Chapter 24.1 : Haruskah berakhir?
Min Hyun memukul setirnya sampai terdengar suara klakson yang nyaring di sana, orang-orang di sekitar sampai terperanjat dan memfokuskan pandangan ke mobil itu. "Dasar tua bangka sialan!" umpat Min Hyun tak terkendali.
Cukup singkat baginya sampai ke gedung apartemen. Dia benar-benar tidak habis pikir, harusnya tempat ini dirahasiakan bagi siapa pun, bahkan ibunya saja tidak diberi tahu. Min Hyun berlari dengan frustrasi, hingga lebih memilih menaiki tangga darurat daripada lift ke lantai enam gedung ini. Dia terus berlari dan berhenti tepat di depan pintu, menekan kode pengaman dan membukanya perlahan. Matanya berpendar, selagi kakinya melangkah menuju ruang tamu yang terdengar berisik, ada suara isakan dari ibunya dan geraman dari pria tua.
"Ibu," panggil Min Hyun pelan. Wanita itu langsung menghambur dalam pelukannya. Min Hyun mengelus pelan bahu ringkuh itu, berusaha menenangkannya. "Sekretaris Moon?" bisiknya dengan wajah tak menyangka.
Sekretaris Moon hanya bisa berdiri di pojok sambil menunduk. Sebenarnya hanya lelaki canggung itu yang tahu apartemen ini, bahkan dia sudah memperingatkan pria itu, perasaan Min Hyun sedikit terkhianati karenanya. Beberapa lelaki berjas yang Min Hyun ketahui sebagai penjaga pria tua itu juga ada di sana, berdiri dengan rapi dan tegap sambil menyatukan kedua tangan.
"Coba lihat, kalian sedang main drama? Kalian benar-benar berlebihan!" Lelaki dengan jas hitamnya itu sedang duduk di sofa dengan congkaknya, menghadap Min Hyun yang berdiri kaku.
"Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya dengan nada kesal.
"Dasar anak tidak tahu sopan santun!" geramnya lagi. "Kau membatalkan proyek ratusan juta karena wanita lagi, kan? Berani-beraninya kau mengancam kakakmu dan menolak tawaran baiknya untuk menyelamatkan perusahaan." Pria tua itu berdecak kesal dengan sebatang sigaret di mulutnya.
Rahang Min Hyun mengeras, tangannya sudah mengepal sempurna, tetapi ibunya berusaha menahannya. "Min Hyun ... Ayo, kita pergi dari sini. Jangan buat ayahmu marah, hm?" ujar ibunya berusaha menarik bahu bidang pria itu. "Kami pergi," ujarnya lagi berpamitan dengan lelaki itu.
"Kenapa? Apa ibu takut padanya, hah? Sudah kubilang, tinggalkan saja dia. Aku sudah menjadi orang yang berhasil sekarang, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula buat apa bertahan untuk orang penyakitan seperti dia?" Min Hyun menatap ibunya nanar, dia sudah tak tahan melihat wanita ini harus mengeluarkan air mata hanya untuk orang yang harus disebutnya sebagai 'ayah'.
"Dasar bocah sialan, berhasil katanya? Aku sepertinya salah sudah membesarkanmu sebagai anakku." Pria itu tertawa mengejek dan Min Hyun hanya bisa menghela napas, tatapan tajam mereka bertaut seolah saling membunuh dalam diam.
"Anda pikir saya bersyukur karena dilahirkan sebagai anak laki-laki yang 'diinginkan' semua orang di keluarga ini? Tidak sedikit pun, orang-orang juga tidak pernah melihat saya sebagai anak Anda. Mereka menganggap saya hanyalah anak dari sekretaris Anda yang beruntung!" teriak Min Hyun.
"Bedebah!" balas Ketua Park sembari berdiri dan tangannya dengan mulus melemparkan sebuah figura kayu seukuran telapak tangan orang dewasa. Sayangnya, Min Hyun tidak dapat menghindar dan figura itu tepat mengenai pelipis kirinya.
"Min Hyun!" teriak ibunya histeris seiring dengan suara gaduh dari figura yang kini sudah berserakan di lantai tak berbentuk lagi.
"Sudah kubilang buang semua hal tentang perempuan itu! Bahkan setelah dua tahun, kau di sini bersembunyi dan menjadi gila. Bagaimana bisa memimpin perusahaan, hah? Serahkan perusahaan pada kakak keduamu, dia lebih pantas daripada dirimu!" Sekali lagi lelaki itu membentaknya habis-habisan.
