enam belas

Aku berdiri di depan pintu apartemen Daniel dengan terengah. Aku tidak yakin mengapa aku memutuskan untuk menemuinya, mungkin karena aku berpikir bahwa kami sama. Sama-sama dipermainan mahluk kecil nan manis bernama Alessandria.

Ya, aku merasa dipermainkan. Bayangkan bagaimana mungkin Alessandria bisa mengetahui nama lengkapku, nama lengkap ibuku, apa dia memata-mataiku dan mencari tau? Anak sekecil dia? Luar biasa!

Lalu, dengan alasan apa dia memanggilku ibu? Untuk alasan apa dia memanggil Daniel ayah? Apa dia terobsesi padaku karena wajahku yang katanya mirip dengan ibunya?

Agak sedikit ragu aku menekan bel di sisi daun pintu.

Sekali...
Dua kali...
Tiga kali...

Tidak ada jawaban. Aku menggigit-gigit bibirku, aku merasakan sesuatu yang berat di dalam dadaku. Aku gelisah karena dia, Daniel tidak membukakan pintu untukku. Aku butuh menjadi waras secepatnya.

Aku ingat! Aku nyaris bersorak kegirangan mengingat hal ini. Sesuatu yang pernah di berikannya pada hari di saat dia menandatangani investasi itu, pada saat kami terikat perjanjian konyol sialan itu.

Aku merogoh saku belakangku, mengeluarkan dompet lipatku. Aku ingat, aku pernah menyelipkan sesuatu di dalamnya. Dan aku menemukannya. Kartu akses apartemen Daniel!

Bodoh! Bisa-bisanya aku tidak ingat kalau dia pernah memberikan benda itu padaku.

Aku bergegas menggesekkan kartu itu di sela-sela kotak kecil yang bertengger di daun pintu, dekat gagangnya. Dan....

Klekk...

Berhasil! Pintunya terbuka!

Aku bergegas masuk, dan membiarkan pintu itu menutup di belakangku.

Apartemennya besar juga, semuanya nyaris berwarna putih. Dindingnya, sofanya, mejanya, langit-langitnya, gordennya, lantainya, bahkan grand piano di bawah tangga yang berwarna putih itu juga berwarna putih. Pintu-pintunya....

Aku bergidik, apakah dia seorang perfectionist atau pemuja warna putih yang berlebihan? Ini mulai terlihat menakutkan.

Aku masih menatap sekeliling ketika tiba-tiba seseorang membuka salah satu pintu dan berjalan terhuyung dengan kepala menunduk. Rambutnya tampak berantakkan dan tubuh tingginya nampak lunglai. Bisa di pastikan manusia di depanku ini mabuk.

Tiba-tiba kepala yang tertunduk itu terangkat, dan menatapku dengan mata biru yang tajam.

Daniel!

Oh my God! Dia mabuk? Dia mabuk di rumahnya, sendirian, berantakkan. Aku terbiasa melihatnya rapi dan classy, bahkan ketika dia mabuk tempo hari atau keesokkan paginya saat aku melihatnya di dapur.

Saat ini, dia terlihat berbeda. Benar-benar berbeda. Rambutnya sama sekali tidak tertata, teracak sana-sini. Kaos putihnya basah, mungkin karena alkohol yang tumpah. Matanya memerah dan wajahnya suram.

Dia tersenyum sinis saat melihatku berdiri di dekat pintu. Lalu melangkah mendekatiku, tersandung beberapa kali namun berhasil menjaga keseimbangannya. Dan sekarang dia sudah berdiri di depanku.

"Kamu," katanya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku. Aroma alkohol langsung menyengat hidungku.

"Kenapa kesini, heh?".

Aku mencoba melangkah mundur, ini terlalu dekat. Tapi ketika aku mundur, aku sudah bersandar pada pintu di belakangku.

Daniel menjulurkan tangannya ke arahku, meletakkan keduanya tepat di sisi kepalaku. Aku terkurung di antara kedua tangannya sekarang.

"Apa kau pikir, menikah itu menyenangkan buatku, heh?" tanyanya lagi, semakin mendekatkan wajahnya padaku.

Aku memejamkan mataku keras. Jiwa pengecutku muncul seketika. Ku kepalkan kedua telapak tanganku kencang dan menahan napasku lama. Keringat mulai mengucur dari keningku. Aku pernah merasakan hal seperti ini. Dulu ketika ayahku suatu hari mendatangiku, dan mengurungku dalam kerangkeng lengan kuatnya yang sedang mabuk. Seperti ini. Adegannya nyata seperti ini. Aku ketakutan. Sepertu dulu, aku merasa takut.

Dan tiba-tiba tawa Daniel meledak. Dia terkekeh melihatku ketakutan, mungkin. Aku membuka mataku dan langsung menutupnya kembali ketika melihat wajahnya masih di depan wajahku.

