Chapter 23 : Life is Still Going On
Empat bulan berlalu tanpa tanda-tanda dari dua orang yang tiba-tiba saling asing untuk bertemu. Ba Da dan Min Hyun memaksa untuk sibuk dengan dunianya sendiri. Gadis itu masih dengan rambut ekor kudanya, kali ini tangannya membuka lembar demi lembar buku tebal di hadapannya, benar-benar tak ada sedetik pun matanya berpaling. Sesekali dia menulis catatan kecil di samping tulisan yang dianggapnya penting. Dari kejauhan So Woon tersenyum seolah melihat anak perempuannya sedang berjuang untuk ujian akhir sekolahnya. Namun, di tengah ketenangan itu, tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara.
"Oh, waktunya makan siang." So Woon bersorak.
"Makan siang apanya? Pasien darurat akan segera datang. Ba Da, tinggalkan dulu buku-bukumu!" Kwang Gi menarik lengan dua gadis itu.
"Aku tahu, aku hanya ingin membuat suasana lebih baik." So Woon mendengkus.
Ketiganya lalu berangkat menuju ruang IGD, sudah rapi dengan jubah putih mereka. Tidak lama datanglah ambulance yang membawa seorang wanita. Seorang pasien hamil lagi-lagi ada di sana, segera So Woon dan Ba Da mendekat.
"Ba Da, kau bisa kembali belajar. Biar aku dan Kwang Gi yang-" ucap So Woon, tapi cepat-cepat Ba Da memotongnya.
"Kali ini biar aku saja. Kalau tidak dicoba aku tidak pernah tahu bagaimana hasil pengobatan dan latihanku selama ini." Ba Da tersenyum, tulus sekali. Bahkan membuat So Woon tidak tega untuk menyergahnya dan membiarkan gadis itu menangani pasien.
Ba Da mengambil alih dan So Woon memperhatikan, ibu hamil itu masih bisa mendengar dan menyahut semua pertanyaan yang dilontarkan Ba Da. Dia bergegas mengambil USG portabel yang sudah disiapkan, ada bagian yang terlihat tidak baik di bagian kanan perut ibu hamil itu.
"Tolong lakukan tes urin dan uji darah pasien. Dugaan sementara pasien hamil ini mengalami preeklamsia, kita harus bergegas sebelum pasien mulai mengalami eklamsia. Tolong pantau terus kalau-kalau terjadi kejang nantinya," ucap Ba Da lugas.
So Woon mengangguk dan langsung saja memanggil kepala perawat agar segera mempersiapkan segalanya. Perlu waktu dua puluh menit agar semua hasil di dapatkan.
"Menurutmu kita harus lakukan operasi?" tanya Ba Da dan So Woon mengangguk. Setelah melihat layar komputer, Ba Da bergegas memberi aba-aba agar ruang operasi segera disiapkan.
"Pasien sudah mengalami eklamsia pada fase pertama sebelum dia datang ke sini, kita bahkan masih melihat kedutan di wajahnya." So Woon menerangkan alasan dirinya menyetujui agar pasien ini segera dioperasi.
"Perawat Nam, tolong sampaikan ke wali pasien kalau kita akan melakukan operasi dan minta persetujuan mereka," ucap Ba Da menepuk pundak Perawat Nam dan segera mengejar So Woon untuk menyamakan langkah.
Ba Da membatin, "Apakah ini artinya aku akan menghadapi pasien yang sama seperti dua tahun yang lalu?" Dia meniupkan udara dari mulutnya, sembari berjalan menuju ruang dokter.
Kedua wanita itu melangkah bersama menuju loker, Ba Da hanya diam sembari mengganti pakaiannya menjadi seragam operasi. So Woon yang memperhatikannya dari tadi kini menepuk bahu itu pelan.
"Kali ini, aku membiarkanmu menangani semuanya bukan untuk melihatmu keluar dari ruang operasi dan menghilang. Ok?" tegur So Woon, dia tersenyum hangat begitu pun dengan Ba Da.
Gadis itu menghela napas panjang, mempertahankan ritme jantungnya yang sedang berdegup kencang. Ba Da menatap So Woon lekat-lekat, sebelum akhirnya melangkah keluar. Di sana dia bertemu dengan Kwang Gi yang juga hendak bersiap menuju loker, gadis dengan rambut kuncir kuda itu terperanjat dan matanya menelisik. Kwang Gi yang ditatap hanya balas tersenyum kikuk.
