sepuluh

Gadis kecil itu meringkuk ketakutan di balik tubuh wanita setengah baya yang berdiri membelakanginya. Matanya memerah dengan sedikit air di sudut matanya. Lebam di sekujur tubuhnya sudah tidak lagi terasa sakitnya. Bukan, bukan karena dipukul itu tidak sakit, tapi karena dia sudah terbiasa.

Air mata yang meleleh dari mata dan jatuh ke pipinya itu bukan karena sakit sehabis ditendang, lebih karena dia tidak pernah terbiasa dengan rasa takut. Dia bisa menahan sakit, tapi tidak dengan rasa takut.

Wanita itu membelakanginya dengan waspada penuh. Wajahnya tidak kalah lebam dari si gadis kecil. Seorang pria berbadan kekar, berdiri dalam kondisi mabuk di depannya. Wajah pria mabuk itu sebenarnya tidak sangar, hanya saja raut wajahnya lebih banyak terlihat penuh tekanan, membuatnya nampak menakutkan.

"Kau jangan menyentuhnya....jangan pernah menyentuhnya lagi!" wanita itu berbicara penuh ancaman, tapi perasaan getir dan gentar terlalu kentara. Ancamannya jadi terdengar seperti bualan dari pada mengancam.

Pria itu tidak terlihat peduli. Dia melangkah semponyongan ke arah si wanita, memaksanya untuk mundur satu dua langkah. Wanita itu menatap si gadis kecil sekilas dari sudut matanya. Seperti hendak memastikan kalau si kecil masih di sana dan hidup.

"Mom." Suara gadis itu bergetar. Rasa takutnya sudah banyak mendominasi. Wajahnya semakin memelas.

Wanita yang di panggilnya Mom itu tersenyum sekilas, sebelum ambruk di sisinya akibat tendangan luar biasa dari si pria mabuk.

Wanita itu terbatuk-batuk sebelum darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

"Lari," desisnya, "lari!" Kali ini dia memerintah, dan darah itu muncrat dari mulutnya.

Gadis itu, membelalakkan mata demi melihat darah yang sepertinya tidak mau berhenti mengalir dari mulut ibunya. Dia ketakutan, sungguh.

Di tatapnya pria itu yang saat ini terhuyung-huyung berjalan ke arahnya. Dia sudah paham, kali ini gilirannya.

"Mom, bangun Mom!" Dia mengguncang tubuh ibunya. Tapi tubuh itu tidak lagi bergerak.

"Kau tidak akan selamat kali ini," Pria itu mulai meracau, "tidak kali ini..."

"Mom...Mommm..."

Brukkkk....

Pria itu tiba-tiba ambruk. Mungkin dia sudah tidak sanggup lagi menahan mabuknya, lalu ambruk tepat di hadapannya.

*******

Daniel menarik tanganku menjauh dari Ryu. Dia terlihat tegang dan menakutkan.

"Jangan merayu wanitaku lagi!" ancamnya pada Ryu. Giginya terdengar gemeretak. Genggamannya pada tanganku terasa kuat.

"Kamu tidak berhak!" Ryu setengah berteriak, protes. Matanya juga terlihat gelap dan berkilat, mungkin karena napsu yang tertahan dan amarah yang meledak-ledak.

"Ya, aku lebih dari berhak! Camkan itu!"

Dengan emosi Daniel menarikku keluar ruangan. Dia menarikku sepanjang jalan menuju parkiran mobil. Dia diam, tapi aku tau kalau dia benar-benar marah.

Dia membuka pintu mobil di bagian penumpang.

"Masuk!" perintahnya. Aku menurut tanpa berkomentar apapun. Aku tidak mau berdebat.

Dia kemudian ikut masuk, duduk di sebelahku, di bangku pengemudi. Daniel menginjak gas mobilnya dengan kasar meninggalkan parkir.

