Chapter 21 : Derana

Derana itu, ketika harus tabah dan kuat. Bukannya putus asa, bukannya pasrah pada kenyataan yang sudah terhampar. –Park Min Hyun–

Min Hyun yang masih bungkam perihal pernikahan itu membuat Ba Da tak sabar. "Aku antar kau ke kantor," ucap Ba Da mulai memasang sabuk pengamannya.

"Ey~ dasar gadis gila. Ya sudah, tidak perlu jadi temanku. Kita sepertinya memang sengaja ditakdirkan untuk saling membenci." Min Hyun menggeram sembari menarik tasnya, dia benar-benar merasa sesak dan memutuskan untuk keluar dari mobil.

Pintu itu dibanting Min Hyun dengan cukup keras, bahkan Ba Da yang ada di dalam sana sampai memejamkan mata karena terkejut. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti Min Hyun yang berjalan menjauh dari mobil.

"Park Min Hyun!" teriak Ba Da, suaranya sudah berada di puncak dan hampir hilang.

Min Hyun menoleh dan memberikan seringai kecil. "Begini, Ba Da, aku hanya ingin pulang. Kau tidak perlu mengantarku."

Alis Ba Da terangkat sebelah, dia kini benar-benar merasa aneh dengan hal yang baru saja laki-laki itu lakukan padanya. Seolah mereka sedang dalam perlombaan tarik tambang dengan perasaan mereka. Min Hyun kembali dan berdiri di hadapan Ba Da.

"Akui saja sekarang, hubungan kita ini aneh. Jika kau merasa pusing, aku juga. Jadi, kurasa lebih baik sama-sama pusing daripada hanya aku atau kau." Min Hyun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Kau menyebalkan, kau tahu itu?" Mata Ba Da menyipit, dirinya berdiri sembari berkacak pinggang. Min Hyun balas menyipitkan mata, tapi tidak lama dia tertawa cukup keras.

"Berikan aku nomor Jae Min, aku akan mengajaknya minum-minum dan mencari tahu alasannya menentangku 'berteman' dengan kakaknya." Pria itu mengulurkan ponselnya.

"Aku tidak bisa meyakinkannya, semua yang ada pada Jae Min adalah kekuatan dari dirinya sendiri. Kalau kau berhasil membujuknya, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk menjadi teman bisnismu," ucap Ba Da cuek sembari menggapai ponsel itu dan mengetikkan nomor Jae Min di sana.

"Jangan meragukan kemampuan negosiasiku. Kau sendiri sudah merasakannya, aku yakin akan mendapatkan alasan dari seorang Jae Min yang berani sekali menolakku. Sampai jumpa saat jadwal syuting produk dan pastikan kau mengosongkan hari itu untuk perusahaanku. Oh, ya. Kita bukan teman bisnis, tapi teman yang sesungguhnya." Min Hyun mengangkat tangan dan menyentuh rambut Ba Da, kemudian mengacak-acaknya pelan.

"Lepaskan!" elak Ba Da dan dengan cepat menepis lengan berotot itu.

"Oh-ho, hutangmu masih banyak, ya. Jangan berlagak sombong di depanku!" Min Hyun terkekeh pelan, "Aku pergi," ujarnya sembari berjalan mundur. Tangannya melambai dengan wajahnya yang dibuat-buat keren sampai akhirnya berbalik.

Ba Da terus memandang punggung lebar yang kian menjauh, tak terasa dia berjongkok dan memeluk kedua lututnya lagi. "Dasar Park Min Hyun sialan. Energiku selama sebulan sudah terkuras habis karenanya." Gadis inu menenggelamkan wajahnya kuat-kuat. Dia gusar, tapi ada suara tawa kecil yang muncul di sana.

