tujuh belas

"Aku pasti salah dengar, aku pasti salah lihat."

Pemuda usia belasan itu berlarian di bandara, melewati anak tangga eskalator dengan tergesa. Beberapa orang yang menghalangi larinya di tepis sehingga mau tidak mau menepi dengan wajah kesal.

Bandara cukup ramai hari itu. Ini menjelang tahun baru, jadi banyak keluarga yang akan melakukan perjalanan panjang.

Seperti ibunya. Dia akan berpergian hari ini, meninggalkan ayahnya dan dirinya. Parahnya, ibunya akan pergi bersama pria lain.

Dia tanpa sengaja mendengar percakapan rahasia itu. Antara ibunya dan seseorang. Tentang rencana melarikan diri bersama.

Dia bukan lagi bocah kecil yang tidak mengerti arti tiap kata yang dia dengar. Atau arti desahan yang dia dengar di balik pintu kamar utama setiap kali ayahnya pergi bekerja. Atau alasan ibunya yang mengatakan, "Dia hanya seorang teman." Padahal pria itu keluar dari kamar dengan wajah puas, dan ibunya muncul dengan wajah memerah.

Demi Tuhan! Dia sudah berusia lima belas tahun.

Pemuda itu celingak-celinguk, menatap jeli tiap antrian manusia yang mencoba masuk untuk check-in atau boarding.

Tidak lama matanya terhenti pada seorang perempuan berambut kecoklatan yang terlihat anggun, bahkan meski tampak belakang seperti ini dia dapat mengenalinya. Itu wanita yang melahirkannya, wanita kepercayaannya sejak saat lahir, wanita yang menjadi panutannya, yang menjadi patokkannya dalam menentukan tambatan hatinya. Itu ibunya.

Yang dilihatnya selanjutnya tidak menyenangkan. Seorang pria muda nampak melingkarkan tangan kekarnya di pinggang ibunya. Sesekali tangan itu bergerak menggelitik atau mengelus punggung ibunya. Lalu berbisik dengan bibir yang menyentuh telinga ibunya. Dan dengan tidak sopannya mencium telinganya, pipinya, lalu bibirnya.

"Pengkhianat!" geramnya. Lalu dengan marah dia mempercepat langkahnya, semakin dekat dengan pasangan yang membuatnya muak itu. Menepis puluhan orang yang menghalangi langkahnya dan ketika dia sudah dekat, dia menarik tangan yang menyentuh dan memeluk ibunya tanpa ijin. Dan tanpa ampun menghantamkan kepalan kencangnya ke bibir yang dengan lancang berani mencium ibunya itu.

Ibunya tercengang dan berteriak histeris demi melihat pria itu ambruk.

"Itu karena kau jatuh dalam perangkap ibuku, pria bodoh!"

Lalu dia menatap ibunya, dan meludahi wajahnya kasar...

"Itu karena kau begitu murah, pengkhianat!"

*******

Daniel POV

Aku menatap Kin, perempuan yang saat ini tertidur dalam pelukkanku. Dan aku bersyukur karena aku berhasil menjaga martabatku sebagai lelaki, dan kepercayaannya sebagai perempuan.

Aku sudah menganggap perempuan ini sebagai wanitaku. Milikku. Sejak aku melihatnya pertama kali. Sejak dia terlihat kikuk dengan roknya, dan ketika begitu pecaya diri menggenggam tanganku saat berjabat tangan. Saat wajahnya merasa canggung karena kata-kata dan tatapanku yang menggoda, saat dengan beraninya berteriak dan menolakku. Dan semakin semakin menyukainya saat dia mengatakan kalau dia, tidak suka terikat. Kami sama!

Aku sudah tau, kalau perempuan ini adalah seorang yang tepat untuk kujadikan pedampingku. Tidak, bukan untuk menikah. Tapi untuk berbagi ketidakwarasan kami. Berbagi kesepian, berbagi kesakitan dan berbagi rasa ketidakpercayaan. Aku bahagia, menemukannya. Seseorang yang tidak waras, sama sepertiku.

Kin tiba-tiba menggeliat dalam dekapanku. Matanya mengerjap-ngerjap, dia sungguh cantik. Sebagai perempuan, visualnya sungguh sempurna.

Matanya terbuka dan menyipit berusaha menatapku. Aku bisa mencium bau rambutnya yang beraroma mint menyegarkan. Aku menyukainya.

"Kau sudah bangun?" tanyaku lembut sambil membelai pipinya. Dia tidak menjawab, hanya mendesah pelan sebagai jawaban yang kumengerti.

"Apa kau sudah tenang?" tanyaku lagi. Kin mengangguk pelan. Matanya membulat ke arahku. Aku benar-benar menyukai wajahnya saat ini. Benar-benar terlihat polos.

"Aku membuatmu takut ya semalam?" Aku menyunggingkan senyumku, "Kau juga membuatku takut," ucapku lagi.

"Kau terlihat kejam." Suara Kin terdengar memikat di telingaku. Suaranya terdengar seperti desahan yang memabukkan untukku. Karenanya, aku begitu marah ketika dia mendesah di hadapan Ryu tempo hari. Apapun alasannya!

