• CHAPTER 6 •

One Studio, New York.
(Hari pertama Julia bekerja).

Suara riuh rendah dari orang-orang yang menikmati hidangan dari cafetaria terdengar di belakang Charlotte. Jam di tangan kirinya mengarah ke angka sepuluh dan itu artinya, adalah waktu sarapan bagi Charlotte.

Wanita yang sebenarnya sudah bertubuh ramping itu terpaksa menjalani program diet ketat demi beberapa hal. Selain karena alasan kesehatan, ia juga harus bisa mengendalikan porsi makannya agar berat badannya tak naik. Konsisten dengan berat dan tinggi badan yang sudah ideal.

Bagi semua orang, hidup sebagai artis yang baru merintis karir mungkin tampak berat. Namun Charlotte berusaha bertahan hingga ia sampai di titik ini dan tak akan dengan mudah melepaskan apa yang sudah dirinya dapatkan sekarang.

Aroma kopi khas Amerika langsung menyeruak masuk ke indera penciuman Charlotte saat seorang pramusaji selesai menyiapkan pesanan mereka di atas meja. Tidak, kopi itu bukan miliknya. Melainkan milik Bryan.

Bryan sendiri adalah asisten pribadi Charlotte yang telah bekerja selama dua tahun terakhir. Usia mereka hanya terpaut dua tahun dan keduanya bisa saja dianggap sebagai sepasang kekasih karena selalu terlihat bersama.

"Kau tidak bosan meminum kopi itu?" tanya Charlotte jengah. Sudah beberapa hari belakangan ini, Bryan terus memesan kopi yang sama dan hal itu membuat Charlotte muak. Tidak bisakkah Bryan memesan minuman lain? Setidaknya yang lebih mahal atau apapun yang bervariasi. "Kurasa asam lambungmu akan terus naik dan pecah sebentar lagi."

Bryan mendecak. "Aku sangat stress menghadapi masalah ini. Kau seharusnya memahamiku, Charlotte," dalihnya.

"Astaga, masalah apa lagi? Bukankah kau sudah mengurus semuanya?"

Pria bertubuh kurus itu menyesap kopinya yang masih mengepulkan uap panas dan meletakkannya kembali ke atas meja. Ia menoleh pada Charlotte dan mengangkat satu alisnya, lalu menyilang kedua tangannya di dada. "Jika kau tahu masalahnya, aku yakin kau bukan hanya akan menjalankan diet ketat, Nona. Tapi mungkin kau tidak akan makan atau minum sedikitpun, kau tidak akan bisa tidur sementara otakmu terus berputar memikirkan masalah yang ada di depan mataku," ujarnya dengan kecepatan tak terduga.

Mata hijau Charlotte memutar malas. "Kenapa kau selalu membuatku pusing dengan kata-katamu yang berbelit itu? Aku bahkan tidak tahu kau bicara apa barusan."

Lalu Bryan berdeham dan membenarkan posisi duduknya. Ia kemudian mencondongkan wajahnya ke depan sehingga wajahnya dan wajah sang artis hanya berjarak beberapa senti saja. "Dengar, Charlotte. Ada masalah besar yang sedang kuhadapi. Tapi, apakah kau sanggup untuk mendengarnya walau barang sedikit saja?"

Satu pukulan telak mengenai puncak kepala Bryan hingga ia mengaduh kesakitan dan mundur dari posisinya.

"Jangan berbicara padaku dalam jarak sedekat itu, media akan salah paham karenanya," kata Charlotte mengingatkan. Matanya mengedar awas sebelum kembali pada Bryan. "Lagipula, ada masalah apa sampai kau harus minum belasan cangkir kopi dalam sehari? Apa kau menabrak seseorang?"

"Tidak."

"Kau pasti menghamili kekasih orang lain, bukan?"

Charlotte menggumam panjang dan menyipitkan kedua matanya curiga. "Hm... Kau pasti mencuri sesuatu di lokasi shooting, ya?"