~oOo~

Jae Min yang tak menyangka bahwa Ba Da akan kabur menggunakan mobilnya pun sibuk berlalu lalang menunggu kepulangan kakak perempuannya itu. Dirinya berharap, Ba Da berlari untuk pasiennya bukan pria yang mengganggunya akhir-akhir ini. Saat itu, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul.

"Halo?" ucap Jae Min.

"Kau Jae Min? Kwon Jae Min?" sahut suara berat di seberang.

"Iya, ini siapa?" tanyanya dengan polos, salah satu tangan Jae Min berada dalam saku celananya dan dia mulai mendengarkan dengan rasa penasaran.

"Aku Park Min Hyun, mari bertemu untuk membicarakan Ba Da," ucap Min Hyun to the point.

"Hm, baguslah. Aku juga punya beberapa hal yang perlu dibicarakan denganmu, mari bertemu di kedai kopi. Aku akan kirimkan alamatnya." Jae Min segera menutup telepon, tanpa sedikit pun membiarkan Min Hyun menyahut.

"Sialan, begini rasanya saat seseorang menutup telepon tiba-tiba, pantas saja Ba Da kesal saat aku melakukannya." Min Hyun mengulum senyum. "Ba Da lagi," ujarnya.

Sepersekian menit kemudian, masuklah sebuah catatan alamat dari Jae Min. Pria itu memanggil taksi dan bergegas menuju ke sana.

~oOo~

Sementara itu, Ba Da harus putar balik karena mendapat telepon dari rumah sakit. Kwang Gi kewalahan, sedang So Woon harus beristirahat untuk tiga operasi caesar keesokan hari. Gadis itu segera melangkah ke ruang khusus dokter sesampainya dia di wilayah rumah sakit, dia langsung mengganti pakaian dengan seragam operasi dan menuju IGD.

"Ba Da!" Kwang Gi melambai dari kejauhan, Ba Da segera bergerak mengikuti arahannya.

"Maaf karena aku meneleponmu saat cuti, So Woon sudah hampir pingsan dan aku benar-benar tidak tega." Kwang Gi berbisik sembari tangannya membersihkan luka di pelipis seorang paisen.

"Kenapa tiba-tiba banyak sekali pasien?" tanya Ba Da membantu Kwang Gi dengan sigap.

"Seorang magang mengucapkan kata terkutuk setibanya dia masuk, rasanya benar-benar ingin kucekik," ucap Kwang Gi mengepalkan tangannya di hadapan wajah Ba Da, gadis ini menggeleng dan tertawa pelan.

"Mereka harus diajari adab di dalam ruangan ini, atau kau mungkin akan mendapatkan banyak pasien, Dokter." Ba Da kembali tersenyum kecil dan dengan segera melangkah menuju pasien yang belum ditangani.

"Selamat malam, Nyonya. Saya Dokter Kwon, saya akan memeriksa Anda." Gadis ini mendekati seorang wanita yang berumur empat puluh tahunan, dia tampak lelah, tapi tak ada sedikit pun luka di tubuhnya.

"Apa Anda merupakan korban kecelakaan itu juga?" tanya Ba Da.

Wanita itu menggeleng, tapi masih belum mampu berbicara. Seorang wanita yang tampak lebih tua mendekat dengan mata yang sembab. "Kami hanya masyarakat sekitar yang sedang melintas saat kecelakaan itu terjadi. Putriku, dia sempat pingsan, Dokter. Lalu, saat dibawa ke sini, dia siuman, tapi sejak tadi dia belum berbicara apa pun," jelasnya.

"Baiklah, dari keterangan rekam medis ini, Nyonya dinyatakan sedang hamil tujuh bulan, ya? Apa Anda merasakan sakit atau semacamnya di bagian perut Anda?" tanya Ba Da dengan wajah yang cukup riang, tapi ekspresinya berubah saat keluarga pasien tampak terkejut mendengarnya.

"H-hamil? T-tujuh bulan? Bagaimana bisa, Dokter? Dia tidak memiliki suami," kilah si ibu pasien.