Hanya saja, bukan Min Hyun namanya jika dia tunduk dengan perintah dari Ketua Park. "Anda pikir bisa semudah itu? Saya memiliki semua saham perusahaan dan sisanya milik ibu. Semua itu saya dapatkan tanpa bantuan dari Anda sedikit pun, tapi Anda berlagak seolah memiliki semuanya karena saya masih bekerja di grup? Cih." Dia menyeringai dan Sekretaris Moon yang melihat senyuman itu bergidik ngeri karena darah segar juga mulai meluncur deras dari pelipis Min Hyun.
"Bajingan! Kau sudah besar kepala rupanya, hah? Menurutmu aku tidak bisa membeli sahammu yang semakin hari semakin turun itu?" Mata Ketua Park tampak berkilat, tapi Min Hyun sendiri tak pernah melonggarkan kewaspadaannya.
"Aku akan meluncurkan produk baru, sudah banyak investor yang tertarik dengan hal ini dan tunggu saja ... kami akan membawa Anshon ke tempat yang lebih tinggi lagi daripada Zhen Group! Sekarang keluar dari tempatku!" Suara Min Hyun terdengar serak, tapi itu tidak membuatnya ragu untuk membentak pria paruh baya di depannya.
"Produk baru? Hah, sudah empat bulan kau membual tentang hal itu, bahkan tentang pernikahan bodoh untuk melawan kakak perempuanmu? Laba yang kau dapat tidak seberapa, tidak seperti yang kuharapkan. Taruhan tetaplah menjadi taruhan, Park Min Hyun. Kita tunggu saja, menurutmu siapa yang akan menang?" Ketua Park melangkah keluar. "Ayo, pergi," ucapnya memberi isyarat pada Nyonya Park untuk mengikutinya. Namun, Min Hyun menahan kedua orang itu.
"Ibu akan tinggal bersamaku, sekarang." Dia menatap tajam dan hanya dibalas senyum mengejek dari Ketua Park.
"Baiklah, lakukan saja apa pun yang kau inginkan. Mulai saat ini kau bukanlah lagi bagian keluarga Park, camkan itu!" ucap Ketua Park sembari tertawa puas.
Setelah pintu keluar tertutup, suasana kaku itu menjadi kelam dan hening pun menyeruak. Nyonya Park hampir beringsut ke lantai, tapi dengan cepat Min Hyun menahan tubuhnya, karena lantai sudah penuh dengan pecahan kaca dan patahan kayu yang tajam.
Sekretaris Moon berusaha membantu dengan berjongkok di lantai, tapi sekali lagi Min Hyun memberi tatapan untuk membiarkan segalanya di sana dan fokus kepada ibunya saja. "Bawa ibu ke kamar," titahnya.
~oOo~
"Maafkan saya," cicit Sekretaris Moon sesaat setelah ibu Min Hyun berbaring dan tertidur di ranjang putra semata wayangnya itu.
"Aku tidak bisa memaafkanmu, tapi tidak bisa juga menyalahkanmu karena keadaan pasti membuatmu begini. Pulanglah, mumpung perasaanku belum kesal kepadamu," pinta Min Hyun, tetapi pria itu ragu.
"Bagaimana luka Anda, Presdir?" Sekretaris Moon hendak menyentuh wajah Min Hyun, tetapi dia menepisnya pelan.
"Biarkan saja, lukanya tidak besar dan darahnya juga sudah berhenti mengalir. Aku bisa mengatasinya. Juga kekacauan di luar, jangan menyentuhnya sedikit pun. Pulanglah, ini hari yang melelahkan." Min Hyun menghela napas, begitu pun Sekretaris Moon yang kemudian pamit undur diri.
Min Hyun masih duduk di ujung ranjang, menatap ibunya yang sudah terlelap karena cukup terkejut sebelumnya. Hal ini, sebenarnya sudah lama telah diprediksi oleh Min Hyun, cepat atau lambat ayahnya-Si Ketua Park-akan menemukan tempat persembunyiannya. Sama seperti hari-harinya saat dibuang ke Amerika, dia dan ibunya harus tinggal terpisah sejak kecil agar kebusukan ayahnya tidak tercium oleh istri sahnya, sampai Nyonya itu meninggal dunia.
