• CHAPTER 2 •


TKP : Apartemen Julia dan Charlotte.

Jack dan Owen segera menghampiri Julia Milles yang masih berada dalam ambulans untuk mendapatkan penanganan medis demi mengungkap kasus kematian Charlotte.

Bangunan apartemen Luxe ini merupakan salah satu bangunan elit dengan harga yang relatif tinggi. Memiliki dua puluh lantai dengan fasilitas menengah ke atas, Charlotte membeli apartemen atas namanya sendiri di lantai 2 sejak dua tahun lalu.

Mereka berdua lantas melewati beberapa penghuni apartemen yang penasaran akan penemuan jasad di pagi buta seperti ini dan berhenti tepat di depan ambulans.


"Selamat pagi, Jack, Owen," sapa seorang petugas medis bernama Paul. "Kondisinya sudah membaik dan ini infomasi yang bisa kami dapatkan darinya." Paul lantas menyerahkan selembar kertas yang dijepit pada papan catatan miliknya kepada Owen. "Detak jantungnya melemah dan tekanan darahnya menurun akibat syok, tapi dia akan baik-baik saja."

"Julia Milles, 23 tahun, seorang penulis." Owen membaca kalimat itu pada selembar kertas yang diberikan oleh Paul. "Tinggal di apartemen ini sejak tiga bulan yang lalu."

Jack mengalihkan perhatiannya pada wanita bernama Julia Milles itu. Julia duduk di bagian belakang ambulans sementara tangannya memegangi nebulizer atau alat bantu pernapasan untuk kemudian ditempelkan ke hidungnya sendiri. Beberapa kali alat berwarna transparan itu terlihat mencetak uap setiap kali Julia mengembuskan napasnya. Sementara matanya yang sebiru lautan tampak redup dan pandangannya gamang menatap jalanan di depannya.

"Apa ada hal lain?" suara Owen memecah perhatian Jack hingga pria itu segera menoleh pada Paul, sang petugas medis.

"Kadar alkohol di dalam tubuhnya cukup tinggi, dia berkata bahwa baru saja kembali dari kelab setelah merayakan pesta ulang tahun bersama teman-temannya."

Jack lalu menyela pembicaraan. "Apa kami bisa berbicara dengannya sekarang? Dia satu-satunya saksi yang kami miliki, kami butuh informasi terkait kasus ini."

"Tentu." Paul kemudian tersenyum kecil sebelum berbalik meninggalkan kedua polisi tersebut.

Tak lama setelahnya, mobil sedan hitam yang membawa orang tua Charlotte pun tiba. Isak tangis dan histeris langsung mewarnai lokasi saat mereka melihat wajah putri mereka sudah berada di dalam kantung jenazah dan siap dibawa ke rumah sakit. Owen yang menyadarinyapun langsung mengambil keputusan. "Kau temui dia lebih dulu, aku harus mengurus yang satu itu," pungkasnya sesaat sebelum melesat menuju kedua orang tua Charlotte.

Pria dengan tinggi 185cm itu lalu bergerak mendekati Julia dan berdeham pelan. "Nona ... Milles?"

Wanita bernama Julia itu terkesiap dan mendongak perlahan kearah Jack. Julia lalu menjauhkan nebulizer yang tengah ia gunakan dari wajahnya. Mata birunya yang redup menyorot lurus ke arah netra hitam milik sang detektif. Seperti tersengat aluran listrik, secara tiba-tiba Jack merasa seluruh tubuhnya bergetar. Detak jantungnyapun berpacu tak menentu. Apa ini?

Untuk kali pertama, ekspresi lugu seseorang berhasil menyentuh hati Jack yang telah lama dingin.

Julia mengerjapkan matanya beberapa kali sampai akhirnya memutuskan untuk bersuara, "Ya?" dan lamunan Jack tentangnya, buyar seketika.

Bukannya mereda, suara Julia yang begitu lemah justru menggetarkan hati detektif itu hingga ia harus mengalihkan pandangannya beberapa detik demi menetralisir perasaan aneh di dalam dadanya tersebut.

"Apa kau detektif yang menerima panggilanku?" tanya Julia lagi, masih dengan suaranya yang lirih.

Jack buru-buru menoleh ke arah Julia dan hendak menyanggah perkataan wanita itu. "Tidak, aku--"

"Terima kasih," sela Julia. "Aku sangat ketakutan tadi, tapi polisi akhirnya datang dan menyelamatkanku."

