Episode 1 : Pria Tampan


Muza Yana

Aku sampai di Incheon International Airport pukul 20.00 waktu setempat. Aku mengekori wanita yang bernama Jessica. Dia yang membawaku kemari. Awalnya, tujuan utamaku bukanlah ke Seoul tapi ke Beijing. Beberapa waktu yang lalu, aku melamar kerja ke perusahaan melalui biro agen penyalur tenaga kerja ke luar negeri.

Lapangan kerja di Indonesia makin sempit saja. Untuk sarjana teknik sepertiku masih juga kesulitan mencari kerja. Sementara kebutuhan hidup makin besar. Banyak tanggungan yang kupikirkan seperti kuliah dua adikku dan kadang-kadang biaya berobat kakek.

Semua surat-surat dan administrasi untuk keberangkatanku ke Tiongkok sudah diurus pihak agen tenaga kerja. Untuk perwakilan perusahaan, Jessica-lah yang menangani. Wanita berusia 30-an bernama lengkap Jessica Wong katanya perwakilan dari perusahaan. Karena semangat kerja yang tinggi, persiapan ini kulakukan dengan matang, bahkan aku sengaja mengikuti kursus bahasa Mandarin selama enam bulan.

Malam ini, aku bukan berada di Beijing, tetapi di Seoul Korea Selatan. Aku menghentikan langkahku dan memanggil Jessica. Aku tak pernah ke luar negeri membuatku tak tahu apa-apa.

"Ciecie," aku memanggil Jessica dengan panggilan kakak perempuan dalam bahasa Mandarin.

Ia menoleh dan menghentikan langkahnya. "Zenmelioau, Yana?"

"Wo men  wei shen me zai zhi li?" tanyaku dengan bahasa Mandarin seadanya. Jelas saja aku tak terlalu cepat mengucapkannya sebab aku hanya kursus singkat enam bulan.

"Seoul, kau akan bekerja di Seoul," jawabnya.

"Bukankah seharusnya kita ke Beijing?" protesku.

Ia mengembuskan napas. "Perusahan yang kau tuju sudah penuh. Orang Indonesia sudah banyak di sana. Kau akan dipekerjakan di anak cabang perusahaan di Seoul. Kuharap kau betah di sini dan maaf jika aku baru memberitahumu sekarang," tukasnya.

"Lalu bagaimana dengan surat-suratku, pasporku dan lainnya? Bukankah tujuanku ke China? Apa aku tidak bermasalah nantinya?" aku kembali protes. Untuk hal yang tidak jelas seperti ini aku memang suka protes. Walau aku lebih senang jika ditempatkan di Seoul jika dibandingkan di Beijing.

Jessica memberikan paspor dan visa milikku. Aku melotot, ternyata agen tenaga kerja itu tidak memberangkatkan aku ke Tiongkok melainkan ke Korea Selatan. Apa semudah itukah mengganti-ganti tujuan perjalanan? Setelah kubaca-baca paspor dan visaku, barulah aku mengerti jika aku memang dipekerjakan di Seoul. Paspor itu akhirnya kuambil dan kumasukkan ke tas selempang kecil milikku.

Aku lanjut mengikuti Jessica untuk berjalan keluar dari bandara. Sambil berjalan mataku memperhatikan sekeliling termasuk para petugas bandara. Aku tak menyangka, pria-pria petugas bandara di sini hampir semuanya tampan. Wajahnya rata-rata mirip bintang K-pop dengan kulit mulus bening terawat.

Dari sini, aku membuktikan kebenaran kata-kata temanku kalau di Korea banyak sekali orang tampan bahkan tukang air galon dan tukang jual kacang yang katanya juga tampan. Aku tersenyum geli jika mengingat obrolan itu. Tepat di pintu bandara aku melihat Cha Eunwoo, maksudku petugas bandara berseragam biru itu mirip Cha Eunwoo. Sangat tampan, aku menahan senyumku, sementara pria itu tersenyum manis pada semua penumpang yang kewat di depannya. Entah harus senang atau kecewa berada di sini.

***

Di luar bandara, aku naik taksi yang dipesan Jessica. Mataku menatap ke arah luar sambil memandangi kota Incheon menjelang sampai ke Seoul. Jarak antara Incheon dan Seoul sekitar 48 kilometer dan mungkin akan ditempuh satu jam perjalanan.

Pikiranku kembali ke kata-kata Jesica kalau perusahaan yang akan kutuju sudah penuh dengan pekerja asal Indonesia seperti diriku. Lantas, mengapa tanpa konfirmasi Jessica justru membawaku ke Seoul? Semoga yang ia katakan benar. Sebab di kampung halamanku, aku sendiri tak memiliki pekerjaan.