"Eh? Oh ... mungkinkah Nyonya ini memiliki seorang kekasih? Anda bisa bicarakan hal itu di rumah, untuk saat ini kami akan memeriksa kandungan dan pasien lebih lanjut. Tunggu sebentar, ya."

Ba Da mendekat ke komputer mulai memeriksa daftar pasien lain, tapi dia masih belum bisa mengalihkan pandangannya pada pasien hamil yang sedang diperiksa oleh beberapa dokter magang yang biasa membantu So Woon. Gadis itu membuka lagi rekam medis pasien dan membaca keterangan lebih detail, matanya terbelalak saat melihat bahwa wanita itu memiliki riwayat tekanan darah yang cukup tinggi.

"Permisi, biar aku periksa tekanan darah pasien," ucap Ba Da sembari memasang tensimeter pada lengan pasien.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan itu saat di perjalanan, tanda vital pasien sangat stabil, Dokter." Salah satu dokter magang tampak terganggu dengan serangan tiba-tiba dari Ba Da, tapi gadis itu menatap tajam balik.

"Sudah berapa lama itu?" tanya Ba Da.

"Saat pasien ini datang mungkin, satu setengah jam yang lalu?" ucap dokter magang itu ragu, dia melihat teman-temannya mencari pembelaan dan mereka hanya diam.

"Kalian tidak membaca rekam medis pasien? Dia memiliki riwayat tekanan darah tinggi. Seharusnya kalian lakukan pemeriksaan secara berkala dan pindahkan pasien pada ruang khusus, kenapa masih membiarkannya di sini selama itu? Kalian tidak tahu risiko apa yang terjadi, jika tekanan darah pasien naik lagi saat merasakan ketegangan di ruangan ini? Preeklampsia, pasien bisa meninggal."

Ba Da tampak serius, matanya memerah dan tangannya mengepal. Saat tensimeter berbunyi, menampilkan jumlah angka yang tidak terlalu tinggi, gadis ini menghela napas lega. "Kalian bawa pasien ini ke ruang khusus dan berikan informasi setiap jamnya sampai pasien bisa berbicara normal."

"K-kami harus menyampaikannya pada siapa?"

"Tentu saja padaku, mulai sekarang Nyonya ini pasien Dokter Kwon." Ba Da berlalu dan mengangguk sopan pada wali pasien, gadis ini melangkah keluar dari ruangan itu sejenak.

Sampailah dia di lorong yang sepi, Ba Da menyandarkan dirinya pada dinding rumah sakit sembari memejamkan mata, tangannya terlipat di dada. Dia melakukan latihan pernapasan agar perasaannya kembali normal. Namun, tampaknya hal itu menjadi sia-sia saat dirinya disapa oleh Yoong Hwa, pria paling dihindari.

"Kau tidak melanjutkan kencanmu?" ledek pria itu dengan pakaian operasinya.

Ba Da memutar bola mata dan berucap dengan dingin, "Bukan urusanmu."

"Tepat sekali, tapi kau punya hutang penjelasan denganku." Yoong Hwa kembali berusaha membuka obrolan yang cukup panjang.

"Hutang apa lagi? Semua hal sudah tampak jelas, aku sudah punya kehidupan yang baru. Kau juga carilah gadis lain untuk menemanimu, aku lihat Perawat Nam masih setia padamu, pergilah bersamanya." Ba Da mulai menarik diri dari lorong itu, tapi dengan sigap Yoong Hwa memojokkannya.

Ba Da terhenyak, bahkan dia tidak dapat menatap wajah Yoong Hwa. Pria ini semakin mempersempit jarak di antara keduanya. Yoong Hwa mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh wajah Ba Da, tapi dengan cepat gadis itu menepisnya.

"Berhenti bersikap konyol seperti ini, banyak pasien yang perlu dirawat, Dokter Hwang," tegur Ba Da, "lepaskan aku," sambungnya lagi.

