sebelas
Tempat tidurku yang berukuran queen size nampak penuh. Alessandria memaksa Daniel untuk tidur bersamanya. Dia memeluk sayang Daniel sambil terlelap. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Mereka terlihat mesra layaknya ayah dan anak yang sebenarnya.
Daniel sendiri sepertinya juga sudah pulas karena mabuknya. Aku tidak yakin dia menyadari kalau Alessandria memanggilnya, daddy. Yah! aku tidak mengerti mengapa belakangan ini banyak hal-hal aneh yang terjadi.
Aku merapihkan bedcover yang menutupi tubuh mereka dengan hati-hati. Aku tidak ingin mereka terbangun. Dan setelahnya, berencana untuk tidur di sofa saja.
Kucium pipi Alessandria, dan dengan sangat perlahan bergeser hendak turun. Namun seseorang mencoba menahan. Menggenggam tanganku yang masih tergeletak di atas bedcover. Terkejut, aku memutar kepala. Daniel, dia menggenggamku dengan kuat. Matanya masih terpejam.
Aku mencoba menarik tangan, tapi genggamannya lebih kuat. Aku hampir putus asa ketika dia perlahan membuka mata.
"Tidurlah bersama kami," ucapnya perlahan di sela kantuknya.
"Apa kau bangun?" tanyaku tidak kalah pelan.
"Disini masih luas, kau tidur di sini juga ya," pintanya sambil menutup matanya kembali. Sepertinya dia benar-benar tidak mampu lagi menahan kantuknya.
Aku menghela napasku panjang, menatap Alessandria dan Daniel bergantian. Perlahan aku bergeser, mencoba berbaring dengan tangan yang masih belum bebas. Menyejajarkan tubuhku dengan tubuh mereka. Alessandria tidur memunggungiku.
Aku tidak mau membayangkan apapun. Tidur bertiga seperti ini -demi Tuhan- aku tidak mau membayangkan tentang apapun.
***
Pagi ini aku terbangun dengan terkejut. Alessandria masih terlelap, kali ini dia memelukku. Aku menatap wajahnya, senyuman masih membekas di bibirnya. Sebahagia itukah dia?
Aku menatap ke belakang punggungnya, Daniel sudah tidak ada. Oh, mungkin saja dia sudah pulang pagi-pagi sekali dan menyesal karena tertidur di kamarku, bersama seorang anak kecil yang memanggilnya, daddy. Hmmm typical.
Aku menggeser tubuh Alessandria, melepas pelukkannya. Dia menggeliat dan mengubah letak tidurnya. Dia benar-benar terlihat seperti malaikat kecil.
Aku beranjak dari kamar dan langsung ke kamar mandi. Hal pertama yang kulakukan adalah mandi. Aku membiarkan pancuran air dingin membasahi wajahku, menyegarkan tubuhku. Setelah selesai, dengan santai aku melilitkan handuk putih ke tubuhku, dan selembar handuk yang ukurannya lebih kecil ke kepalaku yang basah.
Hal pertama yang kurasakan setelah mandi adalah haus. Jadi aku langsung menuju dapur.
Hampir saja aku melompat saking terkejutnya, melihat Daniel sedang duduk di kursi makan sambil menyesap kopi di dalam cangkir dan mengutak-atik handphone nya.
Dia melirik ku sebentar dan berdecak ketika melihat penampilanku. Refleks aku merengut handukku lebih rapat. Aku khawatir handuk itu akan jatuh dan pria itu akan mendapatkan pemandangan bagus di pagi hari. Maksudku, itu bagus untuknya, sial bagiku.
"Apa kamu selalu seseksi ini setiap pagi?" tanyanya sambil meletakkan handphonenya di meja dan berjalan ke meja dapur.
Dia menuangkan air putih di gelas dan menyerahkannya padaku.
"Begitu bangun, air putih dulu. Itu baik untukmu," katanya sambil tersenyum.
Aku meringis mengambil gelas dari tangannya dan meminumnya sampai habis. Kerongkonganku terasa lega sekarang. Daniel mengambil gelas kosong dari tanganku dan meletakkannya di meja makan.
"Sarapan?" Dia menunjuk ke arah meja makan dan aku baru sadar kalau sudah ada tiga piring nasi goreng di atas meja. Dia memasak untuk kami! Wow!
"Kau memasak?" tanyaku takjub.
"Ya, untuk istri dan anakku." Dia terkekeh mendengar perkataannya sendiri, lalu kemudian meringis.
Aku ikutan meringis. Dia mengingatnya. Dia ingat kalau Alessandria memanggilnya, daddy.
"Apa kau sudah membawa anak itu ke dokter?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Aku sudah mengobati lukanya, jadi aku pikir tidak perlu ke dokter. Lukanya sudah hampir sembuh," jawabku.
"Bukan luka yang itu maksudku." Daniel mendudukkan tubuhnya di atas kursi. "Tapi luka di sini," Dia berbisik sambil menunjuk pelipisnya dengan telunjuk.
Aku terkesiap. Apa maksud Daniel ada yang salah dengan otak anak itu? Apa dia berpikiran kalau Alessandria gila? Aku tidak suka dia berpikiran begitu. Bagaimanapun di mataku, Alessandria anak yang lucu dan menggemaskan. Lebih dari itu, dia menderita.
"Kau pikir dia gila?" tanyaku sewot dengan suara perlahan.
