tiga

Dan pagi ini, aku benar-benar memasak untuk Alessandria. Benar-benar menyempatkan waktu. Aku sungguh takjub pada diri sendiri.

Entah sejak kapan aku jadi merasa iba dengan anak itu. Mungkin sejak semalam saat dia menceritakan kisahnya. Aku merasa kasihan jika dia benar-benar dipukul, ditendang. Sungguh, tidak seharusnya seperti itu. Pleaseee ... dia masih anak-anak.

Jadi kuputuskan untuk mengurungkan niat membuat laporan ulang ke polisi. Keluarganya juga tidak mencari, artinya dia tidak diinginkan. Membayangkan hal tersebut, rasa kasihanku semakin bertambah-tambah. Nasib kami, mirip!

***

"Aku tidak mengerti mengapa kau begitu lama mendapatkan kerjasama investasi itu." Annisa menatapku tajam.

Perempuan single berumur hampir 40 tahun itu sedang kesal karena aku belum juga berhasil meyakinkan Kimura Investment untuk berinvestasi di tempat kami. Wajahnya yang memang dasarnya keras, bertambah keras. Matanya menyipit menuduh, menatapku dengan tidak suka. Digigitnya bibir bawah keras-keras, aku paham, dia menahan amarah.

Dengan sengaja kubungkam mulut. Yakin, jika sampai kujawab, amarahnya bakal semakin menjadi-jadi. Perempun itu memang terkenal dengan sebutan singa betina, itu adalah bisik-bisik rahasia yang bukan rahasia lagi di kalangan karyawan.

"Selesaikan dalam minggu ini!" perintahnya, lalu menyuruhku keluar dari ruangan.

Aku sudah berada di luar, berdiri di balik pintu, ketika mendengar Annisa menggelegar di dalam sana. Sepertinya dia menelpon seseorang, sembari mengeluh dan mempertanyakan kebisaanku.

"Apa kau gila, meyakinkanku bahwa perempuan itu bisa melakukan dealing investasi besar? Sial! Mungkin seharusnya dia berlutut dan membuka sebagian kancingnya!"

Kupejamkan mata, menarik napas menahan emosi. Dia berteriak sekeras itu. Maka aku yakin, kalau semua orang di sini mendengar. Dan ketika aku membuka mata, benar saja, semua mata sedang tertuju padaku dengan iba. Sialan!

Lihat saja nanti!

Kuayun langkah sepercaya diri mungkin demi menutupi rasa malu. Sambil berjalan, kubuka dua kancing kemeja teratas. Act sexy!

Apa susahnya sih membuka kancing baju?

Aku terus berjalan menuju ruangan sembari berpikir keras. Aku harus membuktikan pada Annisa kalau dia salah mempertanyakan kemampuanku dalam melakukan sebuah dealing besar.

Begitu sampai ke ruangan, aku memutuskan untuk menghubungi Daniel. Berlutut dan membuka kancing baju? Heh! Aku bahkan tidak perlu melakukan semua itu.

Ya, 'kan? Semoga saja. Ah! Mengapa aku menjadi tidak yakin? Bodoh!

Aku mengetik sms dengan cepat dan langsung mengirimnya.

'Pak Daniel, saya Margareth Kin. Apa bisa bertemu di restoran Jepang tempo hari, jam 7 malam ini? Ada yang hendak saya bicarakan. Thanks.'

Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit. Tidak ada balasan. Aku mulai frustrasi. Apa dia tidak tertarik lagi denganku?

Orang kaya cepat bosan!

Aku mulai gelisah ketika aku melihat lampu pada ponsel berkedip. Sms!

Daniel.

'Ok, see you soon.'

Singkat. Good! Lalu aku mengambil secarik kertas dari note di meja, dan mulai mencorat coret sesuatu.

***

Kali ini aku yang lebih dulu datang, menunggunya sembari duduk pada alas di lantai. Beruntung kali ini pakaianku mendukung, sehingga tidak perlu menutupi apapun. Celana panjang dan kemeja yang pantas.

Aku menunduk, memandang tepat ke kancing kemeja. Menimbang-nimbang, perlu atau tidaknya membuka satu kancing lagi, dan membiarkannya terlihat lebih terbuka. Namun di detik kemudian, aku memaki diri sendiri karena berpikiran semurah itu.

Tidak lama, pintu di belakangku terbuka. Daniel muncul dengan setelan rapinya. Bermaksud berdiri menyambut, tapi langsung dicegah, dia memaksaku untuk tetap duduk.

Pria dengan visual nyaris sempurna ini menatapku dengan mata birunya sambil tersenyum hangat. Dia memesan beberapa makanan dan ocha.

"Apa kamu sudah memutuskan, Kin?" tanya Daniel, tanpa basa-basi begitu pelayan pamit untuk mengambil pesanan kami.

Aku mengangguk.

"Jadi?" tanyanya tertarik. Terlihat sekali jika pria itu sedang menahan perasaan senang.

"Aku mengajukan beberapa syarat."

"Apapun itu," jawabnya terdengar meyakinkan.

Aku berdeham, menekan liur kencang-kencang. Ternyata, lumayan tegang juga. Kuambil kertas dari tas, lalu Membuka lebar.

