Chapter 18 : Time Between Us

Min Hyun dan Ba Da masih duduk di anak tangga itu dalam diam, sampai akhirnya ponsel Min Hyun berdering dan menampilkan nama Sekretaris Moon di sana

"Ada apa?"

"Waktu makan siang, Presdir. Para karyawan mengajak Anda untuk makan bersama, apa Anda mau ikut?"

"Pergilah, nanti aku menyusul." Min Hyun menutup ponsel tanpa sedikit pun membiarkan Sekretaris Moon menjawabnya.

"Berhenti melakukan hal itu," tegur Ba Da.

Min Hyun menatapnya heran, mencari alasan gadis itu bicara dengan menampilkan kebingungan dari wajahnya.

"Menutup panggilan telepon seseorang secara sepihak. Kau tahu? Mungkin saja orang yang di sana masih ingin menanyakan hal yang lain, selain tidak sopan itu hanya akan membuat hubungan kalian semakin canggung," tegur Ba Da dengan wajah yang masih tertekuk.

"Jadi, aku tidak boleh menutup telepon lebih dulu?" tanya pria ini. Ba Da mengangguk, Min Hyun hanya tersenyum kecil.

"Baiklah. Kalau nanti kau meneleponku, aku akan menunggu sampai kau menutup teleponku lebih dulu. Maumu seperti itu, kan?" Min Hyun tersenyum, bermaksud menggoda gadis di sampingnya.

"Bukan ... em, jelas kau tidak boleh menutup teleponku. Tapi, bukan cuma aku, mungkin orang lain seperti Sekretaris Moon atau orang tuamu, atau klienmu. Ya ... bukan tanpa alasan, agar orang-orang tidak hanya menghormati di hadapanmu saja, tapi juga di belakangmu." Ba Da akhirnya meluruskan punggung dan menatap Min Hyun dengan tegas.

"Kenapa? Apa kau khawatir padaku?" tanya Min Hyun tiba-tiba, hatinya sedikit kaget saat mendengar kalimat yang terdengar bersimpati itu keluar dari mulut Ba Da.

"Aku sering menonton drama, sepertinya menjadi Presiden Direktur sangat sulit. Banyak yang ingin mengambil alih kekuasaanmu, merencanakan kematianmu dan banyak hal lainnya." Ba Da menjelaskan dengan nada polos, sesekali ikatan rambut tinggi itu bergoyang seiring suara naik turun Ba Da muncul.

Min Hyun tertawa sangat nyaring, hingga tempat itu menggemakan suara beratnya. "Hey, ini perusahaanku. Aku pemiliknya, tak akan ada yang berani menyentuhku, apalagi menyakitiku. Kalau sampai itu terjadi, perusahaan ini akan menghilang. Kau mengerti?"

Ba Da hanya ber-oh ria, bibirnya maju karena menyesal sudah mengkhawatirkan orang ini.

"Ba Da, aku menyukaimu."

Gadis itu sekali lagi terkesiap, dia memandang Min Hyun yang wajahnya tak jauh darinya. Detak jantung keduanya seolah terdengar lebih nyaring dari biasanya, tapi hal itu hanya bertahan sesaat saja.

"Kau orang yang sepertinya bisa menjadi teman yang lucu," lanjut Min Hyun sambil tertawa bangga karena berhasil membuat gadis itu mematung.

"Sialan kau, Park Min Hyun," batin Ba Da.

"Baiklah, kekesalanmu sudah hilang, bukan? Mau ikut makan siang dengan kami?" Min Hyun berdiri dan membersihkan debu yang ada di bokongnya.

"Ah~ itu yang aku tunggu-tunggu dari tadi, sepertinya mood-ku hancur karena aku kelaparan." Ba Da tertawa garing, dia merasa canggung. Namun, Min Hyun hanya ikut tertawa sekenanya dan berjalan mendahuluinya.