"Bukannya kau sedang di posko kesehatan? Kenapa tiba-tiba ke rumah sakit?" Ba Da melontarkan sebuah pertanyaan.
"Aku dengar ada pasien yang perlu segera di op-" So Woon dari belakang menyikut bahunya dan memberi isyarat agar dia cepat-cepat pergi.
Ba Da menatap wajah So Woon dengan intens, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi dan berlalu mengibaskan tangan. Perlahan waja Ba Da cemberut, tapi tangannya tetap merangkul So Woon. Tak lama, keduanya sudah berdiri di tengah-tengah lorong menuju ruang operasi. IGD ada di ujung sebelah kanan dan ruang operasi di sebelah kiri.
"Apa Anda sudah makan, Pak?" tanya So Woon pada suami pasien. Pria itu mengangguk, dokter berambut bob ini tersenyum ramah. "Operasinya tidak lama, kami akan berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan istri dan anak Anda. Percayalah dokter yang ada di dalam adalah dokter hebat."
"Terima kasih. Saya mohon bantuannya, Bu Dokter." Dia berujar lirih dan disambut dengan anggukan So Woon. Wanita itu pun kini menghilang di balik pintu ruang operasi.
Sebelum benar-benar masuk, dia melihat sosok Ba Da yang kini bersiap ke salah satu ruangan yang sudah disediakan. "Ba Da, aku merindukanmu bersama Park Min Hyun," ucap So Woon tiba-tiba.
"Hah? Kenapa bicara seperti itu? Bukannya sudah kukatakan kalau cerita kami akan menjadi sad-ending," ucap Ba Da dengan sedikit nada kesal.
"Memangnya kau siapa berani-beraninya meramal akhir cerita hidupmu bersamanya? Kau tahu, mungkin Park Min Hyun dan dirimu ditakdirkan bertemu seperti itu, tapi kita belum tahu akhir kalian akan bagaimana." So Woon menyikut lengan Ba Da pelan, tapi gadis ini hanya menggeleng dan segera masuk.
"Aku tidak peduli pada hal itu lagi." Ba Da bergumam dan mulai memasang jubah operasinya, dibantu oleh beberapa perawat yang sedang bertugas.
"Kau hanya merasa bersalah dan pria itu juga. Kalian saling menyukai, tapi terjebak dengan rasa penyesalan yang tidak harusnya menjadi beban kalian. Kita ini dokter, Ba Da. Bukan Tuhan, kita tidak tahu kapan pasien akan meninggal, kita hanya bisa mengusahakan," teriak So Woon sebelum akhirnya gadis itu meninggalkan pintu dan mensterilkan diri di wastafel.
Ba Da menggeleng, entah berapa kali kata kiasan itu menghantuinya selama ini. Gadis ini kembali berusaha fokus, sembari mendekati pasien yang sudah siap di atas ranjang operasi yang dingin, mata Ba Da melengkung layaknya bulan sabit, dia tersenyum di balik maskernya.
"Mohon maaf karena ada keterlambatan dan suara teman saya barusan. Kami akan melakukan pembiusan, mari berhitung mundur dari sepuluh. Sepuluh ... sembilan ... delapan ...." Ba Da memberi aba-aba ke dokter anestesi dan pasien mengikuti perlahan, sampai akhirnya dia tidak sadar sepenuhnya.
"So Woon?"
"Iya, aku sudah ada di sini." So Woon mendatanginya dengan cepat, tapi penuh kehati-hatian.
Kedua dokter wanita itu mulai membedah perut pasien, membuat sayatan horizontal di bagian perut, tidak lama terdengar suara tangisan bayi, napas malaikat kecil itu tampak menderu cepat. So Woon dengan cekatan menyelimuti bayi dan meminta asisten perawat membawanya ke ruangan khusus.
Sementara itu, Ba Da masih fokus pada proses pembedahan. Tidak seperti sebelumnya, gadis ini tampak tenang dan seolah sedang tidak melakukan operasi yang sudah menghantuinya selama dua tahun terakhir. So Woon tersenyum di balik maskernya, tapi senyum itu perlahan surut saat tubuh pasien mulai menegang.