Daniel mengangkat bahunya. "Tidak ada salahnya memeriksa, aku sebenarnya agak keberatan di panggil daddy." Wajahnya berubah menjadi memelas yang dibuat-buat.
"Kalau begitu, kamu pergi saja dan jangan ke rumahku lagi," gerutuku.
Daniel mencibir ke arahku. "Sensitif...dasar perempuan!"
Aku melotot ke arahnya, tidak terima dengan perkataannya.
"Apa kau akan sarapan dengan outfit seperi itu?" tanyanya kemudian sambil menatap tubuhku dari atas ke bawah, "kalau ya, aku akan sangat berterima kasih."
Aku baru sadar kalau aku masih memakai handuk setelah mandi. Dengan langkah kesal aku berbalik ke kamar untuk berpakaian.
*******
Annisa memanggilku lagi ke ruangannya pagi ini. Jadi walaupun enggan aku melangkahkan kaki juga ke sana. Jojo, dia mengacung-acungkan kedua tangannya memberiku semangat dari kejauhan.
Well, aku memang butuh dorongan semangat pagi ini, jadi aku tersenyum sambil mengacungkan ibu jariku ke arahnya.
Aku membuka pintu ruangan Annisa. Dan Ryu juga ada di sana. Dia duduk dengan tegang di atas sofa. Mereka menatapku bersamaan. Aku jadi merasa menjadi seorang terdakwa.
"Ya, Ann?" tanyaku masih berdiri di ambang pintu. Aku malas untuk duduk karena ada Ryu di sana.
"Tutup pintunya, dong," pinta Annisa. Aku baru menyadari kalau pintu masih terbuka. Jadi aku menutupnya namun tidak beranjak dari tempatku berdiri.
"Apa kau akan berdiri saja?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Begini." Annisa berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mengenai investasi dari Kimura Investment."
Ck. Aku sudah menduga. Aku menatap Ryu yang saat ini juga sedang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. Berbeda dengan tatapan-tatapannya dulu. Aku melengos, malas melihatnya.
"Ryu memintaku untuk membatalkan perjanjian itu." Annisa berbicara dengan ragu.
"Oh ya?" Aku berpura-pura terkejut. Aku bisa mendengar Ryu menghela napas, tidak suka dengan tingkah pura-puraku. Masa bodohlah.
"Aku tidak suka ini sebenarnya. Kau tau kita membutuhkan investasi itu. Tapi Ryu bilang, Daniel Kimura tidak bersikap profesional dengan memanfatkanmu terus menerus."
Aku mengernyitkan keningku.
"Jadi?" tanyaku.
"Jadi aku mau bertemu dengan Daniel Kimura," kata Annisa, "kau bisa mengaturnya untukku, kan?" pintanya.
"Mengapa harus bertemu dengannya, Ann?" Ryu tidak setuju. "Batalkan saja! Kau hanya perlu mengangkat telpon. Dia sudah melecehkan karyawan terbaik kita!"
"Dia tidak melecehkanku sama sekali!" aku berkata ketus ke arah Ryu.
Annisa terlihat bingung.
"Dia melecehkanmu! Dia masuk ke zona pribadimu...dia tidak profesional!" Ryu bangkit dengan marah dari duduknya.
"Apa pikirmu kamu profesional?!" Aku semakin kesal.
"Apa-apaan kalian?" Annisa berbicara sedikit keras. "Kau jangan seperti anak kecil Ryu! Apa kau pikir kita bisa membayar pinalty dengan mudah? Ini kita bicara tentang angka lima juta dollar dan lima persen pinaltynya!"
Ryu terdiam.
"Dan kau, Kin! Segera atur meeting antara aku dan Daniel," tandasnya.
Terlihat sekali kalau Ryu menahan emosinya. Dia tidak mengatakan apapun ataupun menatapku lagi. Dia kembali duduk dengan kesal. Dia sama sekali tidak mau memandangku.
Tapi apa peduliku? Dia sudah aku hapus dari jaringan pertemanan sejak kemarin. Sejak dia mencoba melecehkanku.
***
Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang adalah Alessandria. Aku baru menyadarinya belakangan ini kalau dia bisa menjadi pelipur lara. Jadi aku akan menelponnya.
Aku duduk di kursi kerja, menekan angka satu yang panjang.
"Hallo, Mommy!"
Suara cerianya begitu menyenangkan.
"Apa Mommy kangen aku?"
"Tentu saja, karena itu aku menelponmu," jawabku yang membuat tawanya berderai di seberang.
"Kau sudah sarapan?" tanyaku.
"Iya, aku sudah makan."
"Bagus kalau begitu," kataku, "kalau begitu baik-baiklah di rumah oke. Telpon aku kalau ada apa-apa."
"Pasti!" serunya.
"Alessandria ...." Aku memanggilnya lirih, "jangan kemana-mana, okey? Tetaplah menjadi anakku." Tanpa kusadari aku memohon.
"Aku kan memang anakmu, Mommy. Masa Mommy lupa?"
Dan tidak tau apa sebabnya, mengapa air mataku tiba-tiba menetes deras tanpa bisa ku kendalikan. Aku merasakan sesuatu begitu menyesakkan, aku merasakan sesuatu yang menyedihkan, aku ingin memiliki.
Untuk pertama kalinya, aku hendak meng-claim seseorang untuk menjadi milikku. Dia mencintaiku, menyayangiku. Aku ingin Alessandria menjadi milikku, selamanya.
***
⏬⏬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top