Suasana di mobil terasa mencekam. Kami tidak berbicara sedikitpun. Sisinya yang ini belum pernah kulihat. Sisi amarah. Dia biasanya hanya terlihat tegas dan dingin, kadang terlihat santai dan tidak peduli. Sisi marahnya ini, menakutkan.

Aku melirik handphoneku yang bergetar, satu-satunya barang yang bisa kubawa pada saat Daniel menarikku tadi. Bahkan tasku tidak sempat kuambil.

Nama Alessandria muncul di layar. Aku tersenyum. Anak ini, aku bersyukur dia menyelamatkanku dari siatuasi aneh ini.

"Hallo," sapaku.

"Mommy, aku kangen..."

Suara itu terdengar sangat bersemangat. Aku merasa dadaku sesak mendengarnya. Entah mengapa aku merasa terharu. Sudah lama tidak ada yang merindukanku.

"Aku juga, Alessandria," kataku.

Daniel melirik ke arahku ketika aku menyebut Alessandria. Sekilas, sebelum kembali berkonsentrasi ke jalan.

"Nanti aku telpon lagi, Mom. Aku sekarang sedang makan."

"Baiklah, makan yang banyak, oke? Sampai nanti, cantik." Lalu aku memutuskan sambungan telpon.

Lalu hening. Sungguh aku merasa canggung. Aku merasa bodoh dalam siatuasi aneh seperti ini.

"Tidak boleh berhubungan dengan pria lain selama masa perjanjian," Daniel berkata setelah diam beberapa lama. "Itu di tambahkan dalam perjanjian kita."

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku tidak suka," jawabnya.

"Apa kau mulai menyukaiku?" tanyaku ketus. Menurutku poin ini nyaris masuk ke ranah privacy walaupun masih terlihat abu-abu. "Kalau ya, artinya perjanjian kita berakhir dan kau boleh menurunkanku di pinggir jalan," tandasku.

"Tidak!" Daniel terdengar sengit. "Sudah ku katakan aku tidak akan jatuh cinta padamu."

"Lalu?"

"Aku sudah mengenalkanmu kepada Ibuku. Bagaimana kalau dia melihatmu dengan pria lain?" Daniel melirikku sekilas sebelum melanjutkan bicaranya. "Itu tidak akan menguntungkanku sama sekali..."

Cih! Aku mencibir dalam hati. Ternyata ini hanya demi kepentingannya.

"Dan bagaimana mungkin kamu memasukkan no kiss, no sex dalam perjanjian kita, sedangkan kau mendesah untuk pria lain? Tidak masuk akal. Kau terlihat mesum." Daniel mengerutkan wajahnya.

"Itu tidak seperti yang kau lihat!" seruku, tidak terima dengan perkataannya. "Tapi...terima kasih karena kau tiba di saat yang tepat," kataku lagi, tulus.

"Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak datang tepat waktu." Daniel menggeleng- gelengkan kepalanya, seakan menepis bayangan tidak menyenangkan dari pikirannya.

Aku mendengus. Jujur, aku juga tidak sanggup membayangkannya.

*******

"Ini sangat enak, Tante Sara," pujiku saat mencicipi sapo tahu yang di sajikan. Sapo itu memang benar-benar enak. Wanita berambut panjang hitam pekat ini, ternyata jago masak.

"Kalau begitu, makanlah yang banyak." Sara, Ibu Daniel menggeser mangkuk berisi sapo tahu itu mendekat ke arahku.

"Nanti dia gemuk, Bu." Daniel merengut sambil menyuap potongan daging ke mulutnya.

Aku cemberut, berpura-pura kesal. Daniel melirikku dengan pandangan mesra menggoda. Dia juga sedang berpura-pura.

Sara, tersenyum di kursi rodanya melihat kelakuan kami yang kekanak-kanakkan.

"Apa hubungan kalian sudah lama?" tanyanya sambil menatap ke arahku.

Ya ampun, mengapa dia malah bertanya padaku bukan kepada anaknya? Aku tersenyum, tapi aku sedang malas berpikir. Jadi aku hanya tersenyum kikuk sambil menendang kaki Daniel di kolong meja. Dia harusnya menyelamatkanku dengan menjawab pertanyaan ibu nya.