"Apa kau akan berhenti mengencaninya jika kau tahu semuanya, Ba Da?" Sorot mata Yoong Hwa tampak menggelap, seolah ada kabut yang menutupinya.

"Memangnya apa? Berhenti berlagak dan katakan saja semuanya," tantang gadis itu dengan sengit. Ba Da sudah lelah dengan segala misteri yang berjalan di belakangnya.

Rahang pria itu mengeras, tangannya yang ditepis tadi dibenturkannya pada dinding hingga terdengar bunyi yang cukup keras. Mata Ba Da memicing seiring dengan tatapan tajam dari Yoong Hwa, pria ini sudah di ambang batas kesabarannya.

"Kau tahu, Min Hyun adalah pria yang sering kau hubungi terkait pasien hamil yang kau rawat dua tahun lalu. Dia pria yang sibuk dengan pekerjaannya dan membiarkan calon istrinya meregang nyawa sendirian bersama bayinya, membuatmu merasa bersalah pada hal yang sama sekali bukan kesalahanmu ...." Yoong Hwa menyeringai panjang saat melihat pupil mata Ba Da mulai bergetar.

"Dia orangnya ... dia yang menuntutmu melakukan malapraktik, meminta gelar dokter bedahmu untuk dicabut, untungnya karena aku memohon pada Ayah untuk mempertimbangkannya, gelarmu hanya ditangguhkan dan berhasil dipulihkan lagi sekarang. Kau pikir kau bisa berbahagia dengannya?" tanya Yoong Hwa penuh penekanan.

Ba Da yang mendengar kenyataan itu tak bisa menutupi ekspresi terkejutnya, paru-parunya terasa menyempit, dia mulai lupa cara bernapas dengan benar. Gadis ini menepuk dadanya dengan kuat, tapi dia tetap tidak bisa. Wajah Ba Da memerah seiring air matanya mengalir dan dia terus beringsut ke lantai. Yoong Hwa yang menghadapi hal ini pun tampak panik, dia menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, tapi tidak ada respon.

"B-Ba Da? Ba Da? Kau kenapa?" Yoong Hwa menangkup wajah Ba Da yang semakin merah, keringat meluncur di pelipisnya. Saat itu Kwang Gi muncul dan mendorong tubuh Yoong Hwa, lalu dengan tanggap mengangkat Ba Da di punggungnya.

"Jangan ganggu adikku lagi, kau bajingan!" Kwang Gi menatap tajam Yoong Hwa yang membantu di sana.

~oOo~

Sementara itu, Min Hyun yang sedari tadi berhadapan dengan kemarahan Jae Min juga sama terkejutnya, saat dia tahu kebenaran yang akhirnya terungkap.

"Jangan ganggu Ba Da lagi, kumohon. Karena peristiwa itu, dia memiliki trauma pada pasien hamil, dia bahkan tidak bisa menjadi asisten dokter saat operasi caesar karena mengalami tremor yang sangat kuat. Ba Da telah berobat ke psikiater dua tahun belakangan dan jika dia tahu semua ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya," jelas Jae Min dengan wajah tanpa ekspresinya.

"Dia menyalahkan dirinya atas semua itu?" Min Hyun menutup wajahnya saat dia melihat anggukan serius dari Jae Min.

"Tentu saja, kau yang membuatnya merasa bersalah. Sekarang ... ini menjadi pilihanmu. Pergi, menghilang dan lupakan kesepakatan konyol itu atau menambah luka pada Ba Da. Sebagai adik Ba Da, aku memintamu untuk memilih yang pertama. Kau hanya perlu uang, kan? Akan segera kukirimkan." Jae Min membuka ponselnya dan meminta pria itu untuk mengisi nomor rekening milik Min Hyun.