"Min Hyun!" ucap Ba Da sedikit berteriak. Pria itu menoleh. "Aku juga suka menjadi temanmu," sambungnya lagi.

Keduanya tersenyum dan berjalan beriringan menuju tempat mereka makan siang hari itu.

~oOo~

Karyawan Anshon Group sudah berkumpul di sebuah meja panjang, mereka hari ini memilih menu masakan Korea dengan sup kimchi sebagai hidangan utama, ayam goreng dan beberapa olahan mie telah di pesan oleh masing-masing karyawan.

Min Hyun dan Ba Da datang sedikit terlambat, tapi karena mereka datang beriringan membuat para karyawan bersorak riuh. Keduanya pun sempat membeku di depan pintu, sampai akhirnya dipersilakan duduk. Sekretaris Moon tampak sibuk mengatur meja untuk mereka.

"Maafkan saya, Dokter Kwon. Pesanan Anda belum dibuat karena saya tidak tahu makanan kesukaan Anda." Pra setengah baya itu meringis.

"Tidak apa-apa, Sekretaris Moon. Aku hanya perlu ... ini saja, ayam goreng," ujarnya lembut sembari diiringi senyum yang sangat manis.

Semua orang sudah mulai menyantap makan siang mereka, kecuali Ba Da. Min Hyun pun bersiap menyendok makanan ke mulutnya.

"Presdir, apa kalian berdua berkencan?" Seorang karyawan menginterupsi di tengah dentingan sendok yang sibuk sedari tadi.

Ba Da dan Min Hyun terkesiap, kemudian saling pandang. Mereka tiba-tiba merasa terpojokkan oleh tatapan semua orang. Ba Da menelan ludah, seperti de javu, mengingat dirinya pernah berada di situasi ini tempo hari. Tangan gadis itu mulai menarik-narik ujung kemejanya lagi.

"Itu bukan urusan kalian, harusnya yang kalian pikirkan sekarang hanya tentang produk baru." Min Hyun menjawab dingin, tapi karyawan yang bertanya tadi masih keukeuh menanyakannya.

"Ey~ Presdir. Tidak perlu malu pada kami, kami juga sangat senang jika Presdir segera menikah. Benar, kan? Iya, kan?" ujarnya mencari dukungan dari pegawai lain, yang lain ikut mengangguk-angguk saja.

Ekspresi Min Hyun berubah total, matanya seolah mulai memunculkan aliran listrik dan rahangnya tampak mengeras. Bagi siapa saja yang melihat itu, pastinya tak akan berani lagi bersuara, tapi si karyawan dengan mulut lemas itu masih saja tertawa berusaha menggoda Park Min Hyun. Dia memilih target yang salah.

Pria itu hampir berdiri dan menggebrak meja, tapi dengan cekatan Ba Da menggenggam tangan Min Hyun. Dia terduduk kembali dengan perasaan terkejut, secara refleks pria ini menatap Ba Da. Gadis itu menggeleng, menyuruhnya untuk menahan amarah.

"Permisi, Tuan Belum Kenal. Apakah Presdir Park Min Hyun pernah menanyakan tentang kehidupan asmara Anda sebelumnya? Wah, kalian pasti sangat dekat sampai bisa menanyakan hal pribadi seperti ini." Gadis itu berbicara dengan nada takjub, lebih seperti menyindir.

Karyawan itu terdiam, karena mendapat pertanyaan langsung dari Ba Da. "T-tidak, Dokter."

"Benarkah? Wah, sayang sekali. Coba sekali-kali kau ajak karyawanmu minum dan makan malam, Presdir. Supaya kalian bisa lebih dekat," ujar Ba Da.

"Ah~ tidak, mana berani saya minum bersama Presdir," balas pria itu cepat-cepat, matanya melirik Min Hyun.

