saat kupercikkan air.
***
V dan Jigoong saling berpandangan saat melihat roti bakar cokelat dan capucino terhidang di meja makan. Mungkin selama ini ia tak pernah melihat makanan di meja makan akibat dari memesan makanan online. Kini sepertinya hidup mereka berubah saat mereka mempekerjakanku sebagai pelayan rumah.
V tampak gagah memakai kemeja. Ia justru seperti seorang CEO perusahaan. Sambil meneguk secangkir capucino ia sesekali melihat waktu di jam tangannya dan melanjutkan membaca koran yang baru saja diantar. Sementara Jigoong, setelah mengambil beberapa potong roti dan meneguk secangkir cappucino ia justru ke toilet.
Aku kembali melanjutkan pekerjaan rumah. Rumah mewah ini seperti kapal pecah karena ditempati dua lelaki payah dan berantakan seperti V dan Jigoong.
V sesekali melihat jam tangannya. "Jigoong,
Seudulleo!" pekik V.
"Sungan!" jawab Jigoong dari dalam toilet.
Lima belas menit kemudian Jiggong keluar dari toilet. V dan Jigoong melangkah untuk berangkat kerja. Sementara aku juga bekerja membersihkan apartemen V yang super berantakan.
"Yana!"
"Iya, V?"
"Kau jangan keluar rumah! Ingat, itu kesepakatan kita."
"Iya, V," jawabku.
"V, kau makan malam di rumah?" tanyaku. Hah, pertanyaan apa barusan? Aku kelepasan, pertanyaan ini adalah pertanyaan seorang istri kepada suami yang sering pulang malam.
"Hah?" V bertanya melongo.
"Ups, maaf V. Kalau kau makan malam di rumah, aku bisa menyiapkannya untukmu," jawabku dengan gemetaran.
"Mungkin aku pulang jam sembilan malam, aku makan di kantor saja. Kau masak saja untuk dirimu sendiri."
"Baik, V."
"Ingat pesanku, kau jangan keluar rumah. Kau bisa menimbulkan berita." Pesan V sebelum membuka pintu apartemen.
"Baik, V." jawabku.
"Jika ada kurir mengantar belanjaan makanan, tunggu ia pergi baru kau mengambilnya, paham?"
"Siap, V."
Setelahnya V dan Jigoong keluar apartemen dan meninggalkanku seorang diri di apartemen yang sangat luas ini.
Aku berjalan ke ruang makan dan memulai sarapan sambil menikmati pemandangan sungai Han. V sepertinya sengaja memilih apartemen ini dengan pemandangan yang luar biasa. Aku menggigit roti gandum yang kupanggang dengan nuttela. Semua makanan di lemari es sepertinya rendah lemak semua, roti pun yang ada hanya roti gandum. Oh, tetapi aku menyukai roti gandum.
Menjaga bentuk tubuh agar tetap atletis dengan berat badan proposional, kurasa seperti itu kehidupan seoranf bintang K-pop. V menjaga tubuhnya tetap atletis. Ia tidak kurus dan juga tidak gemuk. Kemeja slimfit-nya menonjolkan dada bidangnya. V selalu membuatku gemetaran.
Setelah sarapan, aku memulai pekerjaan harianku dengan membereskan kamar tidur V yang merupakan kamar utama apartemen ini. V tidak mengunci kamarnya, ia memintaku membersihkan kamarnya. Sebenarnya aku sungkan masuk ke kamar bujangan. Namun, apa boleh buat itu pekerjaanku.
Aku tinggal di apartemen V dan itu membuat kami juga satu atap. Ya, satu atap. Kalau saja kami di Indonesia sudah pasti V akan digrebek masa dan dipaksa menikah denganku. Aku tersenyum geli, membayangkan V dipaksa menikah denganku.
Jika benar-benar masa menggrebek, besar kemungkinan bukanya V yang dipaksa menikah denganku, tetapi Jigoong. Orang seperti tak pantas digrebek dengan supertar seperti V. Aku tersenyum membayangkan sebuah pernikahan. Aku dulu dekat dengan Rean anak pak lurah, kukira lelaki berambut keriting berhidung pesek itu akan jadi pelabuhan terakhirku, kenyataannya dia seolah sibuk dengan bisnis penerbitan dan percetakannya.
Tak ada kata cinta, tak ada kata rindu,begitulah aku dan Rean. Namun, sepertinya Pak Lurah setuju kalau aku jadi menantunya. Sekarang, permasalahannya Rean itu seolah tak menganggapku ada. Setiap aku mulai mengobrol dengannya dia sibuk dengan ponselnya. Setiap malam minggu, dia selalu touring dengan teman-temannya. Sudah lah, aku tak ingin memaksakan perasaan Rean. Kini tanpa pamit aku meninggalkannya ke Korea, yang seharusnya Beijing.
Saat teringat Rean, tiba-tiba aku teringat Leci. Ya, Leci, kurasa kini ia ada di kampung. Aku ingin sekali meneleponnya. Sementara Caca kurasa kini ia di kota Padang, masih dengan skripsinya yang belum selesai.
Mataku menyorot pada telepon di dekat ruang keluarga. Aku hapal nomor Leci, dibandingkan nomor Caca. Leci adalah gadis manis yang sedikit rapi, ia bahkan memilih nomor telepon yang mudah dihapal. Aku berharap Leci masih di rumah dan belum kembali ke Padang. Harapanku supaya aku bisa berbicara dengan Kakek dan Inek.
Aku memencet kode negara +62 diikuti nomor Leci. Beberapa detik kemudian teleponku diangkat. Aku sangat senang begitu telpon diangkat.
"Leci! Le-ci? Le-ci?" panggilku.
"Hah, apa itu Leci? Bukankah itu nama buah-buahan?" jawab suara berat di seberang sana dengan bahasa Inggris. Aku sadar itu V.
"V?"
"Iya, mengapa kau menelponku?" jawab V malas.
"Aku menelpon keluargaku dan menekan +62 mengapa justru nyambung ke ponselmu?"
"Telepon di apartemen diatur untuk menyambung keponselku. Telepon itu tidak bisa dipakai," jawab V.
Astaga aku malu sekali. Lelaki ini tampaknya sangat posesif, bahkan telepon rumah menyambung ke ponselnya. Bagaimana caranya jika aku ingin memesan makanan? Lagi pula, apa gunanya telepon rumah yang hanya menyambung ke ponselnya, ada-ada saja.
"Hei, kau masih di sana?"
"Iya, V. Maaf."
"Tak apa, kau ada perlu apa? Apa kau menginginkan buah Leci? Jigoong akan membelikan dan mengirim ke rumah!"
"Tidak, V. Terima kasih," jawabku. Setelahnya V menutup telepon. Sial, aku tak jadi menelepon Leci. Apartemen ini benar-benar sangat ketat keamanannya. Menelepon orang lain saja tidak bisa. Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian aku melangkah memasuki kamar V dan membereskan kamar V. Astaga sangat berantakan sekali.
Keterangan :
Seudulleo : cepat
Sungan : sebentar
Votenya gaess...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top