empat belas

Aku harap aku salah dengar. Yang benar saja? Menikah? Bahkan berhubungan serius dengannya pun tidak pernah ada di pikiranku. Memangnya dia siapa memintaku menikahinya hanya kerena ibunya menginginkannya demikian.

"Aku tidak akan menikah!" ketusku.

"Aku tau," katanya. "Kau pikir aku mau? Aku juga sedang memikirkan bagaimana caranya supaya aku tidak menikah denganmu." Dia sepertinya tidak kalah kesalnya denganku.

Aku mendengus. Seharusnya dia langsung mengatakan tidak pada saat ibunya memintanya melakukan itu. Pernikahan is not my thing.

"Jadi kita akan kemana sekarang? Kau mau mendiskusikan apa denganku?" tanyaku.

Daniel melirik ke kursi belakang lewat spion tengah. Alessandria terlihat sedang menikmati pemandangan di luar jendela.

"Nanti saja." Lalu dia kembali berkonsentrasi dengan jalan di depannya. Okay, aku paham. Mungkin tidak baik bagi Alessandria mendengarkan kami berdebat seperti ini. Jadi aku harus menahan diri.

"Jadi ke taman hiburan?" tanya Daniel.

Aku berbalik melihat Alessandria yang saat ini matanya berbinar. Moodku sebenarnya sudah hilang untuk pergi ke taman hiburan. Tapi mata bulat itu terlihat sangat berharap. Mana tega?

"Jadi?" tanyaku bertanya menggoda ke arahnya.

"Jadi dong, Mommy! Jadi ya...jadi ya, Daddy." Dia terdengar bersemangat.

"Okay!" seruku tak kalah bersemangat, "let's go, Daddy!" Aku menatap ke arah Daniel, menunggu reaksinya. Tapi dia tidak mengatakan apapun, dia hanya tersenyum.

Oh my God, aku menepis bayangan yang melintas di kepalaku. Kau tau, bayangan itu. Bayangan mengenai sebuah keluarga kecil. Itu membuatku bergidik. Itu menakutkan.

*******

Daniel menyerahkan tiga buah tiket ke arah petugas penjaga wahana bianglala. Alessandria melompat-lompat kegirangan tidak sabar. Sejak awal dia langsung menunjuk kincir raksasa dengan sangkar-sangkar berisi manusia yang bergelantungan di sekelilingnya itu.

Si petugas menerima tiket kami, tapi kemudian mengembalikan satu kepada Daniel.

"Kelebihan satu Pak," katanya sambil tersenyum ramah dan menyerahkan tiket yang di sebut kelebihan itu ke tangan Daniel.

"Apa anak lima tahun tidak di hitung?" tanya Daniel bingung.

"Kami bertiga, Pak. Apa anak kami tidak di hitung?" tanyaku menambahkan.

"Anak?" tanyanya sambil celingukan seperti mencari-cari sesuatu. Apa penglihatan bapak petugas ini bermasalah? Atau dia ada kesulitan berhitung? Masa dia tidak bisa melihat kami bertiga? Aneh.

"Ya sudah...yuk!" Aku menarik Daniel yang sepertinya hendak mengucapkan sesuatu lagi kepada si petugas, karena Alessandria sudah berkali-kali menarik tanganku untuk segera naik. "Anggap saja bonus." bisikku ke telinganya.

Daniel mendelik tidak setuju. Tapi akhirnya dia mengikuti juga setelah melempar pandangan aneh bercampur kesal ke arah petugas.

Petugas itu tidak berkomentar apa-apa lagi. Dia membantu kami mengunci sangkar kami. Dan mendorongnya perlahan sehingga kami mulai berputar.

"Kau menyukainya?" tanyaku pada Alessandria. Dia mengangguk kencang.

"Aku suka, Mom!" jeritnya senang.

"Kalau begitu," Daniel mengacak rambut Alessandria pelan, "kita akan sering-sering datang ke sini. Setuju?".

"Yeaaaa!!!" Alessandria bersorak girang dan menghambur ke arah Daniel. Dia memeluk pria yang di panggilnya ayah itu kencang-kencang.

Daniel menatapku, dia tersenyum penuh arti. Aku membalas senyumnya sekilas. Aku pikir dia sudah mulai terbiasa dengan panggilan itu. Daddy. Baguslah.

*******

Daniel sedang sibuk menelpon di kejauhan. Sepertinya dia sedang meminta tolong seseorang untuk mengambil mobilnya yang masih tertinggal di parkiran TReal.

Aku dan Alessandria, kami sedang beristirahat sambil berdampingan bermain ayunan. Sesekali anak itu mengerakkan tubuhnya agar ayunan itu bisa mengayun lebih tinggi.

"Hati-hati..." kataku khawatir kalau dia akan terpental dan jatuh.

Aku menatap Alessandria yang terus berayun sambil tertawa girang. Kadang aku merasa kasihan padanya, bahkan sampai hari ini tidak ada seorangpun yang datang mencarinya. Aku sering mengamati iklan di surat kabar saat sedang senggang di kantor, atau iklan mengenai orang hilang di televisi. Tapi tidak ada seorangpun yang mencarinya. Namanya tidak pernah muncul sekalipun.