"Baru 6 bulan, Bu." Daniel terdengar santai. Aku tersenyum kikuk mendengar jawabannya. Sara mengangguk-angguk tersenyum penuh arti.

"Apa yang kau suka dari anakku, Kin?"

Oke, ini benar-benar pertanyaan yang tidak kuharapkan.

Aku memalingkan wajahku ke arah Daniel. Lalu menopang dagu dengan punggung telapak tangan, sikuku menempel di meja. Aku memandang Daniel dengan tersenyum. Pandangan mataku membulat sempurna, berbinar. Saat ini -bagi Sara- aku pasti terlihat seperti sedang kasmaran, seperti perempuan yang sedang menikmati wajah kekasihnya. Tapi pada kenyataannya, aku sedang mencari apa yang bisa ku katakan tentang pria ini, sisi apa yang sebenarnya menarik. Aku harus menjawab pertanyaan Sara dengan meyakinkan.

Daniel yang sadar ku tatap demikian, balas menatapku sambil memasukkan potongan-potongan kecil buah ke mulutnya. Dia sama sekali tidak canggung. Kuakui, dia juga hebat dalam berakting.

"Hmmm...apa ya?" kataku dengan suara manja yang kubuat-buat.

"Apa kau menyukaiku?" Daniel bertanya tanpa ekspresi, tapi pertanyaan itu nyaris saja membuat topangan di daguku terlepas. Dia berlebihan, jadi aku menendang kakinya pelan di bawah meja. Tapi dia tidak peduli, dia malah tersenyum dengan kepala miring. Dia mengejekku. Sial sekali!

"Tentu saja Daniel." Aku berusaha terdengar sewajar mungkin. "Kalau aku tidak menyukaimu, untuk apa aku berada di sini?"

Aku melirik ke arah Sara. Sial, wanita itu benar-benar sedang memperhatikan kami. Aku kembalikan fokusku ke Daniel.

"Hmm...dia tampan, perhatian, peduli walau terkadang acuh, baik dan arogan dalam waktu bersamaan." Aku tidak menyangka bisa menjawab dengan lancar. "Dia juga cerdas dan sedikit posesif, tapi di atas segalanya, dia membuatku merasa berharga."

Aku merapihkan dudukku dan kembali menatap Sara yang saat ini sedang tersenyum puas menatapku. Aku membalas senyumnya semanis mungkin.

Aku tau Daniel masih menatapku, mungkin dia takjub dengan jawabanku. Aku memerankan peranku dengan sempurna.

"Dan Kin, dia sempurna bagiku Ibu," Daniel menjawab tanpa di tanya. Di terdengar bersungguh-sungguh.

Aku mengepalkan tanganku di atas pangkuan di bawah meja. Drama kami hari ini terdengar sangat berlebihan.

"Kau yakin?" Sara bertanya ke arah Daniel yang menjawab dengan anggukkan tanpa ragu.

"Kalau begitu." Sara melap bibirnya dengan serbet sebelum melanjutkan bicaranya. "Bagaimana dengan rencana menikah?"

Hell ya! apa disini ada gedung berlantai 100? Aku mau terjun saja!

"Akan kami pikirkan, Bu."

Kali ini aku menendang kaki Daniel keras di bawah meja. Aku bisa melihatnya menahan ringisannya.

Rasakan! Batinku.

*******

Seperti yang sudah-sudah Alessandria selalu menyambutku dengan mata berbinar setiap aku kembali dari pekerjaan.

Tubuh kecil itu melompat kegirangan ketika mengetahui kalau aku membeli snack coklat krim stroberi kesukaannya. Setidaknya menurutku, dia menyukainya. Snack favorit ku juga.

"Enak ya, Mom."

Perkataannya tidak terdengar jelas karena mulutnya yang penuh. Aku tersenyum dibuatnya.