Min Hyun membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan, buliran air mata yang sedari tadi ditahannya kini meluncur dengan mulus. Namun pria itu bergegas keluar kamar, takut membangunkan ibunya. Dia melangkah mendekati figura yang telah hancur itu, memunguti tiap pecahan dan menyelamatkan selembar foto.
"Dasar pria tua tidak tahu sopan santun, menyentuh barang orang sembarangan," rutuk Min Hyun. Dia sibuk menyuarakan sumpah serapah dengan suara pelan, takut ibunya terbangun.
Min Hyun membuang pecahan kaca itu ke tempatnya dan duduk di depan mini bar, membuka jas, melepaskan dasi dan kancing bajunya yang paling atas. Dia merasa sesak, terlebih lagi saat menatap wajah orang yang ada dalam foto itu, Min Hyun mengelusnya penuh dengan kasih sayang. Dalam waktu senyapnya itu, pikirannya tiba-tiba meracaukan nama 'Ba Da'.
"Apa kau mengizinkanku untuk bersama Ba Da, Eunhee? Sejujurnya aku ... cintaku, masih terlalu besar untukmu, tapi Ba Da juga tidak bisa dikecualikan sekarang. Aku jatuh cinta terlalu mudah padanya, Eunhee." Pria itu mengembuskan napas panjang, kali ini dia mengusap wajah untuk menyadarkan diri.
Senyum kecilnya terulas, dia merogoh ponsel di dalam saku jasnya, membuka kamera di ponsel pintar itu dan terpampanglah wajahnya yang sekarang sangat berantakan. Min Hyun tersenyum jahil sembari membidik foto berkali-kali, tidak lama dia mengirimkannya pada Ba Da.
KakaoTalk
Min Hyun
|Sent Photo
|Lucu, ya?
Read 21.48
Ba Da
|Ya, Tuhan. Apalagi sekarang?
|Bisakah kau membiarkanku makan dengan nyaman?
|Kau di mana?
Read 21.48
|Hei! Kenapa hanya dibaca?
Read 21.49
Min Hyun cukup terkejut dengan tanggapan santai–cukup panik sebenarnya–dari Ba Da, tidak lama muncul sebuah panggilan masuk dari Ba Da pada ponsel Min Hyun, senyum pria itu perlahan mengembang. Tangannya menyentuh tombol berwarna hijau itu dan terdengarlah suara Ba Da yang menggelegar.
"Apa maksudmu mengirimkan foto itu, hah?" seloroh gadis itu tak kuasa menahan rasa penasaran.
Min Hyun yang sudah lama tak mendengar ocehan kekesalan gadis itu, tidak tahan lagi dan mulai tertawa puas.
"Kau bercanda, ya? Di mana kau sekarang? Aku ke sana!" teriak Ba Da di seberang.
"Tidak perlu," sahut Min Hyun singkat, "aku hanya ingin mendengar omelanmu saja, makan malamlah dengan tenang. Oh, ya ... jangan minum!" lanjutnya lagi.
"Kami tidak akan bisa minum jika tidak sedang cuti tugas." Ba Da mendengkus, Min Hyun kembali terkekeh. "Kau yakin? Aku tidak perlu ke sana?" tanya Ba Da lagi memastikan.
"Hm, aku baik-baik saja. Kau bisa tutup teleponnya," ucap Min Hyun tenang.
"Kau tahu? Ini malah membuatku semakin kepikiran, aku ke sana saja, ya? Ayo, bertemu! Kau sedang berada di apartemenmu, kan? Aku segera ke sana, aku tutup teleponnya." Ba Da yang sedang perjalanan bersama Kwang Gi dan So Woon tak bisa lagi menahannya, dia segera pamit dan bergerak cepat mencari sebuah taksi.
Min Hyun terdiam dan tiba-tiba saja otaknya tidak dapat berpikir jernih. "Ah, Tuhan. Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa tiba-tiba aku menghubungi gadis ini?" ucapnya panik sendirian.
Tanpa dia sadari ibunya sudah terbangun dan memandanginya dengan hangat, bersandar pada pintu kamar dan tersenyum. "Cepat ganti baju dan cuci wajahmu!" sergah Nyonya Park sembari terkekeh. Min Hyun terperanjat, dia kembali mengeluarkan tatapan nanar itu. "Berhenti menatap ibu seperti itu, cepat siap-siap," ujar wanita itu lagi.