Min Hyun sendiri masih dalam keadaan panik, dia tidak bisa berpikir lurus, tapi hatinya sendiri sudah tak sanggup. Baginya, cukup satu wanita saja yang menjadi korban keegoisan dirinya akibat perusahaan. Dia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama pada wanita, yang entah sejak kapan terasa begitu istimewa.

"Baiklah, aku akan berikan waktu untuk pembaya-"

"Tulis saja nominal yang kau mau di sana, aku bisa melunasinya malam ini. Aku mungkin terlihat kumuh, tapi aku punya restoran besar di Paris," potong Jae Min segera, dia melipat kedua tangannya di dada sembari menyilangkan kedua kaki.

Min Hyun menarik ponsel itu dan mengetikkan nomor rekeningnya, sampai di laman nominal transfer, jari pria itu berhenti. Ada jeda panjang, hingga dia meletakkan kembali ponsel Jae Min ke atas meja.

"Tidak perlu, semua kontrak itu akan kuanggap tidak sah. Lagipula sepertinya, kedua pihak sudah melanggar kontrak dari awal. Karena pembicaraan kita sudah selesai, izinkan aku undur diri, permisi." Min Hyun menarik slingbag-nya, memasukkan kedua tangannya pada saku celana dan melangkah pergi, tanpa sedikit pun menoleh.

~oOo~

Min Hyun kini berbaring di kasurnya dengan perasaan sesak, panggilan dari Sekretaris Moon tampak muncul berkali-kali, tapi tidak diacuhkan olehnya. Semua berkas yang tersusun rapi di atas meja membuatnya geram, tanpa memikirkan jahitan itu bisa terbuka lagi, dia tidak peduli kalaupun mati karena kehabisan darah. Min Hyun mendorong semua berkas itu ke lantai diiringi desahan kekesalannya yang sudah memuncak.

"Kenapa aku begitu bodoh saat mengambil sebuah keputusan?" lirihnya sembari terduduk ke lantai marmer yang dingin.

Pria ini membuka dompetnya, mencari di sela-sela kartu kreditnya, sebuah foto lama saat dirinya masih di Amerika. Saat-saat itu meluncur mulus ke permukaan, ketika dirinya diledek dan mendapatkan kata-kata rasis karena garis keturunannya. Gadis yang terlihat lebih dewasa dari usianya itu segera menariknya menjauh dan hal itu menjadi sebuah awal, Min Hyun menggantungkan harapannya dan rasa cintanya pada seseorang.

Kedua sejoli itu menjalin hubungan, walau ayah dan ibunya tidak menyetujui hubungannya dengan gadis yatim piatu yang dibawa kabur ke Amerika oleh orang tak bertanggung jawab. Mereka justru semakin kuat, bahkan mampu membuat Min Hyun bangkit untuk membangun perusahaannya sendiri tanpa andil besar dari ayahnya. Namun, suatu hari di tahun 2017, gadis ini pergi.

Min Hyun terhenyak sesaat dan teringat kembali gadis itu menangis dengan penuh penyesalan, sembari membawa perutnya yang sudah besar di 2018. Hingga Min Hyun menerimanya kembali, mengumumkan tanggal pernikahan mereka. Namun, dirinya sendiri belum mengumumkan siapa calon mempelai wanitanya, dia merahasiakannya sampai wanita itu melahirkan di akhir 2018. Hanya saja, Tuhan memiliki takdir lain untuk mereka.

"Aku kehilangan cinta pertamaku dengan konyol, aku bersikap derana, tabah, tapi sampai disaat aku mulai mencintai lagi, ternyata aku sudah menyakitinya lebih lama dari pada saat aku mencintainya." Min Hyun memeluk lutut dan air mata penyesalan itu meluncur mulus di pipinya.

"Mengapa pertemuan singkat ini, bisa menjadi pintu cerita panjang yang sudah terkubur rapi? Kenapa baru sekarang? Kenapa di saat aku sudah begitu nyaman dengannya?" -Ba Da & Min Hyun-

~oOo~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top