"Pasien mengalami eklamsia fase dua, semua harap tenang dan So Woon beri suntikan magnesium sulfat untuk mengurangi kejang pada pasien. Perawat Nam tolong periksa mulut pasien untuk menghindari lidahnya tergigit." Ba Da sekali lagi memberi aba-aba dengan lugas dan tenang.
Segera saja dua orang yang diperintahkan melaksanakan apa yang dikatakan Ba Da sebelumnya. Gadis itu tetap bertahan pada posisinya yang kini sibuk menyelesaikan jahitan, dia menunggu selama satu menit sampai tubuh pasien kembali rileks.
"Pasien sudah melewati fase kedua, penjahitan akan saya lanjutkan. Dokter anestesi tolong pasokan oksigen ditingkatkan sembari perhatikan tanda vital pasien sampai ke posisi stabil," ucap Ba Da mulai menarik benang dan jarum itu kembali. Tangannya bergerak cepat mengikat dan dibantu oleh So Woon yang memotong benang.
Wajah gadis itu setenang ombak di lautan, tapi hatinya hampir mengalami tsunami dan Ba Da terus bergumam dalam pikirannya, "Tolong bertahan, Nyonya. Tolong ...."
"Cut," ucap So Woon setelah memotong benang dan itu hal terakhir yang mereka lakukan pada operasi kali ini.
"Tanda vital?" tanya Ba Da pada dokter anestesi.
"Stabil, Dokter," sahutnya.
"Baiklah, operasi sudah selesai. Kerja bagus semuanya." Ba Da bertepuk tangan dan membuat semua orang berucap syukur.
"Anda juga sudah bekerja keras, Dokter." Semua orang memuji Ba Da yang tampak tersipu dan terharu.
"Kau hebat, Ba Da. Ayo, kita harus beres-beres dan sampaikan berita baik ini pada wali pasien." So Woon menggaet lengan Ba Da dan keduanya pun beranjak dari ruangan dingin itu menuju ruang tunggu. Tidak lupa pula mereka menanggalkan jubah operasi di salah satu keranjang.
~oOo~
"Apa yang harus kuucapkan pada wali pasien? 'Kami berhasil, selamat menjadi ayah, Tuan.' atau 'Selamat bayi dan istri Anda berhasil diselamatkan,' eh tapi keduanya membuatku terdengar sombong, bukan?" Ba Da mengerang sembari meluruskan tulang punggungnya.
"Hadapi saja, sisanya biarkan semua mengalir." So Woon menepuk bahu gadis itu dengan gemas.
"Kau akan berada di sampingku, kan?" tanya Ba Da menggenggam tangan So Woon dengan erat.
"Tentu, aku akan selalu di sini untukmu." Wanita berambut bob itu mengangguk dan menampilkan senyum terbaiknya untuk Ba Da.
Ruang tunggu yang ada di depan lorong operasi terlihat lengang, kebetulan yang mendapat jadwal operasi di jam itu hanya pasien ibu hamil tadi saja. Si suami siaga itu mengetuk lantai dengan ujung sepatunya, sembari menunggu kepastian akan keselamatan istrinya.
"Permisi, Tuan?" sapa Ba Da lembut, wajah pria itu masih tampak kalut. Sisa air mata tertera di ujung matanya, membuat Ba Da entah kenapa ingin menangis saat itu. Dia mengatup bibir sesaat.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" tanyanya.
"Ba Da ...." So Woon merangkul Ba Da tepat di pinggang gadis itu.
Ba Da mengangguk pelan dan tersenyum. "Istri Anda sangat sehat sekarang, kami akan mengantarnya ke ruang pemulihan dan setelah itu ke kamar inap. Apakah Anda sudah melihat bayi Anda? Dia benar-benar sangat sehat, kami akan mempertemukan kalian bertiga saat istri Anda sudah lebih baik."
Seketika saja pria itu berlutut dan menangis penuh haru, Ba Da pun tak sanggup lagi menahan air matanya.
"Terima kasih, Dokter." Pria itu bersimpuh dan Ba Da ikut berjongkok sembari menepuk bahunya.
"Bersyukurlah karena Tuhan membantuku kali ini, juga berterima kasihlah pada istri Anda karena kuat menahan segalanya." Ba Da menahan lengan wali pasien untuk membantunya berdiri. Lorong yang awalnya sepi itu pun kini terdengar riuh oleh tangis sedu sedan dari pria ini.