Park Min Hyun hanya mendengkus kesal dan hanya diam. Tangannya masih ada dalam genggaman Ba Da, ini sama persis seperti yang ia lakukan kemarin. Tangan itu seperti es, dia tidak meleleh karena panas, justru lebih kuat dan membekukan amarahnya.

Obrolan terhenti saat pesanan Ba Da disajikan, Ba Da bersorai dengan gembira. "Woah, chicken!"

Mendengar sorakan Ba Da yang terdengar polos membuat Min Hyun tertawa renyah. Senyuman yang belum pernah terpampang nyata, ada sedikit bayangan lesung yang muncul di pipi kirinya. Para karyawan di sana memandang hal itu dengan rasa syukur, seperti baru saja mendengar tawa malaikat yang begitu indah.

~oOo~

Selesai makan siang bersama, gadis berambut kuncir kuda itu bergegas membubarkan diri untuk pergi ke toilet, ada sebuah pesan penting yang baru saja dikirimkan oleh adiknya. Para karyawan sudah beranjak sekitar sepuluh menit yang lalu, hanya tersisa seorang pria dengan kemeja dan jas yang tersampir di tangannya. Dia bersandar pada dinding di samping pintu kaca di restoran itu.

Setelah keluar dari toilet, Ba Da menarik totebag ke bahu kurusnya. Berjalan mendahului Min Hyun keluar dari tempat tadi, seolah mengabaikan bahwa ada yang sedang menunggunya.

"Apa alasan kau menggenggam tanganku seerat itu tadi?" Suara beratnya menerka-nerka, dia berlari kecil agar bisa menyeimbangi langkah gadis di depannya.

"Kau juga melakukannya tempo hari."

"Waktu itu bajumu hampir robek karena kau menariknya terus-terusan, tapi kau ...." Pria itu kini berdiri di hadapannya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Wajah jahilnya tiba-tiba muncul.

"Dengar, ya? Jangan terlalu percaya diri, aku hanya sedang menyelamatkanmu dari insiden pemukulan pada karyawan sendiri," ucap Ba Da mendelik pada pria jangkung ini.

"Kau pikir aku sekejam itu?" Min Hyun memajukan wajahnya dan menyamakannya dengan Ba Da

Gadis itu menyeringai. "Ya, kulihat tanganmu mengepal dan kilatan matamu seperti ingin memakannya hidup-hidup."

"Aku tidak marah. Ya ... aku memang kesal, tapi otakku masih bisa mengontrol tubuhku." Mata Min Hyun menyipit seolah bisa membaca pikiran Ba Da. "Ey~ kau tipe orang yang suka memanfaatkan situasi, ya?" godanya.

Ba Da yang merasa terpojok tiba-tiba merasakan panas mengaliri wajahnya, rasa kesal dan sedikit malu kini berkecamuk di hatinya.

"Sialan kau, Park Min Hyun!" bentak gadis ini, dia bahkan menghentakkan kaki saking geramnya.

"Oh, kau kembali pada Kwon Ba Da yang kasar," tawa Min Hyun menggema.

Orang-orang di sekeliling mulai memperhatikan mereka, mata Ba Da berpendar ke sana kemari, gadis ini berkacak pinggang dan mengambil ancang-ancang.

"Park Min Hyun ... Park Min Hyun!" bentak Ba Da sekali lagi, menghentikan suara tawa renyah itu. Min Hyun menatapnya lekat, air mukanya bingung dengan sikap berubah-ubah Ba Da.

"Aku mohon, jangan merasa nyaman denganku," desus Ba Da, tiba-tiba saja atmosfir kebahagiaan itu berubah. "Aku tahu kata-katamu di tangga tadi hanya sebagai penghibur, tapi kupikir semua ini agak sedikit kurang tepat untuk kita," lanjutnya.

Min Hyun terdiam, dia memalingkan wajah. Pikirannya sekarang sedang berselancar untuk memproses kalimat yang baru saja Ba Da sampaikan, dia mengangguk pelan. "Benar, ini aneh. Aku ...."