Min Hyun mengangguk dengan ragu, memastikan panggilan Ba Da telah berakhir dan bergegas mengganti pakaiannya dengan baju yang lebih santai. Lalu, pergi ke kamar mandi untuk mencuci bekas aliran darah di wajahnya, tapi tiba-tiba luka itu kembali terbuka dan darah segar muncul lagi.
"Aduh, aku tidak punya waktu." Min Hyun menarik beberapa lembar tisu dan menutupi dahinya, diambilnya sebuah topi hitam untuk menahan tisu-tisu agar tidak bergeser.
"Ibu tidak apa-apa jika aku pergi? Ba Da mungkin akan mengerti jika aku bilamg sedang menjaga ibu," tanya Min Hyun lagi, mencoba memastikan.
"Apa? Kau ragu lagi? Sama seperti dua tahun lalu saat ayahmu mengancammu dengan perusahaan supaya kau tidak pergi? Jangan, Min Hyun. Ibu tidak tahu masalah kalian beberapa bulan terakhir, tapi ibu harap kali ini jangan ragu lagi. Apalagi terhadap hatimu," ujar Nyonya Park sembari mengelus pelan bahu bidang itu.
"Kalau aku mengejar Ba Da, apa aku terlihat seperti lelaki berengsek yang meninggalkan tunangannya, Bu?" tanya Min Hyun dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ibunya menggeleng sembari mendorong Min Hyun melangkah ke pintu. "Baiklah, kalau begitu ... aku akan sekalian membeli sup tulang kesukaan ibu. Istirahatlah, Bu. Doakan aku juga," ujar Min Hyun lagi, masih terlalu sulit baginya melepas wanita itu sendirian.
Nyonya Park memeluk anak lelaki satu-satunya itu dengan erat. "Terima kasih sudah khawatir pada ibu, Min Hyun. Ibu sangat bahagia memilikimu, tapi saat ini carilah kebahagiaanmu juga, tidak perlu memikirkan Ibu."
"Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan ibu? Hanya ibu yang kupunya di dunia ini," ucap Min Hyun sembari membalas pelukan ibunya, keduanya tenggelam dalam kehangatan saling menguatkan satu sama lain. "Aku akan menjaga Ibu selamanya," lanjut Min Hyun lagi dan mengecup pelan puncak kepala Nyonya Park dengan penuh kasih sayang.
"Sudahlah, apa Dokter cantik itu tahu persis tempat tinggalmu? Dia diantar oleh Sekretaris Moon kali terakhir. Sebaiknya kau bergegas menemuinya," ucap Nyonya Park sembari menepis buliran air matanya.
"Ah, benar. Aku harus menunggu di depan, kalau begitu aku pamit." Min Hyun memutar kenop pintu dan tersenyum cerah pada ibunya.
Pria itu berjalan dengan langkah cepat, tangannya mengetikkan beberapa kalimat untuk Ba Da dan hanya dibalas dengan kata 'Ya' oleh gadis itu. Min Hyun turun menggunakan elevator dan keluar tepat di lobi gedung, dia melangkah keluar dan merasakan semilir angin musim dingin yang mulai berembus.
Min Hyun berjalan menyebarangi jalan raya menuju sebuah restoran sup tulang sapi, dia sengaja menunggu Ba Da di depan tempat itu, hingga tidak lama sebuah panggilan masuk dari dokter itu masuk.
"Aku sudah sampai, tapi aku sedang mampir ke suatu tempat sebentar. Alamat ini apa sudah benar? Soalnya di navigasi ini sebuah restoran, bukan tempat tinggalmu," tanya Ba Da. Min Hyun bisa membayangkan wajah kebingungan gadis itu dan langsung membuatnya tersenyum.
"Benar, aku sedang menunggumu di depan restoran sekarang." Min Hyun menoleh ke kiri dan kanan, berharap bisa dengan segera melihat sosok gadis itu.
"Masuklah ke dalam restoran, suhu cukup dingin sekarang." Suara Ba Da terdengar khawatir. Min Hyun hanya membalasnya dengan kekehan kecil. "Aku tidak sedang bercanda, Park Min Hyun." Ba Da berujar kesal.
"Cepatlah datang, aku tunggu."
Tanpa sadar Min Hyun mematikan panggilan lebih dulu lagi dan sesaat kemudian dia tercenung. "Kenapa aku tiba-tiba mematikan teleponnya? Kebiasaan ini susah sekali dihentikan," rutuk Min Hyun.