"Sekali lagi saya sangat berterima kasih," ucapnya menatap Ba Da dengan tulus, gadis ini mengangguk. Hingga dirasa cukup, Ba Da dan So Woon pun berpamitan. Wali pasien diantarkan oleh perawat Nam menuju ruangan istrinya.
Ba Da memeluk So Woon sembari berjalan, dia tidak bisa berhenti menangis, tapi bibirnya juga terus-terusan menyunggingkan senyuman. Dari kejauhan tampak seorang Park Min Hyun, dia sengaja datang untuk membicarakan bisnis dengan Direktur Hwang. Pada awalnya berniat menghampiri keduanya, tapi urung. Kini pria itu bersembunyi di sisi lorong yang tak terlihat, ia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang terpancar itu karena kemunculan dirinya.
"Mungkin lain kali?" Min Hyun menggumam, selepas dirinya mengantarkan punggung Ba Da yang sudah hilang di antara kerumunan.
Pria itu berbalik, hendak menuju pintu utama rumah sakit, tapi langkahnya terhenti oleh seorang pria yang memiliki aura penyesalan yang cukup besar seperti dirinya.
"Oh, Dokter Hwang. Lama tidak bertemu," sapa Min Hyun, tapi lawan bicaranya hanya diam dan memberi isyarat kepada Min Hyun untuk mengikutinya.
Sesampainya di kafe dekat lobi, keduanya duduk berhadapan dengan gelas kopi masing-masing. Kali ini Min Hyun memilih Latte dan Yoong Hwa Americano dingin. Sebelum memulai pembicaraan, keduanya spontan membasahi pita suara dengan minuman masing-masing.
Yoong Hwa berdeham dan menatap Min Hyun cukup dalam. "Aku sudah melihatmu lebih sepuluh kali di rumah sakit ini dan kuharap ini yang terakhir," ucap Yoong Hwa seketika.
"Wah, memangnya rumah sakit ini milikmu? Kau hanya profesor dan kepala bagian saja. Jangan sombong, aku bisa saja membeli saham rumah sakit dan menjadikannya milikku, kau tahu itu?" Min Hyun berdecak sembari menyilangkan tangannya di dada.
"Siapa yang mengatakan rumah sakit ini milikku? Aku hanya tak ingin kau bertemu dengan Ba Da dan menyakitinya lagi," ucap Yoong Hwa sembari mengetuk meja, tatapannya menajam.
Min Hyun merotasi bola mata dan tergelak cukup lama, beberapa pengunjung bahkan terkesiap karenanya. "Wah, coba lihat siapa yang bicara? Menurutmu siapa yang lebih menyakiti Ba Da? Aku atau kau, pria yang membatalkan pertunangan di hari H? Apa kau terkena amnesia atau kau memang bodoh? Aku hampir saja mengumpat lebih parah dari ini," sindir pria itu.
"Kau, tentu saja, Bodoh. Istrimu yang membuat Ba Da mengalami trauma operasi yang cukup lama. Bahkan karena kasus itu, dia mengubah pemikirannya untuk mengambil spesialis obgyn. Seandainya dia tidak berkencan denganku, Ba Da mungkin akan semakin terpuruk. Aku yang membuatnya bertahan di masa-masa sulit." Yoong Hwa tidak mau kalah dengan argumennya, tapi tentu saja bagi Min Hyun, pendapat pria itu salah.
"Baiklah, anggap saja kau tahu dia memiliki trauma. Lalu, mengapa kau meninggalkannya dengan tidak bertanggung jawab seperti itu? Atau, kau baru menyadari bahwa Ba Da memiliki trauma baru-baru ini saja?" Kini Min Hyun meletakkan tangannya di meja, mencondongkan tubuhnya ke arah Yoong Hwa yang entah mengapa merasa haus.
Pria dengan jas putih itu menegak Americano-nya dengan cepat dan melipat tangannya di dada. Matanya mengawang-ngawang pada langit biru di siang hari yang terik itu. "Seandainya Ba Da terpengaruh kala itu, mungkin kami sudah mempersiapkan acara pernikahan lagi hari ini." Yoong Hwa membatin.
Berengsek! Kata-kata dari mulut Ba Da malam itu masih terngiang di kepala Yoong Hwa, gadis itu bahkan hampir mencekiknya. Hal itu membuat pria ini tak ingin lagi gegabah saat mendekati Ba Da.