Sekali lagi kutatap dia karena ragu. Daniel mengangguk pelan, meyakinkanku.

"Apa kau benar-benar akan menepati janji?" tanyaku karena aku merasa benar-benar khawatir.

Dia mengeluarkan amplop dari tas kerjanya, lalu mengelurkan kertas-kertas dan meletakkannya di atas meja.

Aku memperhatikan tumpukan kertas di meja. Itu adalah surat perjanjian yang harus di tandatangani jika dia setuju melakukan investasi. Kemudian diletakkannya pena di sisi perjanjian itu.

"Segera setelah masalah kita selesai, aku akan menandatangani ini." Ditunjuknya dokumen dengan pandangan.

Aku mengangguk, menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak untuk kemudian membuka dan mulai membaca isi kertas di tangan.

"Satu," kataku, "kedua belah pihak tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing."

Aku berhenti dan melihat reaksi Daniel. Dia diam, hanya mendengar tanpa reaksi.

"Ehem." Aku berdeham sebelum melanjutkan. "Dua, no kissing. Tiga, no sex. Dan ini akan berakhir dalam 3 bulan. That's all!" cetusku.

Aku melipat kertas dan memasukkannya lagi ke dalam saku. Aku melihat Daniel mengerutkan kening. Dia terlihat sedang berpikir. Tampak tidak puas akan sesuatu.

"Bagaimana?" tanyaku meminta pendapat.

"Aku setuju dengan poin satu, aku juga tidak suka urusan pribadiku tercampur aduk. Poin lainnya harus ada sedikit revisi," katanya keberatan.

"Apa yang harus di revisi?" tanyaku mulai tidak nyaman.

"Dari awal aku sudah mengatakan bahwa kau harus menjadi partner-ku, pasanganku, temanku berbagi, berbagi segalanya." Daniel seakan memberikanku peringatan. "No kiss and sex? bagaimana kita berbagi segalanya?"

Aku refleks menutup mulut dengan kedua tangan. Sungguh bukan hal yang bisa kubayangkan. Apa aku benar-benar harus berlutut dan membuka kancing saat ini demi dealing sialan? Demi membuktikan diri pada Annisa?

"Aku tidak akan melakukannya tanpa izinmu," katanya lagi. "No kiss and no sex kecuali kau mengizinkanku, oke?"

Oh! Baiklah, jangan harap aku akan mengizinkanmu.

Lalu Daniel mengulurkan tangan, memberikan selembar kartu akses. Ragu, aku menerimanya.

"Itu kunci apartemenku," ujarnya datar. "Berikan kuncimu padaku."

"Aku tidak akan memberikannya," tolakku cepat. Tidak akan kubiarkan wilayah privacy  dimasuki orang lain.

"Kita berbagi segalanya. Bisa jadi ketika aku kesepian dan hendak curhat, aku akan segera datang padamu. Aku tidak perlu meminta izinin padamu untuk datang, 'kan? Bukankah kita berbagi?"

Aku menelan liur mendengar perkataan Daniel. Apa-apaan?

"Kamu terlalu bertele-tele," Daniel tiba-tiba terlihat kesal, "apa kita batalk..."

"Tidak!" Aku sedikit berteriak, memotong perkataannya. Aku tidak bisa berhenti sekarang. Toh dia akan melakukan semua dengan izinku. Dia tidak akan melakukan apapun tanpa izin. Itu adalah pagar pengaman. Izin dariku.

Aku mencari kunci dari tas. Dua kunci bertaut disatu gantungan. Kuserahkan satu pada Daniel.

Lelaki itu menerima dengan tersenyum. Lalu dibukanya perjanjian investasi di meja.

Kutatap tangan kekar yang mulai bergerak, memberikan paraf di setiap ujung kertas. Aku menahan napas, demi melihat kertas-kertas itu, akhirnya di tanda tanganinya juga. Menang!

Ketika dia akan melakukan tanda tangan terakhir, dia menatapku dengan kerut di kening. Ada sesuatukah yang terlupa?

"Mengenai waktunya ...," suaranya pelan, "aku menolak waktu 3 bulanmu"

Mataku sontak membulat, apa lagi yang akan dinegosiasikan?

"Waktunya adalah sampai ada salah seorang dari kita jatuh cinta."

Aku menegang.

"Aku tau kamu tidak percaya cinta, aku pun demikian. Jangan khawatir, aku tidak akan mencintaimu, itu hanya membuat hidupku menjadi tidak nyaman. Kuharap kau juga bisa menjaga hatimu," jelasnya panjang. "Kalau itu sampai terjadi, perjanjian kita berakhir".

Aku tidak mengerti manusia dihadapanku ini. Apa ini adalah ajang dia mencobai hatinya sendiri? Hmm akan kubuat dia bertekuk lutut agar perjanjian ini cepat berakhir.

"Bagaimana?" tanyanya meminta persetujuan. "Jika kau setuju aku akan menandatanganinya. Dan 50% dana investasi akan kutransfer besok segera.".

Masa bodohlah!

Aku mengangguk yakin. Dan dengan yakin pula tangannya bergerak menandatangani halaman terakhir sambil tersenyum memandangku penuh arti.

Ya Tuhan. Apa yang telah kulakukan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top