• CHAPTER 4 •
Golden Studio, New York.
(Dua bulan sebelum kejadian).
Julia meletakkan beberapa potong pancake yang ia masak sendiri di atas meja, sebelum menaburkan gula halus dan madu di atasnya. Julia tidak biasanya sarapan, tapi kali ini berbeda. Karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja dengan Mr. Moore.
Mr. Moore sendiri adalah seorang sutradara muda yang sukses di usia 30 tahun. Namanya mulai dikenal publik setelah berhasil meraih beberapa prestasi dan dua penghargaan besar yang disabetnya tahun lalu, adalah yang terbaik.
Perkenalan Julia dengan sutradara terkenal itu bisa dibilang cukup panjang. Christian Moore mengadakan audisi terbuka untuk pemilihan naskah terbaik di tahun ini selama satu bulan dan tulisan yang diajukan oleh Julia dalam audisi tersebut akhirnya terpilih menjadi karya dengan nilai tertinggi.
'Cahaya di antara gelap' adalah tulisan Julia yang telah naik cetak selama beberapa bulan lalu, tapi sampai saat ini masih selalu menarik perhatian pembaca di kota New York sendiri. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi nilai tambah di mata Christian Moore.
"Kau bangun pagi hari ini. Mau pergi ke suatu tempat?" Charlotte kemudian duduk di sebelah Julia. "Kau bahkan memasak sendiri pancakemu itu."
Charlotte Antonie, adalah sahabat Julia sejak mereka duduk di bangku sekolah. Hubungan keduanya pun berlangsung baik sampai sekarang. Charlotte menerima Julia di apartemennya dan membiarkan sahabatnya itu membayar setengah dari uang sewa rata-rata karena rasa kemanusiaan dan dasar pertemanan.
"Ya, aku akan mulai bekerja hari ini," tutur Julia. "Mau sarapan bersamaku?"
"Aku akan makan nanti." Charlotte bangkit dari kursi dan mengedikkan kedua bahunya cepat. "Aku harus mempersiapkan diri untuk proyek terbaruku. Bryan bilang, mereka akan membawaku dalam genre aksi dan romansa. Terdengar keren, bukan?"
Julia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, semoga berhasil."
"Kau juga," balas Charlotte. "Aku akan kembali sebelum makan malam. Sebaiknya kau makan lebih banyak dari itu karena New York adalah kota yang melarang kita untuk lemah."
Wanita yang memoles bibirnya dengan gincu berwarna nude itu lagi-lagi hanya tersenyum saat menanggapi ucapan Charlotte. Ia tahu Charlotte selalu seperti itu;penuh semangat dan berambisi.
Ketika Charlotte melenggang pergi, Julia lantas menghabiskan sarapannya secepat mungkin. Ia tidak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja.
Rumornya, pria itu sangat disiplin dan tegas dalam pekerjaan. Christian tidak menerima alasan apalagi penolakan;terdengar seperti pribadi yang cukup tangguh dan tak terkalahkan.
Julia menghabiskan pancakenya hanya dalam waktu tiga menit dan kini ia sudah berada dalam mobilnya, bersiap menuju Golden Studio--kantor utama milik Mr. Moore. Jalanan kota New York yang cukup padat tidak terlalu menganggu perjalanannya, ia hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit untuk sampai dan masuk ke dalam bangunan berdominan kaca tersebut.
"Nona Milles?" Seorang pria dengan pakaian serba hitam bangkit dari balik meja resepsionis dan tersenyum pada Julia yang baru saja tiba. "Perkenalkan, aku adalah Luke. Mr. Moore sudah menunggumu. Mari!"
Pria bernama Luke itu lantas memimpin jalan untuk Julia menuju sebuah ruangan di ujung koridor dan mempersilakannya masuk. "Aku hanya mengantarmu sampai sini, kau bisa langsung masuk ke dalam," ucapnya sopan.
Julia mengangguk patuh dan tersenyum. "Terima kasih."
Kemudian tubuh Julia yang ramping berbalut blazer cokelat muda dan rok selutut berwarna senada masuk ke dalam sebuah ruangan yang berdominan dengan biru. Dinding yang menggunakan motif wallpaper garis horizontal dengan sentuhan layer berwarna putih dan abu-abu, membuat Julia merasa ruangan ini lebih luas dari bayangannya saat di luar tadi. Beberapa lukisan alam tergantung di dinding yang berbeda, kebanyakan adalah coretan pepohonan dan gambar dari beberapa jenis bunga.
Selain pemandangan yang teduh berbalut nuansa alam, aroma aster dari pewangi ruangan otomatis di ruangan itupun turut menyambut indera penciumannya. Hanya dengan berdiri di tempatnya, Julia merasa secara tiba-tiba berpindah ke sebuah taman yang dipenuhi bunga;menyenangkan dan menenangkan.
"Julia!"
Sosok Mr. Moore akhirnya muncul di sana. Matanya yang secokelat kayu ketika basah karena terguyur hujanpun mengarah tepat kepada Julia. Seperti pepohonan besar di tengah hutan, kehadirannya benar-benar menyempurnakan keadaan. Ia lalu menghampiri Julia tanpa melepas senyum di bibirnya yang tampak kelabu. "Kenapa kau hanya diam di sana? Bukankah Luke sudah menyuruhmu masuk?"