"Aku rasa kita berdua adalah orang yang paling menyakitinya sekarang, maka dari itu berhentilah muncul di hadapannya. Karena semua itu percuma, kita tidak bisa menyembuhkan hatinya, hanya waktu yang bisa." Yoong Hwa berbicara tanpa sedikit pun menatap Min Hyun dan sekali lagi pria bersetelan jas lengkap itu tergelak.
"Jangan samakan aku denganmu, Dokter Hwang. Aku ini pebisnis, bukan dokter yang menerima takdir Tuhan dengan tenang. Aku akan menantang takdir ini, jikalaupun aku gagal, aku masih punya banyak rencana yang lebih inovatif. Lagipula, waktu tak selamanya bisa mengobati luka, hanya keberanian dan tekad yang mampu menghapusnya." Min Hyun mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai.
"Berani-beraninya kau menghina dokter, kami juga sudah mengupayakan segalanya demi keselamatan para pasien," sergah Yoong Hwa lagi.
"Aku sangat mengerti, tapi dari bahasamu ... aku juga paham, kau ingin aku menyerah untuk mengejar Ba Da, bukan? Tidak, aku bukan orang yang seperti itu, prinsipku adalah kalau bukan perusahaan ini, maka aku tidak mau yang lain. Sama dengan Ba Da, karena sainganku meremehkanku, rasanya kalau bukan gadis itu, gadis lain tidak ada artinya. Kau meningkatkan rasa kompetitifku lagi, bagus sekali ...." Min Hyun menyeringai panjang dan tampak puas dengan Yoong Hwa yang tak sadar bergidik karenanya.
"Aku permisi," ucap Min Hyun segera berdiri, meninggalkan Yoong Hwa yang dipenuhi rasa frustrasi dan kekalahan.
"Berani-beraninya dia meminta Pengusaha Gila sepertiku untuk menyerah. Tidak, aku akan tetap berjuang." Min Hyun berkacak pinggang di parkiran sembari tertawa congkak. Meski banyak yang melihat, dia tidak menggubrisnya sama sekali.
~oOo~
"Operasi caesar, paling lama satu setengah jam dan operasi tadi termasuk cepat. Kau bekerja dengan baik, Ba Da?" ucap So Woon sembari mengelus punggung Ba Da.
"Aku sebenarnya cukup gugup, tapi pasien itu datang di waktu yang tepat dan dia cukup kuat. Kau tahu, menurutku ini hanyalah sebuah keberuntungan. Aku perlu lebih banyak pengalaman, karena hampir dua tahun aku tidak melakukan operasi untuk ibu hamil," ucap Ba Da dengan wajah yang tampak sendu. So Woon cemberut dan menggeleng.
"Seperti kataku, kejadian dua tahun lalu bukanlah kesalahanmu, bukan juga karena kau sial hari itu. Namun, semuanya memang sudah semestinya begitu, kematian seseorang adalah takdirnya dan kita hanya sebagai saksi, kita sudah berbuat semaksimal mungkin untuk menolongnya." So Woon merentangkan tangan dan menangkup tubuh Ba Da dari belakang, seperti seorang kakak yang selalu memberikan dukungan terbaiknya.
"Terima kasih, So Woon." Ba Da menggenggam tangan So Woon sembari tersenyum cerah.
"Kalau kau berterima kasih, temuilah Min Hyun dan berbaikan." Wanita berambut bob itu meletakkan tangannya pada pipi Ba Da dan mencubitnya dengan gemas.
"Aaa ... tidak akan berhasil, dia membenciku." Ba Da melepaskan pelukan So Woon dan berjalan keluar untuk mencari udara segar.
Hanya saja, tubuh Ba Da seketika membeku, terasa seseorang yang lebih tinggi darinya memeluk dari belakang. Dia tidak bisa menoleh, harapannya sudah membumbung tinggi kalau-kalau orang ini adalah Min Hyun. Namun, Ba Da mengembuskan napas saat suara Kwang Gi yang justru terdengar di sana.
"Ah~ Ba Da, adik kecilku. Akhirnya setelah bertahun-tahun ...." ucap Kwang Gi mengacak rambut Ba Da gemas, gadis itu segera berbalik dan mengeluarkan dirinya dari dekapan itu.
"Jantungku hampir lepas, kau tahu?" Ba Da hampir menendang kaki pria itu, tapi Kwang Gi dengan cepat menghalanginya.