"Anggap saja semua yang kita katakan di tangga, sikap kita yang saling menenangkan dan pernyataan untuk berteman tadi, hanyalah salah satu dari bonus saat menyetujui kontrak untuk produk ini."

"Jadi, hubungan pertemanan kita dibatalkan?" Min Hyun bersuara ragu.

Ba Da mengangguk pasti, tetapi tampak jelas dari binar matanya yang seolah meredup. Begitu pun wajah semringah Min Hyun menghilang digantinkan dengan ekspresi kalut, keduanya diam lagi untuk beberapa waktu. Jeda ini berbeda dengan yang mereka rasakan sebelumnya.

"Apa kau sedang main tarik-ulur denganku, Kwon Ba Da?" batin Min Hyun meronta. Tapi dia juga mengamini kalimat Ba Da tadi, ini sudah di luar batas kontrak yang sudah mereka tanda tangani. Mereka tidak boleh merasa nyaman satu sama lain.

"Benar, kita hanyalah dua orang asing yang terikat karena sebuah kontrak. Kita tidak boleh terbiasa dengan kebetulan aneh ini, karena kita hanya akan berakhir menjadi orang asing, betul, kan?" Min Hyun berucap datar.

"Ya, begitulah. Makanya kau ...." Ba Da menatap Min Hyun yang kini tiba-tiba membalikkan badan.

"Baiklah, aku akan bersikap keji saja padamu. Mengingat hal yang kukatakan tentang pernikahan itu, mari masukkan ke dalam kontrak." Min Hyun masih berbicara memunggungi Ba Da yang langsung dibuat ternganga.

Langkah pendek gadis itu membawanya kembali ke hadapan Min Hyun yang membuang muka. "Bukannya kau bilang kita tidak akan menikah? Kau menyalahi kontrak, Park Min Hyun. 'Tidak ada perasaan cinta', itu poin pentingnya."

"Siapa bilang aku menikahimu karena cinta? Lagipula, orang-orang sekarang tidak memerlukannya, yang mereka perlukan adalah kesepakatan dan kita sudah membuatnya. Kau dengan lancang membuatku menjadi kekasihmu, berarti tentu aku bisa mengganti kontrak itu menjadi pasangan suami-istri."

Min Hyun membalas tak kalah sengit, Ba Da menggeram dan matanya mulai memerah menahan kekesalan yang muncul semakin dalam.

"Dua ratus juta won, bukan? Aku akan mengembalikan setengahnya, tapi kita tidak perlu menikah. Kontrak ini menyebalkan." Ba Da semakin tak kuasa, tapi Min Hyum hanya menatapnua datar.

"Pulanglah, urusan kita sudah selesai. Aku akan mengabari pertemuan untuk produksi dan segala perizinanmu sebagai brand ambassador ke pihak rumah sakit hanya melalui Sekretaris Moon, selebihnya kita tidak perlu bertemu lagi," ucap pria itu sembari mengambil langkah besar.

Perlahan tubuh jangkung itu menjauh, Ba Da hanya bisa menatap punggung lebar itu dengan ekspresi yang dia sendiri bahkan tak mengerti. Gadis itu pun mengambil langkah berbeda, kembali ke rumah, tempat paling ingin dia datangi sekarang.

~oOo~

Dua pria dengan outfit berlawanan warna itu masih saling pandang, satunya menyeringai dan satunya lagi tertawa pongah. Pria dengan apron hitam itu menarik kursinya dan berlalu pergi tanpa sedikit pun menoleh pada orang di hadapannya.

"Benar-benar kau Kwon Jae Min, keluarga mereka ini tidak pernah diajari sopan santun atau bagaimana?" protes pria berjas putih itu, lalu pergi dari tempatnya duduk setelah tiba-tiba mendapat panggilan darurat.