Julia tersenyum kikuk. "Ruanganmu benar-benar menakjubkan, Mr. Moore," pujinya. "Aku tidak bisa berkata-kata karenanya."
"Panggil aku Christian dan ... ruangan ini juga akan menjadi ruanganmu mulai hari ini." Christian tersenyum lagi sebelum akhirnya menyuruh wanita itu masuk ke dalam, ke sisi lain ruangan. "Aku akan memperkenalkanmu kepada orang-orang yang akan terlibat dalam proyek film ini bersamamu nantinya. Kuharap kalian bisa bekerja sama dengan baik sampai pekerjaan ini selesai."
Christian dan Julia kini berdiri di depan sebuah ruangan kecil yang tampak seperti ruang meeting dengan beberapa orang di sana. Mata cokelat Christian menyapu setiap pandangan orang-orang di hadapannya sebelum memulai, "Perkenalkan, wanita ini adalah Julia Milles. Penulis baru yang akan memegang kendali utama jalannya cerita dalam proyek ini," ujarnya lugas. "Mari beri dia tepuk tangan."
Kemudian yang terdengar di sana adalah riuh rendah tepuk tangan dan wajah-wajah yang memandang Julia dengan antusias. Kebanyakan dari mereka menyambut hangat kehadiran Julia, meski satu di antara mereka tak menampilkan ekspresi yang sama.
Julia kemudian diminta duduk di antara Pill dan Maria sebelum Christian melanjutkan kata-katanya, "Mereka adalah orang yang akan membantumu. Pill, Maria, Rossie, Shawn bahkan Luke. Semuanya akan membantumu. Jadi, kau tidak perlu sungkan." Entah memiliki sihir apa, tapi yang jelas setiap kali Christian tersenyum padanya, Julia selalu merasa ada desiran hangat menembus dadanya. "Sekarang, bisakah kita mulai pekerjaan hari ini dengan kau yang menjelaskan sendiri bagaimana kisah dalam novel ini, Nona Milles."
Julia menerima tatapan yang mungkin dapat membius semua wanita di dunia ini dari Christian. Mata cokelatnya seperti elang, tajam dan tepat sasaran. Ia benar-benar merasa beruntung karena dapat mengenal dan bekerja sama dengan manusia sesempurna Christian Moore.
Manik biru Julia beralih pada Pill yang duduk di sisi kanannya. Seorang pria berperawakan besar dengan kepala pelontos. Kulitnya kecokelatan khas Amerika latin, penuh dengan wibawa. Dari wajahnya, Julia menerka mungkin pria ini berusia sekitar tiga puluhan akhir dan dia tampak lebih tua jika dibandingkan dengan yang lain.
Kemudian Maria yang duduk di sisi kirinya, adalah seorang wanita penuh gaya dengan gaun kasual merah menyala. Rambutnya yang pirang, menjuntai sampai ke bahu. Wajahnya berpoles make up dengan warna-warna berani seolah ingin menunjukkan dialah bintang yang tak tertandingi.
Berpindah ke sebrang, ada Rosie. Wanita dengan kacamata bulat membingkai mata birunya yang redup. Rambut kecokelatannya yang ikal, tergulung sempurna dengan pita berwarna senada. Menurut Julia, Rosie memiliki wajah yang manis dan bersahabat dibandingkan yang lain. Namun saat ia menoleh ke sebelah Rosie, ia menemukan tatapan dingin dari seseorang yang tidak lain adalah Shawn.
Entah apa masalah pria muda itu, tapi Shawn jelas membalas tatapan Julia dengan pandangan sedingin es. Ia bahkan bersedekap dan memamerkan wajah datar saat mereka tidak sengaja beradu tatap.
"Cahaya di antara gelapnya dunia ini," kata Julia memulai. Lagipula ia tak ingin berlama-lama menatap Shawn yang menyeramkan itu, meski sebenarnya wajah Shawn cukup manis dan ... menggoda. "adalah novel yang awalnya kubuat dengan judul 'ROOMATES : SECRET SERIES'. Menceritakan tentang Ace, seorang anak pemilik asrama terkeren di New York yang jatuh cinta pada gadis bernama Alicia. Di hari kepindahannya, Alicia secara kebetulan datang membawa bencana. Ada pembunuhan mengerikan di asramanya."
Ketika wajah semua orang menatap Julia ngeri karena cerita yang baru saja mereka dengar, Julia justru menemukan Shawn menyeringai tipis di tempatnya.
Wanita itu sontak mengernyitkan keningnya bingung, tapi Shawn justru mengedipkan satu matanya ke arah Julia.
Membuat satu perasaan takut di dalam dirinya yang baru saja akan memulai sebuah hidup baru.
Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Shawn?
Kenapa dia begitu mengerikan hanya dengan mengulas seringaian tipis pada bibirnya seperti itu? []
***
Halo semuanya,
Cerita ini aku ikutsertakan dalam #gmgchallenge2020
Mudah-mudahan aku bisa konsisten menyelesaikan naskah ini dan berhasil sampai ke akhir.
Untuk semua yang membaca cerita ini, jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai bentuk dukungan ya.
Vote atau share link juga bisa membantu penulis dalam menyelesaikan naskah ini kok hihihi
Terima kasih ya semuanya.
love,
@helloimaaa (instagram)
xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top