"Dan kau terlihat...panik, depresi. Kau menangis sampai seperti mau mati," keluhku bergidik.

Kin terkekeh.

"Rasanya memang seperti itu, asal kau tau." Kin tersenyum. Itu menggemaskan.

"Aku ingin sekali menciummu," keluhku berharap. Aku sudah sekian lama menahan diri. Rasanya saat ini, hanya berdua, di tempat tidurku. Aku tidak bisa lagi menahannya. Tapi masalahnya, aku sudah berjanji hanya akan menyentuhnya dengan ijinnya.

Kin mengangkat alisnya, menatapku heran.

"Kau tidak melakukannya?" tanyanya sambil melirik ke balik selimut. Aku memang mengganti pakaiannya, tapi aku melakukannya dengan penuh pertahanan.

"Aku bukan yang seperti itu," desisku.

"Itu salahmu," desisnya bernapas di leherku sambil memainkan jarinya di dadaku, di atas kaos putihku.

Fix! Dia menggodaku. Jadi aku menarik dagunya dengan tanganku, mendekatkan nya ke wajahku. Dia mendongak menatapku.

"Aku ingin menciummu," ulangku. Aku merasakan napasku sendiri memburu. Aku menginginkannya.

"Kau menyukaiku." Dia menilai, "Apa kau mulai mencintaiku?" tanyanya dengan napas yang terputus-putus. Aku yakin dia juga menginginkannya.

"Tidak," jawabku pasti. "Aku tidak akan mencintaimu." Aku meniup wajahnya pelan.

Dia tersenyum kemudian memejamkan matanya. Wajahnya mendongak lebih tinggi berusaha mencapai wajahku. Bibirnya membuka, merekah dengan sempurna.

Aku terpacu. Jantungku berdebar dua kali lipat lebih cepat. Aku terlalu bahagia melihatnya menyerahkan bibirnya padaku.

Aku menelan ludah demi melihat pemandangan indah di depanku.

Perlahan aku mengarahkan tanganku ke bibirnya, memainkan ibu jariku di atas bibir indahnya, menggerakkannya lembut ke kanan dan ke kiri, membiarkan napasnya memburu. Aku suka mendengarnya mendesah, mengharap lebih.

Perlahan aku menekan bibirnya dengan bibirku. Aku berusaha melakukannya selembut mungkin. Perlahan ... pelan... aku ingin menikmati bibirnya lama. Aku ingin dia tau kalau aku tidak akan menyakitinya.

Dan ketika aku menarik bibirku untuk sebentar menatapnya, aku melihat wajah itu memerah dengan mata yang masih menutup. Dia terengah. Aku menyukai pemandangan ini.

Demi Tuhan, perempuan ini sempurna!

Aku kembali meraih bibirnya dengan bibirku, menciumnya dengan lebih dalam, lebih intents, lebih menuntut. Aku menginginkannya saat ini lebih dari apapun. Lebih dari keinginanku melupakan ibu kandungku. Lebih besar dari keinginanku agar Sara bisa mati lebih cepat!

Tapi apa ini? Kin mendadak menarik bibirnya. Membiarkan hasratku menggantung tanpa penyelesaian. Aku membuka mataku dan melihatnya sudah berdiri di sisi tempat tidur dengan kemejaku yang nampak kebesaran di tubuhnya. Matanya membelalak menatap nanar.

"Ada apa?" tanyaku masih terengah. Aku masih berusaha kembali pada kondisi normalku.

"Alessandria," Kin berkata nyaris mendesis. "Namanya, seperti nama ibuku. Dia memata-mataiku, aku rasa dia gila..atau mungkin aku yang gila."

Aku menatapnya kebingungan. Lalu bangkit dari tidurku, berdiri dan mendekatinya.

"Ada apa sebenarnya?" tanyaku lagi setenang mungkin. Aku tidak ingin dia menjadi panik. Terakhir kali dia panik dan ketakutan -yaitu semalam- yang terjadi adalah dia kejang kemudian pingsan.

"Apa menurutmu dia benar-benar ada? Apa kau tidak merasa aneh ketika dia mulai memanggilmu, Daddy?" Kin bertanya tanpa jeda berarti dalam kalimatnya.

"Alessandria," kataku pelan, "Bagiku dia nyata. Seperti kamu, aku melihatnya ada."

Kin menatapku, memandangku lega.

"Maksudmu, aku tidak gila bukan?" tanyanya lagi sambil membenamkan dirinya dalam pelukkanku.

Aku menarik napas panjang. Aku sebenarnya memiliki teori yang lain.

"Atau-- mungkin kita yang sama-sama sudah tidak waras?"

Well, dia sudah mengatakannya. Dia mengamini teori di pikiranku. Kami mungkin saja memang sudah sama-sama gila. Bagiku, Alessandria nyata. Dia hidup, bergerak, bernapas, tersenyum, dia senang bermanja-manja. Kin mencintainya, aku rasa akupun mulai mencintainya.

Maka, jika kami memang tidak waras. Biarkan saja!

*******

Thanks for reading, hope u'll like it.
Vote if you love this chapter.
Danke much! 😘😘😘

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top