Setelah begitu banyak drama hari ini, melihat Alessandria terasa seperti obat yang menyembuhkan. Seperti oasis yang menyejukkan. Dia terlihat polos dan menyedihkan dalam waktu bersamaan.

Saat ini, kami sedang menikmati snack favorit kami di meja makan sambil saling menyuapi. Hal yang tidak pernah terpikir olehku di masa dewasaku. Dulu mungkin ketika aku masih kecil, aku pernah melakukan ini bersama ibuku. Aku rasa, aku dan Alessandria, kami sudah sangat akrab sekarang.

Ok, mungkin aku tidak menyukai ide untuk mempunyai seorang anak. Tapi Alessandria pengecualian. Dia sama sepertiku. Kami sama-sama korban. Aku mengasihinya karena dia juga korban. Aku seperti berkaca.

Tiba-tiba di otakku terbersit rasa ingin tau lebih mengenai anak ini. Alessandria, ketika dia menyebutku sebagai ibunya, kira-kira siapakah ayahnya?

"Siapa Ayahmu? Apa kau tau namanya?" tanyaku pada Alessandria sambil mencuil hidungnya gemas.

Alessandria berhenti mengunyah, dia menatapku dengan bibir mengerucut, matanya mengerjap-ngerjap. Dia seperti sedang mengingat-ngingat.

Krekkkk.

Pembicaraan kami terputus karena sepertinya ada yang membuka pintu. Satu-satunya yang memiliki kunci selain aku adalah Daniel.

Aku bangkit dan menuju ke ruang depan. Sudah jam 10:30 malam. Ada apakah dia kesini semalam ini?

Aku melihat Daniel sedang berusaha membuka sepatunya, lalu tersenyum aneh saat melihatku. Bagian putih matanya memerah, wajahnya juga merah. Bajunya sedikit berantakkan. Dia berjalan bertelanjang kaki dengan sedikit goyang ke arahku.

Apa dia minum dan sedikit mabuk?

"Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tidak terlalu jauh lagi, "ini sudah malam."

Ya, dia minum. Bau alkohol tercium jelas di jarak sedekat ini.

"Itu Kin," Daniel meletakkan telapak tangan ke dinding di dekatnya, dia sedang berusaha untuk tidak jatuh.

"Mengenai pernikahan itu," katanya yang membuatku menelan ludah. Semalam ini hanya untuk membicarakan pernikahan.

"Kau lupakan saja!" Tiba-tiba suaranya meninggi. "Tidak akan pernah ada pernikahan, kau jangan berharap!" dia meracau.

"Aku benci menikah! Ujung-ujungnya pengkhianatan! Aku tidak akan menikahimu! Aku tidak mencintaimu! Kau mendengarku, Kin!"

Aku menutup mulutnya dengan tanganku. Tidak baik kalau Alessandria mendengar ini.

"Baik...baik," kataku pelan, "kamu jangan khawatir, aku juga tidak ingin menikah, aku juga tidak mencintaimu."

"Jadi kau sekarang pulanglah, Alessandria bisa mendengarmu." Aku membalik tubuhnya, mencoba menggiringnya keluar.

Dia menahan tubuhnya, membuatku kesulitan mendorongnya. Kemudian dia menatapku tajam.

"Alessandria? Dimana anak itu? Aku bahkan belum melihatnya dengan seksama waktu itu." Daniel berbalik lagi. Matanya mencari-cari.

Dia tersenyum ketika menemukan Alessandria berdiri menatap kami dari pintu dapur. Alessandria, anak itu juga membalas senyumnya dengan mata berbinar. Binar yang sama di setiap kali dia menyambutku pulang.

"Daddy, akhirnya Daddy pulang juga, aku kangen!!" Alessandria menghambur memeluk Daniel, yang dengan setengah mabuk membalas pelukkannya.

Aku berdiri mematung. Menatap Alessandria dan Daniel dengan bingung. Kejutan apa lagi ini? Daddy? Daniel?

*******

Thanks for reading, hope u like it. 😍
Vote, yes! 😘

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top