~oOo~
Perlu waktu sepuluh menit bagi Min Hyun sampai dia bisa melihat sosok itu, kuncir kudanya terayun seiring kakinya melangkah dan di bawah lampu jalan yang menyinarinya. Min Hyun seketika masuk dalam ruang kenangannya, wajah gadis itu berubah menjadi wajah yang begitu familier dan sangat dia rindukan.
Kakinya melangkah dengan jantungnya yang berdetak tak karuan, dia berhenti tepat di depan sosok itu, senyum tipis terlihat mengembang di wajah keduanya, langsung saja tangan kekar itu membawa Ba Da dalam pelukan paling hangat.
"M-Min Hyun?" Ba Da yang tak tahu apa pun sedikit terperanjat, tapi akhirnya hanya pasrah saat mendengar pria itu sedikit terisak dalam dekapannya.
"Satu menit saja, kumohon," pinta pria itu di tengah-tengah suara napas beratnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ba Da, tangan kananya menepuk pelan pundak pria itu dengan sabar, sedang tangan kirinya penuh sudah penuh dengan sebuah plastik belanja.
Suasana hening, hanya terdengar beberapa deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang. Cukup lama keduanya diam di satu tempat, Min Hyun menyadari perlakuannya sungguh tidak pantas mengingat kata-katanya pada Ba Da beberapa bulan lalu dan melepaskan pelukan itu sembari tangannya dengan cepat menghapus sisa air mata di pipinya.
Min Hyun mencoba menarik napas dari hidungnya yang agak sedikit tersumbat. Ba Da memandangnya dengan penuh selidik, tapi pria itu memalingkan wajah tak berani menatap.
"Ayo, masuk dan makan dulu. Aku mungkin akan kena demam kalau lama-lama kena angin malam," ucap Ba Da sekenanya untuk menghapus kecanggungan di antara mereka. Min Hyun bergumam tak jelas dan dengan kikuk mengekori gadis itu.
Tepat di dalam restoran sup, suasana begitu lengang. Malam memang belum terlalu larut, tapi cuaca yang tidak mendukung membuat orang-orang lebih memilih makan untuk dibawa ke rumah atau memakai jasa pesan antar. Kini hanya tersisa tiga meja yang terisi, Ba Da dan Min Hyun sepertinya menjadi pelanggan terakhir hari itu.
Kebetulan dua orang ini duduk di samping jendela besar yang menghadap jalan raya. Min Hyun masih memandang kosong ke arah mobil-mobil yang menunggu lampu lalu lintas berubah, Ba Da memutar bola mata dalam diamnya. Dia meneliti penampilan kasual pria di hadapannya ini. Topi hitam, jaket hitam, celana hitam, hanya kausnya saja yang berwarna putih.
"Mana lukamu?" tanya Ba Da sembari menyentil pelan ujung topi Min Hyun.
"A-ah," pekiknya, membuat Ba Da agak terkejut. "Pelan-pelan, ini luka baru. Masih sakit." Min Hyun merengek dan tangannya segera melepas topi dan tisu-tisu yang menutupi lukanya.
"Ya ampun, kenapa hanya ditutupi dengan tisu seperti ini?" Ba Da berdecak kesal.
"Aku tidak sempat mengobatinya," jawab Min Hyun jujur.
Ba Da mulai membuka kantung plastik yang dibawanya dan mengeluarkan beberapa kapas juga salep, dia mulai menggumam kecil, "Sudah kuduga akan jadi begini."
"Siapa suruh kau ke sini tiba-tiba? Aku tidak mengharapkanmu untuk datang." Min Hyun cemberut lalu melipat tangannya di dada, tapi Ba Da hanya mencibirnya.
Ba Da menarik kursi di samping Min Hyun, pria itu sedikit tercengang. Sedang, gadis itu masih mempertahankan ekspresi kakunya, tangannya kini menyentuh luka itu dengan kapas. Min Hyun sedikit meringis, tapi dia tak menggubrisnya dan terus membersihkan luka yang hampir mengering di pelipis pria itu. Salep dituangkan ke jari lentik Ba Da, sesaat sebelum dia sempat menyentuh luka, pria itu kembali meringis dan tampak tidak siap.
