18. Imagine You

"Cut!"

Aku melihatnya. Dia berdiri di sana bersama para staf dan pemain drama lainnya. Dia beberapa kali membungkuk dan menggumamkan kalimat "terima kasih".

Ah, aku sudah cukup puas melihatnya hari ini, meskipun dari kejauhan. Aku bukannya tidak berani mendekat, hanya saja jika aku mendekat ... dia akan kepedean.

Kurapatkan mantel berbulu berwarna krem milikku. Suhu malam ini cukup dingin dan aku nekat keluar rumah hanya untuk melihat dia.

Aku memutar tubuh, menarik langkah menjauh dari tempat persembunyian-ku. Aku tidak ingin dia melihatku. Sungguh!

Dug!

Ah! Siapa yang kutabrak ini?!

Aku menatap sepasang kaki berbalut sepatu kulit berwarna coklat menapak di tanah. Dengan gerakan slow motion, aku memerhatikan sosok yang bertabrakan denganku dimulai dari kaki hingga kepalanya.

"Oh! Adagaki-san desu?"

Aku mengerjap. Duh, kenapa harus bertemu dengannya, sih?

"Ha'i." Aku tersenyum canggung. "Ohisashiburi desu, Jun-san."

Jun Shison, merupakan salah satu aktor yang bermain bersama Kento dalam drama Kiss That Kills.

Jun mendelik ke belakangku lalu menatapku dengan senyuman jail, menurutku.

"Kau kesini untuk bertemu Kento-san, kan?" tanyanya dengan seringaian jail.

Aku—sedikit—terkejut. Tapi, sedetik kemudian... "Tidak, aku ke sini bukan untuk bertemu dia."

...aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mengaku kalau aku mengunt—

"KENTO-SAN!! ADAGAKI-SAN MENCARIMU!!"

Kedua bibirku terbuka lebar. Manik hazel-ku membola dan sudah pasti ... wajahku memerah. Jun berteriak dan berhasil membuat seluruh kru dan orang-orang yang ada di lokasi syuting menatap ke arahku dan juga Jun.

"Sssstt!!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku. "Sudah kubilang aku tidak—"

"Hime-chan?"

Tuh, kan!

Ketahuan!

Argh!! Jun benar-benar menyebalkan!

Aku membalikkan tubuh dengan perlahan. Tidak, aku bukan takut bertatapan dengan Kento. Hanya saja, aku malu karena tertangkap basah datang ke lokasi syutingnya.

Jari telunjukku menggaruk pipiku yang memang tidak gatal. Aku hanya ... gugup. "Ahaha." Aku tertawa garing. "Ko-konnichiwa, Ken," sapaku basa-basi.

Kulihat Kento menyeringai kecil. "Apa yang membawamu kemari, Hime-chan? Bukankah kau bilang tidak mau datang ke lokasi syutingku?"

Aku mendelik kesal. "Dengar, ya! Aku tidak dengan sengaja datang ke sini. Kebetulan saja aku lewat sini dan ingat kalau kau sedang syuting di daerah ini. Jadi ... yaaa begitulah."

Puk!

Aku melirik ke atas dan dapati tangan Kento menyentuh puncak kepalaku. Dia lalu mengusap pelan rambutku yang dikucir satu.

"Ayo ke ruangan." Dia melirik arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku punya waktu setengah jam."

"Sudah kubilang, aku tidak...."

Dia menarik lenganku seraya berkata, "tsundere" sambil terkekeh pelan.

Aku menghentakkan tanganku—agar terlepas dari genggaman Kento—, namun nihil. Lelaki ini tak berniat melepaskan tanganku. "Aku bukan tsundere, asal kau tahu."

"Shison-san, terima kasih sudah memberitahuku."

Jun menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya, membentuk tanda 'OK' sambil tersenyum. Kento ikut tersenyum dan membawaku pergi.

Aku menyempatkan diri menoleh ke arah Jun dan bergumam "menyebalkan" dan lelaki itu justru tertawa renyah.

Benar-benar!

Kami—aku dan Kento—sampai di ruangan yang penuh dengan pakaian, yang kuyakini adalah ruang tunggu Kento.

Sahabatku itu duduk di atas sofa berwarna coklat dan menyandarkan punggungnya di sofa tersebut.

Puk. Puk. Puk.

Kento menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. "Duduklah, Hime-chan. Aku tahu kau lelah berdiri terus sejak tadi."

Aku merengut kesal. Meski begitu aku tetap menuruti perkataannya dan duduk di samping Kento.

Aku tergeming kala Kento menempelkan kepalanya di bahuku. Netraku sedikit meliriknya dan kelopak mata lelaki itu terpejam.