"Seorang dokter tidak boleh mengatakan hal aneh seperti itu," tegurnya dengan wajah serius, lalu kembali tersenyum cerah. "Aku sangat senang saat mendengar kabar kalau operasimu lancar."
"Kau memangnya tadi pergi ke mana?" tanya Ba Da sembari mengajak Kwang Gi kembali ke ruang istirahat para dokter.
"Aku tadi ditelepon, sebuah gedung dirobohkan dan memakan korban jiwa karena mereka menolak pergi. Kemungkinan besar korban akan bertambah, untuk saat ini aku diminta membantu tim forensik." Kwang Gi berujar sembari berjalan dengan santainya.
"Kenapa kau berlagak sangat tenang begini? Orang-orang mungkin akan mencarimu di IGD." Ba Da mendorong tubuh pria jangkung itu kembali menuju IGD, tapi badannya tidak mau bergerak.
"Sudah ada Yoong Hwa di sana, dia yang mengambil alih dengan timnya. Aku diminta untuk patroli ke pasien kelas tiga saja, katanya." Wajah Kwang Gi perlahan cemberut. "Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa orang itu mudah sekali berlaku seenaknya?"
"Kau akan terkejut kalau tahu kebenarannya." Ba Da berbisik pelan pada Kwang Gi dan matanya terbelalak.
"Maksudmu dia putra pemilik rumah sakit ini?" pekik Kwang Gi. Ba Da segera menutup mulut pria itu dan mendorongnya cepat ke ruang istirahat.
"Sudah kubilang, jaga mulutmu. Dia sengaja menutupi fakta itu karena terlalu banyak dokter penjilat yang mendekati ayahnya."
"Ayah siapa?" tanya So Woon dari belakang.
"Ayah Dokter Hwang," sahut Ba Da pelan.
"Ah, si pemilik rumah sakit, ya?"
"Kau juga tahu tentang hal itu?" Kwang Gi kembali histeris. So Woon mengangguk cuek dan kembali berbaring. "Ba Da kau harus kembali padanya dan hiduplah dengan sejahtera," lanjut Kwang Gi lagi.
Ba Da mendecak, kaki rampingnya melangkah ke arah meja kayu yang diisi berbagai macam buku. "Jika aku kembali kepadanya karena hal itu, apa bedanya aku dengan para penjilat? Menurutku, jabatan dan latar belakang seseorang tidak terlalu berpengaruh."
"Kau bisa mengatakan itu karena kau selalu bertemu dengan pria yang memiliki latar belakang yang baik, Ba Da." So Woon menginterupsi.
"Apa cuma Ba Da, kau juga bertemu dengan pria yang baik, kan, So Woon. Aku prianya, aku," sergah Kwang Gi terdengar cukup sedih. So Woon tergelak begitu pun Ba Da.
"Baiklah, kau anak baik, Kwang Gi." So Woon membuka lebar tangannya dan memeluk pria itu dengan sayang.
Sementara Ba Da menatap mereka dengan rasa hangat yang menjalar di dadanya. Dia bersyukur masih bisa bertemu dengan orang-orang yang peduli padanya seperti mereka dan Min Hyun, entah.
~oOo~
Seorang pria berambut kecokelatan berdiri di balik etalase kafe, memandangi orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Pikirannya menerawang, tanpa sengaja dia mendengarkan percakapan tidak penting, tapi cukup mengganggu pikirannya beberapa jam terakhir. Tepukan di bahu membuatnya sedikit terperanjat, dia menoleh sesaat, lalu tersenyum kecil dan kembali menatap jalanan.
"Daripada kau melamun tanpa melakukan apa pun, sebaiknya kau keringkan cangkir-cangkir yang sudah kucuci itu," ucap gadis manis di sampingnya.
"Eum~ baiklah," jawab pria itu seadanya.
"Kau ada masalah apa lagi sekarang, Jae Min?" Pertanyaan itu meluncur mulus dari mulut gadis itu.
"Min Joo, kau pasti sudah tahu, kan? Siapa lagi yang bisa membuatku pusing seperti ini?"
"Dokter Kwon?"