Apa anak ini sebenarnya anak dari suatu hubungan yang tidak di harapkan? Hubungan yang tidak setia? Hubungan yang menyakitkan? Sehingga dia di siksa dan di campakkan seperti ini?

Lihat kan, ada berbagai macam kemungkinan. Dan semua kemungkinan yang terpikirkan adalah semua alasan bagiku untuk tidak memiliki komitmen apalagi menikah! Yang benar saja, kalau akhirnya sakit, untuk apa?

"Kita pulang sekarang?" tiba-tiba Daniel sudah berada di belakangku. Dia berbisik sangat dekat di telingaku, sehingga aku bisa merakan napasnya menggelitik telinga dan leherku.

Tanpa bisa kuhindari, kudukku meremang. Aku memutar kepalaku, dan wajah kami hampir saja bertubrukkan. Ini terlalu dekat. Refleks aku berdiri. Daniel juga menegapkan tubuhnya. Aku harap wajahku tidak memerah.

"Mengapa wajahmu merah begitu?" tanya Daniel heran.

Shit! Ini memalukan.

"Hmm...tidak tau, mungkin aku memang agak tidak enak badan," jawabku asal. Alasan yang sangat tidak masuk akal.

"Benarkah?" Daniel menjulurkan tangannya hendak memegang keningku. Aku langsung mundur selangkah, aku tidak ingin dia menyentuhku.

"Aku hanya ingin memastikan..." dengusnya sambil menarik tangannya dan memasukkannya ke saku celana.

"Pulang?" tanyaku.

"Iya...sudah sangat sore. Lagipula, kita harus membahas mengenai pernikahan kita," Dia menggoda. Matanya terlihat licik bagiku. Ini menyebalkan.

Aku melengos dan memanggil Alessandria.

"Kita pulang?" tanya Alessandria.

"Sudah sore, kita bisa ke sini lagi lain waktu," ajakku.

"Yahhh padahal aku masih ingin main, Mommy." Wajahnya cemberut kecewa. Tapi dia tetap turun dan meraih tanganku yang menjulur untuk menggandengnya.

"Daddy, apa kita akan kemari lagi?" tanyanya sambil menatap Daniel penuh harap.

"Tentu saja, sayang." Daniel meraih tangan Alessandria yang bebas dan menggandengnya juga.

"Benarkah?" Alessandria ingin kepastian.

"Tentu saja." Suara Daniel terdengar tegas dan penuh janji

*******

Hari sudah gelap ketika kami tiba. Daniel memarkir mobilku di halaman. Aku melihat mobil mewahnya sudah terparkir di depan rumahku. Sepertinya dia meminta seseorang membawa mobilnya ke sini.

Alessandria sudah tertidur pulas di jok belakang. Dengan cekatan Daniel menggendongnya sementara aku membuka pintu. Daniel membawa tubuh kecil itu langsung ke kamar tidur. Dan meletakkannya dengan sangat hati-hati di atas tempat tidur.

Lalu dia menarikku ke luar, ke ruang depan, duduk di atas sofa.

Dia menatapku serius. Sepertinya kami akan segera membahas mengenai pernikahan itu.

"Menikahlah denganku," pintanya dengan suara tertahan yang membuatku nyaris tersedak liurku sendiri.

Bukannya tadi dia bilang kalau dia sedang memikirkan cara agar tidak menikah denganku? Tapi ini, apa yang dia lakukan? Dia justru memintaku menikah dengannya? Yang benar saja!

"Daniel!" Suaraku tinggi, aku protes!

"Ini hanya pura-pura, pernikahan pura-pura," katanya lagi.

Tetap saja! Batinku kesal, tidak terima.

"Ini tidak ada di perjanjian!" sahutku ketus.

"Kita perbaharui perjanjiannya." katanya, "Lagipula investasi itu ada kemungkinan batal."

Oh syukurlah dia mengingatkanku. Investasi itu akan dibatalkan, berarti perjanjian kami juga seharusnya di batalkan. Aku lega memikirkan bahwa aku akan segera terbebas dari perjanjian konyol itu.

"Nilai investasi itu, sejumlah lima juta dollar, aku akan melimpahkannya di rekeningmu," katanya. "Itu adalah bayaran untuk menikahiku, itu nilai dari perjanjian baru kita."

Apa dia mencoba memperdayaku dengan uang kali ini? Nilainya memang menggiurkan, tapi aku tidak tertarik. Aku tidak butuh uangnya. Aku butuh kebebasanku. Segera!

"Tidak!" tolakku sinis.

"Hanya sebentar," tambahnya. "Hanya tiga bulan, sampai Ibu tiriku mati ... tolonglah." Dia memohon.

Aku tercekat mendengar perkataannya. Daniel menatapku, berharap, menunggu jawaban.

Drama apalagi ini?

*******

Thanks for reading!

Please vote if you like this chapter...
⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top