"Ken?"

"Hm?"

Ah, sepertinya dia kelelahan.

"Biarkan seperti ini dulu, Hime-chan."

Baiklah, aku paham. Kento memang seperti ini jika merasa lelah. Dia hanya bersikap seperti ini padaku dan juga ibunya. Kento tidak ingin sifat manjanya dilihat orang lain.

"Ken, boleh aku berbicara?"

Kelopak matanya sedikit terbuka dan dia melirikku. "Tentu saja."

"Kau—" aku menunduk, memainkan jemariku di atas pahaku, "—sangat menikmati adegan kissu dengan perempuan-perempuan itu," ujarku lirih.

Entahlah, akhir-akhir ini aku merasa kesal dan marah jika Kento dekat bahkan sampai beradegan ciuman dengan perempuan lain.

Kento langsung menegakkan tubuhnya. Aku meliriknya dan dia menatapku ilam-ilam.

Ada apa? Apa aku salah bicara?

"Hime-chan."

Eh? Kenapa? Kenapa tatapan Kento menjadi serius seperti ini?

"Mmm ... ya?"

Grep!

Tubuhku nyaris terjengkang kalau saja aku tidak menahannya dengan baik. Kento memelukku secara mendadak.

"Kau cemburu, ya?"

Pssshhh!

Aku rasa, darah yang mengalir di area pipiku mendidih. Buktinya, pipiku terasa panas. "Ba-baka! Tentu saja tidak."

Tentu saja. Buat apa aku cemburu? Aku dan dia 'kan hanya sahabat. Tidak lebih.

Dia mengelus rambutku dengan gerakan seduktif, membuat bulu romaku langsung berdiri.

Aku dapat menghirup dengan jelas aroma tubuh Kento yang ... memabukkan. Dia sedikit merenggangkan pelukannya. Keningnya sengaja menyentuh keningku. Dan kedua netra kami pun bersitatap.

"Kau ingin tahu kenapa aku terlihat sangat menikmati kissing scene bersama mereka, Hime-chan?"

Oh, tidak!

Jantungku berdetak tak karuan, berdetak sangat cepat dari sebelumnya. Dan ... dan aku bisa mencium wangi mint dari napas Kento.

Benar-benar menyegarkan.

Aku beberapa kali mengerjapkan kelopak mata untuk mengusir imajinasi aneh yang tiba-tiba merangsek masuk dalam pikiranku.

"Me-memangnya kenapa?" Aku lebih tertarik pada topik pembahasan yang diangkat Kento.

Kento menempelkan bibirnya tepat di daun telingaku. "Karena aku membayangkan perempuan itu adalah kamu." Ucapnya—sengaja—lirih.

Lagi, wajahku terasa panas. "Berhenti menggombal!" Aku mendorong Kento agar dia melepas pelukannya, namun tak berpengaruh sama sekali. "Apa sifat karakter yang kau perankan mulai ikut terbawa ke dunia nyata, huh?"

Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. "Jadi ... kau menonton dramaku?"

Mataku membulat. Sial! Aku keceplosan. "Tidak, lah!" Aku membuang wajah ke arah lain.

"Yakin, hm?" Dia menarik–mencubit–kedua pipiku gemas.

"Swakit!" Tuh, 'kan! Aku tidak bisa bicara dengan jelas kalau dia terus mencubit pipiku.

"Gomen."

Dia berhenti menarik pipiku. Aku mengelus pelan pipiku yang sudah pasti memerah.

Cuph!

Kento mengecup pipiku saat aku selesai mengusap pipiku.

"Yak!" Aku memukul lengannya. "Berhenti mencuri kesempatan untuk menciumku."

Dia menunjukkan cengiran tanpa dosa, memerlihatkan gingsulnya yang sedap dipandang. "Aku hanya mencium pipimu, Hime-chan," Dia menyentuh pipiku lalu beralih ke bibirku, "bukan bibirmu."

Baru saja aku hendak menggigit telunjuknya, Kento buru-buru menariknya.

"Tapi kita ini sahab–"

"Ya, ya, aku tahu." Dia merebahkan diri di atas sofa. Kepalanya berada di pahaku. Seenaknya saja. "Kita hanya sekadar sahabat. Aku tahu. Aku tahu."

Bibirku terbuka lalu mengatup kembali saat Kento mengucapkan kalimat yang berhasil membuatku terdiam.

"Friendzone itu menyakitkan, asal kau tahu, Hime-chan," ujarnya seraya memejamkan kelopak mata.

Akupun tahu, Ken. Friendzone memang menyakitkan untukmu...




...dan juga untukku.




▶SELESAI◀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top