Kwon Jae Min yang sudah meninggalkan tempat hanya bisa diam di balik meja kasir, pandangannya kosong seolah jiwanya tidak bersatu dengan raganya. Min Joo yang dari tadi memperhatikannya pun mendekat dan menepuk bahu tegap itu.

"Kau kenapa?" ucapnya menyelidik.

Jae Min mengedikkan bahu, ia mengembuskan napas seolah hidupnya benar-benar hampa.

"Apa ini tentang Dokter Kwon lagi?" Min Joo masih berusaha menggali informasi.

"Iya, aku ... lelah sekali rasanya. Sekarang, seolah aku yang menjadi kakak, dengan tanggung jawab atas kebahagiaan dan masa depan adiknya." Jae Min menarik diri dari kasir dan perlahan memasuki gudang berisi kulkas besar dipenuhi dengan cake.

Min Joo yang melihat hanya bisa menggeleng, menatapnya kasihan sekilas dan kembali pada pekerjaannya. Jae Min sendiri sibuk dengan ponselnya mengirimkan pesan pada kakaknya itu dengan wajah yang super lelah.

~oOo~

Sekretaris Moon bergidik ngeri mendengar sebuah benda terjatuh di dalam sana. Entah apa yang sedang dilakukan Park Min Hyun sejak tadi, tapi roman-romannya dia tak ingin diganggu siapa pun. Sekretarisnya ini sudah hafal dengan temperamen buruk pria itu. Dia justru agak khawatir karena Min Hyun akhir-akhir ini terlihat stabil, hanya saja sepertinya hari ini dia sedang nahas.

Pria setengah baya itu menggigit ujung kuku, takut, khawatir dan lainnya. Sudah lama dia bersama Park Min Hyun, bahkan sebelum si Presdir ini dilahirkan di keluarga kaya ini, dia sudah bekerja di sana sebagai supir Tuan Park. Perlu dua puluh tahun untuknya mengabdi hingga mencapai posisi ini, tetapi seperti ada rasa penyesalan di sana.

"Sekretaris Moon, cepat masuk!" Suara berat itu memberi perintah lewat telepon kantor yang ada di atas meja kerjanya.

Tanpa pikir panjang dia membuka pintu besar di hadapannya, Sekretaris Moon bisa bernapas lega karena kali ini tak banyak benda yang berjatuhan seperti sebelumnya.

"Mulai saat ini, semua informasi dari tim produksi untuk Dokter Kwon, kau yang menyambungkannya." Min Hyun berbicara di posisinya yang sedang duduk di kursi kerja.

"Oh? Bukankah waktu itu Anda bilang akan menyampaikannya sendiri?" Sekretaris Moon berusaha memutar kembali ingatannya.

"Lakukan saja apa yang kukatakan." Kursi itu berputar dan menampilkan wajah tajam lelaki tampan itu.

Bulu kuduk pria setengah baya yang berdiri dengan degup jantung kencang itu meremang. Dia sangat sadar laki-laki di hadapannya ini tidak dalam keadaan terbaiknya, lagi. Ya ... padahal baru saja dia mendengar tawa bahagia itu meluncur dengan santai dari mulut Park Min Hyun, hanya saja tampaknya suasana hati lelaki itu sudah berubah dalam waktu singkat.

"Dia mengidap bipolar atau apa?" batin Sekretaris Moon menginterupsi, tapi dia buru-buru menepisnya.

"Baiklah, Tuan. Ngomong-ngomong, apa Anda perlu sesuatu untuk menenangkan pikiran?"

Min Hyun melirik Sekretaris Moon lewat ekor matanya, pria dengan banyak keriput di wajahnya itu tampak gemetaran. Dia baru saja menyadari, Park Min Hyun yang lama muncul kembali. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya, tampak dia sedang memikirkan sesuatu sekarang.

"Maaf, aku harus pulang." Dia bergegas menarik jas dan kunci mobilnya. "Aku akan menyetir sendiri," ujarnya lagi.

