lima belas

Aku tidak menyangkal, kehadiran Daniel belakangan ini membuat warna lain dalam hidupku. Tidak drastis memang, tapi setidaknya aku tau bahwa aku layak di pedulikan.

Beberapa kali dia menyelamatkan dan membelaku dari perlakuan tidak senonoh Ryu, dia juga menolongku menemukan Alessandria, dia juga dengan gentleman menyelamatkanku dari insiden salah kostum pada saat pertemuan pertama kami. Aku juga tau kalau dia memiliki sisi manis dengan memasakkan sarapan untukku dan jiwa itu, jiwa kebapakkan yang di perlihatkannya pada saat bersama Alessandria. Dia nyaris sempurna sebagai seorang lelaki.

Tapi ajakkan menikah, meskipun pura-pura adalah sesuatu yang berlebihan. Aku hanya mengenalnya sebatas itu dan tidak lebih. Dan itu, komitmen, pernikahan merupakan ketakutan terbesarku. Itu seperti memintaku untuk bunuh diri!

"Aku tidak bisa Daniel," ucapku akhirnya setelah terdiam cukup lama. Aku tidak paham mengapa Sara harus mati dalam tiga bulan. Tapi jika itu benar, sungguh aku kasihan padanya.

*******

Sudah tiga hari sejak Daniel memintaku menikahinya dan aku menolaknya. Berarti sudah selama itu juga dia sama sekali tidak menghubungiku. Tidak ada sms ataupun telpon sama sekali. Apa dia benar-benar tidak akan menghubungiku lagi? Sampai kapanpun?

Alessandria dan aku semakin dekat. Kami sering melakukan kegiatan bersama. Mulai dari membersihkan rumah, lari pagi, bahkan mandi bersama. Thanks God, karenanya aku sama tidak merasa kesepian.

Ryu, lelaki itu sama sekali tidak mengrongrongku lagi. Dia juga tidak menelpon atau mengsms ku lagi. Dan asal tau saja, aku sudah sama sekali tidak peduli padanya.

"Apa Daddy tidak akan datang juga, Mommy?" Alessandria bertanya sambil matanya tidak lepas dari televisi. Dia duduk di lantai di hadapanku. "Aku kangen Daddy."

Kali ini dia memutar kepalanya menatapku yang sedang duduk di atas sofa, mengangkat ke dua kakiku ke meja sambil mengunyah snack favorit kami. Bibirnya menekuk, matanya penuh harap.

Melihatnya seperti itu aku jadi tidak napsu lagi mengunyah. Jadi aku meletakkan plastik berisi snack ke atas meja dan memintanya untuk duduk di atas sofa. Di sampingku.

"Aku tidak tau bagaimana bisa kau berpikir kalau Daniel adalah ayahmu," kataku sedikit menggurutu sambil merangkulnya.

"Apa maksud, Mommy?" Alessandria terkejut dengan perkataanku.

"Aku tidak tau apa yang terjadi denganmu Alessandria." Aku menarik napas panjang. Aku ingin menggali lebih darinya.

Meskipun aku sudah memutuskan agar dia bisa tinggal bersamaku dan menganggapnya sebagai anak, tapi jujur aku tidak mengetahui apapun tentangnya selain dia memiliki ibu yang sering menyiksanya. Dia tidak di harapkan dalam keluarga, terbukti dengan tidak ada yang mencarinya sama sekali. Lalu kenyataan bahwa dia sangat menggemaskan dan imut yang membuatku semakin menyayanginya.

Hanya itu! Tidak ada lagi.

"Aku tidak tau bagaimana kau bisa mengatakan kalau aku adalah ibumu dan Daniel adalah ayahmu," kataku pelan. Alessandria mulai nampak serius. Matanya membulat menatapku penuh, keningnya berkerut, mencoba menyerap kata demi kata yang kukatakan.

"Bahkan aku dan dia tidak menikah. Yang paling parah, aku dan dia tidak saling mengenal sebelumnya." Aku menggigit bibir bawahku, berpikir apakah Alessandria sudah cukup umur untuk paham dengan apa yang sedang dan akan ku katatakan?

Tapi aku memutuskan untuk terus bicara. Aku yakin dia akan mengerti setidaknya beberapa kata untuk dia konfirmasi nantinya.

"Aku bukan ibumu dan Daniel bukan ayahmu, Alessandria. Kami bukan orang tuamu yang sebenarnya. Kau tiba-tiba muncul suatu pagi, memanggilku Mommy dan di suatu malam, kamu memanggilnya Daddy. Tapi kami bukan-"

Aku menghentikan omonganku karena kulihat mata Alessandria mulai memerah dan berkaca-kaca. Aku rasa dia mengerti dengan apa yang ku katakan.

"Maafkan aku, Alessandria. Tapi aku harus jujur. Aku tidak ingin suatu hari polisi datang dan menangkapku dengan tuduhan penculikan, aku harus mengkonfirmasi banyak hal sebelum aku bisa memperjuangkan agar kau bisa terus bersamaku."