"Ya, Tuhan. Jangan manja!" bisik Ba Da dengan penuh penekanan, Min Hyun kembali cemberut dan hanya bisa pasrah dan menutup matanya.
Dingin, dia bisa merasakan jemari itu sedikit menyentuh kulit wajah Min Hyun. Mata pria ini kembali terbuka, dalam jarak sedekat ini dia bisa melihat lekuk wajah Ba Da lebih jelas. Dari dahi, alis yang tidak terlalu tipis atau tebal, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang cukup mancung, juga bibir ceri mungilnya.
Seketika Min Hyun menyesali perbuatannya yang tiba-tiba mengingat wanita di masa lalunya yang sangat jauh berbeda dari gadis ini. Min Hyun mulai bergumam dalam hati, "Ba Da dan orang itu sangat berbeda. Bodohnya aku, sampai mengira mereka orang yang sama."
"Selesai," ucap Ba Da setelah menempelkan plester bening di luka itu.
Min Hyun tersadar dan sedikit tergagap, "Oh, t-terima kasih."
Tidak banyak obrolan sampai sup tulang yang mereka pesan dihidangkan, Ba Da langsung saja menyeruput kuah hangat itu. Min Hyun yang belum bisa menghangatkan suasana, juga ikut menyeruput sup miliknya
"Aku tidak tahu kenapa kau bisa terluka seperti ini, tapi bisa tidak kau sehari saja tidak membuatku khawatir?" Ba Da mulai mengomel lagi, Min Hyun tersenyum dan kembali memandangnya dalam. "Juga ... berhentilah memandangku seperti itu," lanjutnya.
"Setiap hari? Kau memikirkanku setiap hari?" tanya Min Hyun tiba-tiba, Ba Da terhenyak. Pria itu menaikkan sebelah alisnya dan spontan menyentuh dahi gadis itu dengan telapak tangannya yang besar.
"Kau tidak sakit, kan? Kenapa wajahmu memerah seperti itu? Tapi, dahimu tidak panas, apa kau sedang tersipu? Hei, kau bisa membuatku salah paham, kau tahu itu?" tanya Min Hyun berturut-turut tanpa henti.
Kali ini pria bertubuh tegap itu yang terdengar mengomel. Dia memberi jeda sesaat karena jantungnya seolah sedang diajak bermain tali, detaknya benar-benar tidak beraturan. Begitu pun Ba Da yang bisa mendengar dentuman di rongga dadanya itu.
"Hm ... aku menyadari sikapku selama ini terhadapmu. Jujur saja, aku menjaga jarak karena ucapanmu dulu sangat menyebalkan, tapi hari ini aku ingin mengatakan satu hal bahwa ... aku menghargai usahamu." Ba Da menepis tangan Min Hyun perlahan, supaya tidak menyinggung pria itu.
"Usaha?" tanya Min Hyun dengan mata yang menyipit.
"Kau pikir aku sebodoh dan tak sepeka itu saat kau datang ke rumah sakit hampir tiap minggu hanya untuk bertemu Direktur Hwang? Kau bahkan melakukan konsultasi rahasia dengan So Woon, seolah-olah kau wanita hamil, Bodoh." Ba Da terkekeh kecil, Min Hyun mencibirnya dan lebih memilih untuk memakan sisa supnya.
"Kau menghindariku dengan sangat hebat, Ba Da," puji Min Hyun sembari meletakkan sendok ke meja berbahan kayu itu.
"Kau juga ... pasti mengetahui alasannya...." ucap Ba Da menahan suaranya, dia menunggu respon Min Hyun untuk melanjutkan kalimat yang baru saja dia lontarkan.
"Maksudmu tentang calon istriku yang meninggal di meja operasi dua tahun lalu?" Begitulah obrolan itu berlanjut ke cerita masa lalu yang membuat takdir mereka terhubung. Ba Da mengiyakan kalimat Min Hyun tadi dengan anggukan.
Mata Min Hyun perlahan tampak sendu, tapi dia tetap berusaha melahap habis sup yang ada di mangkuknya sebelum benar-benar membicarakan hal penting seperti itu. "Habiskan makananmu, kita lanjutkan saat kau sudah selesai," ucap pria itu.
"T-tapi ...," tukas Ba Da.
"Habiskan." Min Hyun berbicara setenang mungkin. Ba Da yang melihat raut wajah pria itu pun segera memasukkan nasi ke dalam mangkuknya.
~oOo~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top