Setelah tamat kuliah 3 tahun yang lalu, aku gencar melamar kerja tetapi hasilnya nihil. Dari sepuluh lamaran yang kukirim tak satu pun menerimaku sebagai karyawan. Bahkan, lamaran menjadi sales cukup susah kudapatkan. Akhirnya, aku menyerah dan pulang kampung membantu kakek di kebun sebagai pemetik jengkol. Kadang-kadang aku membantu tetangga menoreh getah karet.

Kami bukan keluarga kaya raya, kakekku hanya memiliki sebidang tanah yang ditanami kebun karet dan sebidang tanah lagi ditanami jengkol. Kami hidup dengan kebun itu. Sementara orang tuaku sudah meninggal sejak aku kecil.

Kini, aku terpaksa bekerja di luar negeri demi sesuap nasi dan biaya kuliah adikku Leci dan Caca. Aku harus berjuang, setidaknya aku bisa membiayai adikku kuliah dan bisa menerapkan ilmu yang kuperoleh di bangku perkuliahan. Jika harus memilih, aku benar-benar tak ingin bekerja di luar negeri walau gajinya besar. Tetapi, semuanya apa boleh buat dari pada aku menganggur dan jadi bahan pergunjingan masyarakat dengan ejekan 'sarjana menganggur' yang sering kudengar.

***

Setelah satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di sebuah bangunan yang mirip apartemen. Jessica mengatakan kalau ini adalah tempat kos-kosanku. Kos-kosan yang sangat bagus menurutku. Aku ragu, apakah bulan selanjutnya aku sanggup membayar biaya sewanya. Setahuku, sewa apartemen di Seoul cukup mahal jika memang penampakan bangunannya seperti ini. Bangunan tiga lantai dengan desain menimalis seperti yang ada di drama-drama korea.

Begitu sampai aku disambut oleh wanita yang bernama Jung olivia. Dari namanya sudah pasti dia orang korea asli. Berbeda dengan Jessica yang orang Tiongkok, Olivia tampak masih cantik walau usianya kuperkirakan sudah lebih empat puluh tahun. Aku meragukan kecantikan Olivia, kecantikannya alami atau hasil bedah plastik, entahlah.

Jessica dan Olivia bercakap-cakap dengan bahasa Korea. Nampaknya Jessica mahir berbahasa Korea. Sungguh aku kesal, aku sudah kursus bahasa Mandarin tapi aku bukan berada di Tiongkok. Aku tak mengerti perkataan mereka.

"Yana, kau baik-baik di sini ya. Kau bisa beristirahat di kamarmu," kata Jessica.

Aku mengangguk pelan.

"Jung Olivia akan mengantarmu ke kamar hingga kau bisa beristirahat," jelas Jessica.

"Xiexie Ciecie," jawabku.

"Kau berbahasa mandarin saja dengan Olivia, dia mahir berbahasa mandarin. Paham?" bisik Jessica.

Aku mengangguk dan tersenyum pada nyonya Jung yang mengamati percakapanku dengan Jessica. Jung Olivia atau nyonya Jung sepertinya adalah ibu kos di sini. Ia terseyum ramah dan mengajakku bercakap-cakap dengan bahasa Mandarin. Ia bertanya perihal keadaanku.

Setelah bercakap-cakap dengannya, Olivia membawaku ke kamar. Kata Olivia, aku akan menempati kamar di lantai 2.

Olivia memanduku berjalan ke kamarku. Sepanjang koridor, aku melihat beberapa gadis-gadis berpakaian seksi berdiri menyambutku. Aku pun membungkuk seperti yang diajarkan temanku jika bertemu orang Korea. Mereka yang berdiri di koridor, ada yang menatapku sinis, ada yang menatapku ramah dan ada yang berbisik-bisik. Mereka yang berbisik-bisik membuatku tidak percaya diri. Baiklah, mereka memang cantik-cantik dengan tubuh yang ramping. Aku juga tidak gemuk dan setidaknya dadaku tidak rata seperti mereka. Setelah aku berlalu, mereka kembali ke kamar mereka masing-masing. Ternyata sifat kepo bukan hanya di negaraku saja, di sini para gadis juga suka kepo jika bertemu orang baru.

Keterangan bahasa Mandarin

Jiejie (Ciecie)= panggilan kakak perempuan

Zenmelioau = ada apa

Women wisheme zai zeli = sekarang kita di mana?

Xiexie = terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top