Bryan memutar kepalanya frustrasi dan mendesah. "Bukan itu masalahnya, Charlotte!" Ia lantas memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pening dan melambatkan tempo bicaranya pada sang lawan bicara. "Kau sungguh ingin mendengarnya? Apa kau yakin?"

Charlotte menarik piring berisi salad buah di hadapannya dan mengambil sepotong mangga di sana. Mengunyah habis potongan kecil buah berwarna kuning itu sebelum kembali bicara pada Bryan, "Tentu saja. Kenapa aku punya alasan untuk tidak mendengarkanmu? Kita sudah bekerja selama lebih dari dua tahun dan kita sudah seperti saudara, bukan? Kau bisa membagi masalahmu padaku jika kau merasa semuanya terasa berat untuk dipikirkan sendiri."

Bryan lagi-lagi mendesah, merasa kesal karena Charlotte tak kunjung paham dengan situasinya. "Tapi ini bukan masalahku, ini adalah masalahmu, Charlotte."

Kedua alis hitam milik Charlotte pun bertaut sempurna. "Masalahku? Aku tidak merasa sedang memiliki masalah."

Bryan memulai. "Begini, apa kau ingat proyek film yang kubicarakan padamu tempo hari?"

Charlotte mengangguk cepat. "Lalu?"

"Mr. Moore tak akan mengajakmu dalam proyek itu," tukas Bryan langsung ke intinya.

Di saat itu juga, Charlotte menyemburkan potongan buah dalam mulutnya dan menatap sang manajer tak percaya. "Apa?!" Ia buru-buru menghabiskan jus jeruk pesanannya dan kembali melihat Bryan. Sorot matanya jelas menggambarkan suasana bingung, terkejut, tak percaya bahkan marah. Charlotte tak habis pikir dengan masalah yang tengah dihadapinya sekarang. "Kenapa tidak? Semua sutradara di kota ini bahkan rela menaikkan upahku hanya demi sebuah proyek kecil. Bagaimana bisa Mr. Moore melakukan ini padaku, Bryan? Beraninya dia melakukan itu padaku!"

Bryan memutar kedua bola matanya malas dan menggebrak meja. Beberapa orang di sekitarnya pun sempat mengalihkan perhatian ke arah Charlotte dan Bryan sebelum semuanya kembali seperti semula. "Sudah kukatakan bahwa ini adalah masalah besar!" katanya heboh. "Mr. Moore benar-benar gila."

Charlotte memijit pelipisnya yang mendadak juga terasa pusing. "Aku bahkan sudah mengatakannya di depan media bahwa Mr. Moore tidak mungkin melewatkanku dalam proyek ini! Bagaimana bisa dia mempermalukanku seperti ini? Aku harus segera menelponnya."

"Tidak, jangan!" sergah Bryan.

"Kenapa? Aku harus mendengar alasannya menolakku bergabung dalam proyek itu dengan telingaku sendiri." Charlotte bersiap untuk bangkit jika saja Bryan tak menahannya. "Apa lagi? Kita harus mendengarkan penjelasannya, bukan? Berhenti membuang-buang waktumu, Bryan!"

"Dia sudah mengatakan alasannya padaku, Charlotte," ucap Bryan dengan hati-hati.

Wanita bertubuh ramping itu lantas bersedekap dan menatap Bryan. "Jadi, apa alasan dia menolakku?"

"Ini sedikit ... terdengar menyakitkan untukmu," katanya gugup. "Jadi sebaiknya, kau bersiap untuk mendengarnya dan berjanjilah untuk menahan dirimu, okay?"

Charlotte memukul kepala Bryan sekali lagi. "Bisakah kau tidak berbasa basi dan langsung katakan saja, Bryan? Kau sungguh membuatku kesal sekarang!"

"Mr. Moore, dia ...,"

"Dia apa?!" sela Charlotte tak sabar. "Cepat katakan padaku!"

"Dia berkata bahwa dia tidak membutuhkan pemain amatir sepertimu, Charlotte." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top