"Aku tidak tau apa yang menyebabkanmu takut akan komitmen, Margareth Kin ...." Daniel berbicara dengan terengah, dia terdengar lelah.

"Tapi bagiku, perempuan itu...Sara, dia yang membuatku tetap waras selama ini. Karena perempuan lain, terutama ibu kandungku, dia hanyalah seorang pengkhianat!"

Aku nyaris melompat saat dia berteriak di akhir kalimat. Suaranya memekakkan telingaku. Aku mau menangis dan mataku masih terpejam. Aku mau lari dari sini. Daniel membuatku takut.

"Apa tidak bisa kau membantuku untuk berterima kasih pada Sara? Mengapa kau mengatakan tidak untuk menikahiku? Hah?!" bentaknya. Dan seketika pertahananku hancur. Aku menangis dan meraung. Aku menjatuhkan diri di hadapannya, menangis sejadi-jadinya. Aku menangis sampai gemetar.

Dia terlihat menakutkan. Mengingatkanku pada masa laluku. Mengingatkanku pada ketakutanku. Mengingatkanku pada masa kelamku. Dia seperti ayahku.

Daniel menatapku dari posisinya berdiri. Kebingungan namun sinis. Aku masih terus menangis, menangis sampai aku merasa lelah. Menangis sampai aku merasa tenagaku habis. Dan akhirnya aku ... hilang ... gelap ....

*******

Aku terbangun di ruangan serba putih. Cahaya matahari merembes masuk melalui gorden-gorden putih tipis yang masih menutup. Ada sebuah meja tulis yang cukup besar berwarna putih dengan kursi putih juga yang di pasangkan di sudut ruangan. Di atasnya ada frame berwarna putih, yang fotonya tidak terlihat karena terlalu jauh, lagi pula posisinya membelakangi pandanganku. Ada juga lemari kayu besar yang juga berwarna putih. Aku masih di sini ternyata. Di apartemennya.

Dan...arghhh apa ini, ada sesuatu yang berat di atas dadaku, menghalangiku untuk bangun. Aku menengok ke sebelah kananku. Daniel, dia tertidur di sisiku dengan tangannya memelukku, menahanku untuk bangun.

Seketika aku teringat akan kejadian sebelumnya, saat dia begiu kasar dan menakutkan. Seketika aku menjadi panik. Keringat mulai mengucur.

Aku menepis selimut yang membungkus tubuhku dan Daniel.

Astaga! Pekikku dalam hati. Bagaimana caranya aku tidak lagi memakai pakaian yang sama dengan yang kupakai sebelumnya? Saat ini aku menggunakan kemeja putih kebesaran. Dan ... aku mengintip dari kerah bajuku.

Tanpa dalaman! Apa-apaan ini?!

Aku mencoba mengangkat tangannya. Tapi terlalu berat. Tubuhku mulai menegang dan berkeringat lebih deras. Aku harus bisa melepaskan diri darinya. Aku mulai panik.

"Tenanglah, kau bisa berkeringat deras lagi kalau panik begini," suaranya terdengar pelan.

Aku menengok ke arah Daniel. Matanya masih menutup.

"Aku tidak keberatan sih untuk mengganti bajumu lagi," suaranya terdengar menggoda. Lalu dia membuka matanya.

Aku kembali meronta. Dia terdengar mesum! Tidak! Dia memang mesum!

"Sudahlah Kin..." katanya pelan sambil menarikku mendekat kepadanya. "Tidurlah sebentar lagi, kau membuatku takut semalam."

Lalu dia mengelus rambutku pelan dengan tangannya yang bebas. Tangan satunya, masih menahanku di dada.

Aku menatapnya. Kali ini dia terlihat menyenangkan. Senyumnya mengembang dan tulus. Matanya terlihat teduh menenangkan. Aromanya tidak lagi beraroma alkohol, tetapi aroma wewangian yang membuatku merasa nyaman.

Aku menarik napas panjang. Dan entah keberanian dari mana, aku mendekatkan kepalaku ke dadanya. Meringkuk di dalam sana dan merasa nyaman. Aku menyukai baunya. Harum, menenangkan seperti wangi ibuku dulu.

"Maafkan aku, ya ... kalau semalam aku membuatmu takut," bisik Daniel. Yang berhasil menjadi pengantar tidurku.

Debar jantungku yang tadinya cepat, perlahan melambat. Deru napasku yang cepat, mulai kembali sebagaimana mestinya. Pikiran kacauku, mulai menjadi normal.

Aku merasa nyaman. Aku merasa kalau aku mulai menjadi waras.

Hmmm ... Aku lupa ....
Terakhir kali aku merasa nyaman ....
Mungkin dulu ... tapi aku tidak ingat lagi.

*******

Thanks for reading...
Jangan lupa vote nya ya...
thanks!

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top