Jae Min mengangguk, dengan tangannya yang sibuk mengelap beberapa cangkir kopi, Min Joo diam dan hanya menghela napas. "Dokter Kwon sangat beruntung karena punya orang-orang yang sangat memikirkannya, ada kau adiknya, ada Dokter Yoon dan Dokter Song, mantan kekasihnya yang masih terlihat peduli. Bahkan pria yang dulu dirumorkan menjadi pacarnya itu masih sering ke sini untuk memastikan keadaanya," ujar Min Joo tampak cemburu. Jae Min tiba-tiba terkekeh mendengar keluhan gadis itu, dia tidak seperti biasanya.
"Benar, tapi dia juga sudah banyak kehilangan sebelum mendapatkan banyak cinta itu. Kau sudah melihatnya langsung selama beberapa bulan belakangan, kan?" Jae Min meletakkan cangkir-cangkir itu ke sebuah dipan. Min Joo mengangguk, dia setuju. "Eum~ Kalau kau mau aku juga bisa memperhatikanmu seperti itu," ucap Jae Min sedikit ragu.
Min Joo tertawa hambar. "Bagaimana mungkin aku mempercayai pria yang nantinya akan meninggalkanku ke Paris?" tanyanya sedikit ragu.
Jae Min menggeleng kecil. "Paris sepertinya bukan lagi tujuanku, Ba Da masih belum bisa dibiarkan sendirian dan aku juga tidak bisa meninggalkan seorang gadis lain," ucapnya menatap Min Joo dengan tulus, gadis itu tersenyum kecil.
"Baiklah, kau harus tetap berada di Korea mulai sekarang." Min Joo sedikit mengerling dengan tawa khasnya. Jae Min menatapnya gemas, tapi bayangan dua orang yang minum kopi beberapa waktu lalu meredupkan senyumnya.
"Jika kau menjadi Ba Da, siapa yang akan kau pilih, Min Joo?" tanya Jae Min tiba-tiba.
Gadis itu berpikir sejenak, dia mengusap dagunya seolah mendapati pilihan yang cukup sulit. "Karena aku tidak tahu secara pasti perlakuan dua orang itu pada Dokter Kwon, aku tidak bisa memutuskannya. Mereka memiliki kekuatan tersendiri, kau lebih baik tanyakan langsung padanya."
Jae Min sekali lagi mengangguk dan menghela napas panjang, dia bahkan menutup mata agar rasa cemas itu perlahan menghilang dari pikirannya.
"Dokter Kwon tahu yang terbaik untuknya, Jae Min. Biarkan dia sekali ini lagi, bisa saja pilihannya kali ini tepat. Jangan khawatir berlebihan," ucap Min Joo kembali menenangkan pria itu. Jae Min berusaha tersenyum dan menenggelamkan dirinya pada kesibukan kafe.
~oOo~
Min Hyun mengendarai mobilnya dengan wajah yang cukup serius. Dalam heningnya malam itu, di balik semilir angin yang berembus, tanpa sadar Min Hyun sudah jauh membawa mobilnya berkeliling. Pria ini terkejut ketika sebuah lampu jalan yang familier muncul di hadapannya. Seketika saja dia mengenang ceritanya, di bawah cahaya lampu itu dia berhenti. Ada percikan bayangan di mana dia menunggu seseorang dengan damai, membawa sebuket bunga aster putih. Min Hyun tersenyum lebar ketika melihat perempuan itu berjalan ke arahnya.
Getaran ponsel pintarnya sontak membuatnya kembali ke masa sekarang, dia menekan tombol jawab dan terdengar bisikan kecil di sana, "K-kau di mana?"
"Aku? Aku sedang di perjalanan pulang. Ada apa, Bu?" Dahi Min Hyun berkerut.
"Jangan pulang ke apartemen. Hm? Pergilah ke hotel atau semacamanya," ucap ibunya. Ada getaran dari tiap kalimat yang wanita itu lontarkan, membuat Min Hyun curiga.
"Ibu di mana?" tanya Min Hyun, tapi tak ada jawaban. "Ibu di mana?" Sekali lagi Min Hyun bertanya dengan suara yang cukup keras.
"Min Hyun ... ibu ...." Belum sempat ibunya menyelesaikan kalimatnya, terdengar seseorang sudah merebut ponsel itu darinya. "Oy! Park Min Hyun, dasar anak tidak tahu diri! Cepat jemput ibumu di apartemen atau aku hancurkan tempat ini!" Suara yang sudah tak asing itu terdengar, tak lama kemudian panggilan dimatikan.
~oOo~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top