"Mommy." Air matanya mulai menetes "Mengapa Mommy lupa semuanya?" isaknya yang membuatku tercekat. Benarkah ada sesuatu yang kulupakan? Aku tidak pernah merasa sebuah benda menghantam keras kepalaku sehingga aku lupa ingatan.

"Bagaimana bisa Mommy bilang kalau aku bukan anak Mommy, padahal Mommy memberiku nama seperti nama nenek?"

Aku mengerutkan keningku.

Binggo! Nama ibuku bukan Alessandria! Jadi selama ini, Alessandria memang salah mengira bahwa aku adalah ibunya. Aku nyaris berjingkrak kegirangan saat mengetahui hal ini.

"Alessandria, aku rasa kau memang salah mengira. Nama ibuku bukan Alessandria. Justru ibuku memberiku nama sama seperti namanya, memang tidak mentah-mentah dengan ejaan yang sama..tapi namaku dan namanya mirip." Aku melap air matanya dengan telapak tanganku.

"Aku Kin dan ibuku Kim. Nama kami memiliki arti yang sama, yaitu emas. Kalau aku bernama Margareth Kin, nah, kalau ibuku bernama Kim..."

Okay, aku rasa aku gila karena sempat melupakan nama lengkap ibuku. Dan aku rasa aku sudah benar-benar gila, aku lupa kalau nama ibuku...

"Kim Alexandria. Itu nama nenek kan, Mom? Mommy yang bilang kalau aku mengingatkanmu pada nenek." Alessandria menatapku dengan pedih.

Sedangkan aku, pikiranku mandek. Aku tidak dapat mengatakan atau memikirkan sesuatu apapun. Aku gila, gila, gila!

Aku harus menjernihkan pikiranku. Aku harus tetap waras. Aku butuh seseorang yang akan membuatku tetap waras.

"Alessandria," kataku sambil menggenggam pundaknya. Aku harus memastikan bahwa dia nyata. Aku bisa merasakan pundaknya di tanganku, aku yakin dia nyata.

"Aku harus keluar sebentar. Kau tidak apa kan kalau aku tinggal sebentar?" tanyaku. Dadaku saat ini berdebar cepat, saking cepatnya sampai sulit bagiku untuk bernapas.

Alessandria mengangguk.

"Baiklah. Kalau kau mengantuk, tidurlah lebih dulu. Aku akan mengunci pintu dari luar, okay?" ujarku lagi. Alessandria mengangguk lagi.

Aku langsung bangkit, meraih kunci mobil dan melesat keluar. Aku bergerak sangat cepat, aku juga menyetir dengan sangat cepat. Aku ingin kembali waras dengan cepat.

*******

Gadis kecil itu menggambar sesuatu di atas kertas dengan krayon berwarna warni. Dia menggambar sebuah gambar yang sebenarnya lebih nampak seperti lingkaran yang di bawahnya di berikan garis-garis layaknya tangan dan kaki. Sebagai sentuhan akhir dia menarik garis menjuntai berwarna coklat dari pucuk lingkaran itu, nampak seperti rambut kecoklatan.

"Itu gambar siapa?" seorang perempuan dengan kaca mata yang jatuh di hidungnya bertanya lembut, tersenyum melihat gambar si gadi kecil.

Gadis kecil itu menjawab tanpa menatap wajah perempuan muda yang terlihat ramah dan sabar.

"Ini aku Ibu Guru..." katanya.

"Tapi ini berambut pendek, sedang kau berambut panjang, bukan? Apa kau akan menarik garis yang lebih panjang untuk rambutnya? Agar sama seperti milikmu?" tanya perempuan yang di panggilnya ibu guru itu.

Gadis kecil itu mendongak, menatap si guru. Dia berpikir sejenak dengan wajah yang datar. Kemudian menunduk lagi, lalu kembali berkutat dengan gambarnya.

"Tidak," kata si gadis kecil, "Dia akan menjadi seorang anak saja, rambutnya pendek kecoklatan dengan mata hitam yang indah seperti Ibuku."

"Ibumu seperti dia?"

"Iya, dia juga akan menjadi anak yang lembut dan menyenangkan, seperti Ibuku. Dia sepertinya juga menderita seperti Ibuku. Lihat!"

Si gadis kecil mencoret lingkaran itu dengan krayon berwarna ungu.

"Itu apa?" Si guru tidak paham arti warna keunguan di dalam lingkaran.

"Dia di siksa, Bu. Seperti Ibuku, itu lebamnya." Gadis kecil itu mendongak lagi, menatap gurunya dengan pandangan kosong.

"Bahkan namanya sama seperti Ibuku. Namanya Alessandria."

*******

Hai! Thanks for reading ya...
Semoga alurnya masih menyenangkan...
Diriku juga semakin galau tiap nulis kata-kata di tiap chapter.
Mulai berdebar-debar sendiri....hahaha..
Maaf authornya lebay, nganggap diri sebagai tokoh utama.

Well, semoga kamu suka chap ini ya...
Jangan lupa votes nya! hehehe 😜

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top