Jack menelan salivanya dengan susah payah. Lidahnya mendadak kelu. Ada desiran hangat di dalam dadanya hingga ia mengulum senyum kecil di depan Julia. Ia tidak ingin merusak suasana dan memilih untuk tak mengatakan kebenaran bahwa yang menerima panggilan darurat Julia adalah Owen dan bukan dirinya.

"Tapi, aku sungguh tidak melakukan apapun pada Charlotte," sambung Julia. Ia kemudian meletakkan nebulizer yang sejak tadi digenggamnya di dalam dan mulai turun dari ambulans. "Meski aku mabuk dan berjalan sempoyongan, aku tidak melakukan apapun padanya."

Jack mengerutkan keningnya. "Ba--bagaimana kronologisnya?" Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Jack kembali merasa gugup dalam hidupnya. "Ceritakan padaku."

Julia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat sebelum ia mulai bercerita, "Aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke 23 di kelab bersama teman-teman kantorku. Kemudian saat aku kembali ...," Suaranya mulai beradu dengan isak yang tertahan dan air mata yang menetes di ujung matanya. "Charlotte tak pernah meninggalkan apartemen dalam keadaan terbuka dan dia tak akan suka jika lampu di ruang utama mati saat malam.

Tapi saat aku datang, pintunya tidak terkunci dan sangat gelap di dalam."

Jack segera mencatat semua ucapan Julia dalam jurnal kecil pribadinya. "Apakah ada orang lain yang masuk ke dalam apartemen sebelum kau?"

Julia menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, aku mabuk dan hampir tertidur di depan pintu," ucapnya penuh rasa bersalah. "Jika aku tak membuka pintunya, aku tidak akan tahu sahabatku...," Wanita dengan slip dress hitamnya itupun tak kuasa melanjutkan kata-kata dan memeluk Jack. Ia pun menangis di dalam dekapan sang detektif. "Aku memang membencinya, dia juga sangat tidak menyukaiku. Tapi aku tidak mungkin membunuhnya, aku tidak bisa melihatnya mati dengan cara seperti ini, Detektif."

Meski ragu, Jack memberanikan dirinya untuk mengelus punggung Julia. Beberapa saat sampai tangis itu mereda dan Jack merentangkan jarak di antara keduanya. "Kau masih mabuk, sebaiknya kau pulang dan beristirahat," saran Jack.

Namun Julia justru mencengkram kerah pakaian detektif itu dan tertawa pahit. "Kau pikir aku akan pulang ke tempat dimana sahabatku mati?! Apa kau sedang bergurau, Detektif?"

"Dasar jalang!" Tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menarik tubuh Julia dengan kasar hingga ia menjauh dari Jack dan menampar pipinya dengan kasar. "Semua ini pasti ulahmu! Kau pasti membunuhnya, bukan?"

Wanita itu adalah Kelly, ibu dari Charlotte Antonie. Ia tampak sangat marah dan berapi-api saat bersitatap dengan Julia yang kebingungan. Sementara di belakangnya, tampak Owen dan sang suami yang berusaha menahan wanita itu.

"Anda tidak boleh melakukan itu pada satu-satunya saksi dalam kasus ini, Nyonya!" ujar Owen sembari menarik tubuh wanita itu mundur. "Aku akan menemui anda di kantor polisi. Bisakah kalian menungguku di sana?" dan sang suami mengangguk mengiyakan.

Pria dengan setelan kemeja kotak berwarna biru dan celana hitamnya itu lantas membawa sang istri masuk ke dalam mobil untuk kemudian membawanya ke kantor polisi seperti permintaan Owen.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Owen pada Julia, dan wanita muda itu mengangguk lemah. "Kurasa tidak akan aman jika kau tidur di apartemenmu malam ini, kami masih harus memeriksa tempat ini sebagai TKP utama dalam kasus kematian sahabatmu."

Julia melihat Owen dan bertanya, "Tapi aku tidak punya tempat untuk bermalam. Semua keluargaku tinggal di daerah yang jauh dari sini. Aku hanya memiliki Charlotte."

Owen tersenyum kecil. "Kau bisa tinggal di rumahku malam ini."

Desiran hangat yang sebelumnya muncul dalam benak Jack mendadak berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia pun buru-buru menyela dengan berseru, "Julia akan tinggal di rumahku malam ini!" hingga Julia maupun Owen yang berdiri di dekatnya langsung menatapnya bingung. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top