Sekretaris Moon hanya membukuk saat pria jangkung itu berlalu. Saat sudah seperti ini tak ada untung baginya untuk menahan langkah Min Hyun, yang ada mungkin dia akan mendapat semprotan amarah habis-habisan.

"Memikirkannya saja sudah membuatku merinding," gumam pria berkacamata itu.

Park Min Hyun terus melangkah, beberapa karyawan tersenyum dan membungkuk hormat padanya, tapi pria itu bahkan tak sedikit pun menggubrisnya. Banyak dari mereka yang baru saja ikut makan siang merasa aneh dan berbisik pelan melihat bos mereka yang menampilkan ekspresi berbeda seharian itu.

Dia menahan napas, ada sesak di dadanya. Min Hyun kini berdiri dalam elevator khusus. Kesal? Malu? Perasaan tanpa nama itu muncul di hati membuatnya begitu frustrasi. Ada kegilaan yang berkecamuk, tetapi dia tidak bisa menafsirkan itu sebagai rasa cinta. Dia tahu pasti rasa cinta yang dia miliki, tak akan pernah berpaling pada siapa pun.

Sesaat, pantulan wajahnya pada dinding kaca elevator mengingatkannya pada sosok yang termenung di belakangnya beberapa saat yang lalu. Lagi, dia menepis bayangan itu dengan menggigit bibir bawahnya dan menggaruk pelan pelipisnya.

"Ini bukan kesepakatan yang aku harapkan, Kwon Ba Da. Ini seperti kegilaan tanpa akhir," gumamnya sendirian.

Pintu terbuka menampilkan beberapa orang sedang berlalu-lalang, kaki jenjang Min Hyun melangkah keluar. Tentu saja semua orang terkesiap dan langsung memberikan bungkukan hormat padanya.

"Benar, aku sudah menjadi monster sejak dulu. Kegilaan kecil seperti ini tak akan menggoyahkanku." Dia membatin dengan sudut mulutnya tertarik sedikit.

Langkah itu menghantarkannya terus ke dalam mobilnya dan membelah jalanan tanpa ada perasaan ragu sedikit pun.

~oOo~

Jae Min kini sudah berada di pekarangan rumah mereka, setelah sebelumnya menyusun kalimat demi kalimat untuk menjelaskan isi pesan teks yang dikirimkannya beberapa jam yang lalu pada Ba Da. Sejujurnya dia merasa sedikit bersalah, tetapi setelah mendengar kisah dari Yoong Hwa ... dia sudah tidak bisa menahannya.

Suara pintu terbuka membuat Ba Da yang sibuk di depan televisi melompat dan memelototi orang yang ada di hadapannya, yang ditatap hanya buang muka dan melangkah masuk. Ba Da menghentikannya, dia melipat tangan di dada sambil memberikan ekspresi 'cepat katakan alasannya' bercampur kesal.

"Aku mau mandi, tunggu saja."

Pria itu berlalu dan membuat Ba Da tertawa pongah, gadis itu kembali duduk di sofa dan menunggu dengan tenang.

Dua puluh menit kemudian, Jae Min keluar dari kamar mandi lengkap dengan kaus dan celana pendeknya, rambutnya sedikit basah karena habis keramas. Ba Da sekali lagi menatapnya tajam dan Jae Min akhirnya menyerah, dia duduk tepat di samping gadis itu dan mulai mengatur napas.

"Kau sudah mengakhiri kisah cinta palsumu itu?" Jae Min berbicara pada Ba Da, tetapi matanya lurus ke televisi.

"Aku hanya membuatnya tidak nyaman padaku dan memberi batasan," jawab Ba Da.

"Kenapa? Sudah kubilang, kan? Jangan berurusan dengannya atau kau nanti akan terluka." Jae Min kini menghadap Ba Da dan mengeluarkan ekspresi super kesalnya.

"Apa? Alasannya apa?" Ba Da terdengar frustrasi.

~oOo~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top