dua puluh satu
Aku memeluk Daniel dengan bergetar. Aku rasa aku akan jatuh kalau sampai melepaskan pelukanku.
"Kau kenapa?" tanyanya panik.
"Dokter itu, dia menganggapku gila." Aku menunjuk ke arah Nico tanpa menatap ke arahnya.
Aku bisa mendengar langkah kaki Nico mendekat, membuatku semakin membenamkan wajah ke dada Daniel. Mengharapkan pertolongan.
"Aku tidak mengatakan kau gila, Kin." Nico mendesah ketika dia sudah tiba di dekatku. Daniel mengalungkan lengannya ke tubuhku erat, protektif. Aku merasa aman.
"Aku tidak mengatakan dia gila, Pak." Kali ini sepertinya dia berbicara kepada Daniel. "Aku mengatakan aku akan menolongnya, membantunya mengatasi depresi dan traumanya." Nico berusaha menjelaskan.
"Aku tidak mau!" ketusku.
"Dia tidak mau." Daniel mengulang ucapanku datar.
"Tapi Pak," Nico sepertinya tidak suka dengan ucapanku dan Daniel, "Kin butuh bantuan.".
Aku memejamkan mata kencang, berusaha menulikan telinga. Aku tidak ingin mendengar perkataan Nico lagi. Namun percuma, suaranya seakan bergema terlalu jelas.
Tiba-tiba aku merasakan ujung bajuku ditarik. Merunduk, kutemukan Alessandria sedang tersenyum sambil mempermainkan baju bagian bawah yang kukenakan.
"Mommy, ayo kita pulang," ajaknya dengan mata berbinarnya yang menggemaskan.
"Alessandria!" Aku berseru nyaris melompat kegirangan melihatnya ada di sini.
Aku bermaksud melepaskan pelukan, tapi Daniel menahanku. Dia mengurungku dalam pelukannya.
"Tidak ada Alessandria di sini," bisiknya.
"Apa maksudmu?" tanyaku heran. Jelas-jelas Alessandria ada di sini, di sampingku, di hadapan Daniel. Dia sedang mempermainkan ujung bajuku, dia mengenakan piyama pink favoritnya. Dan Daniel bilang dia tidak ada?
"Siapa Alessandria?" Nico bertanya lembut. "Apa dia ada di sini?".
"Dia tidak mengatakan apa pun!" Daniel membalik tubuh sehingga saat ini posisinya membelakangi Nico. "Kami akan datang kembali, ketika kami membutuhkanmu."
Kemudian Daniel menarik tanganku menjauhi Nico. Aku bisa mendengar Nico mengatakan kalau dia akan sangat menunggu kehadiranku, tapi aku rasa aku tidak akan datang kembali padanya. Percuma.
Alessandria mengikuti langkahku dan Daniel. Dia bersenandung. Lagu yang sangat kuingat. Dulu aku dan Ibu sering menyanyikan lagu itu bersama. Twinkle twinkle little star. Gadis kecil itu berjalan dengan cepat, mengimbangi kami. Langkahku yang terseok, mengikuti langkah lebar Daniel.
Dan kami melewati sebuah kamar, kamar yang pintunya sedikit terbuka. Tanpa sengaja aku melihat ke dalamnya. Sekilas melihat sosok Annisa yang sedang berdiri di sisi tempat tidur, yang kuyakini Ryu ada di atasnya. Annisa tampak sedang tertawa mengikik saking gelinya. Sangat kontras dengan perasaan gelisahnya yang terdengar saat dia bicara dengan Daniel tadi.
Daniel terus menarikku sampai ke taman di halaman rumah sakit, dan berhenti ketika kami berada di tempat yang lumayan sepi.
"Jadi apa keputusanmu?" tanyanya sambil menatap ke arahku tajam.
"Keputusan apa?" tanyaku bingung.
"Apa kamu akan menikah denganku?" tanyanya lagi, nada bicaranya mendesak.
Aku mematung. Bimbang.
"Aku hanya bisa melindungimu, kalau kamu memang milikku. Dan aku berjanji, tidak akan menyakitimu sedikit pun." Daniel berusaha meyakinkanku.
"Kamu tidak mencintaiku," kataku datar.
"Kamu juga tidak mencintaiku. Benar?" Daniel bertanya.
Benar juga. Kami sama-sama tidak saling mencintai. Hanya ada kepentingan masing-masing. Aku yang membutuhkannya untuk melindungi dan mengakui keberadaanku, dan dia yang membutuhkanku untuk perjanjiannya dengan Sara. Selebihnya, kami hanya dua manusia yang tidak mempercayai cinta dan komitmen, yang merasa terancam dengan pernikahan.
Pada intinya, tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar menginginkan pernikahan ini.
"Ayo Mommy, ayo menikah dengan Daddy!" Alessandria meraih tanganku dan mengayun-ayunnya. Kata-katanya terdengar seperti rajukan yang menyihir.
"Apa kamu melihat dimana Alessandria?" tanyaku menyelidik. Aku ingin tau apakah menurutnya aku juga gila dan mengatakan kalau dia tidak melihat Alessandria.
"Dia ada di sisimu. Memintamu menikahiku." Daniel menjawab dengan tepat, dan itu menenangkan. Aku tidak gila.
"Kamu akan memisahkan kami suatu saat?" tanyaku lagi.
"Tidak. Untuk apa? Aku juga menyukainya." Daniel terdengar meyakinkan.
Aku menutup mata dan menarik napas panjang. Aku sedang membulatkan tekat, sedang berdamai dengan rasa takut. Meski gelisah, aku harus memberikan keputusan.
"Ayo kita menikah," desisku sambil membuka kelopak mata dengan perlahan. Menatap dalam lelaki di hadapanku. Daniel Kimura, calon suamiku.
***
Petugas polisi di hadapan menatap dengan pandangan menyelidik yang membuatku merasa tidak nyaman. Membuat kursi yang kududuki jadi terasa panas. Walaupun petugas itu duduk di kursi di seberang, entah mengapa aku merasa dia menatap dengan pandangan menuduh.
Setauku, dia akan menanyai mengenai Ryu yang terluka di rumahku hanya sebagai saksi. Namun, caranya menatap membuatku merasa sebagai seorang tersangka.
Selain itu aku merasa kesal dengan Daniel yang mendadak ada meeting yang katanya sangat penting, sehingga tidak bisa menemaniku hari ini.
Biasanya aku merupakan tipe mandiri yang tidak bergantung dengan siapa pun. Namun, akhir-akhir ini aku merasa sedang berada di titik terawan. Aku merasa tidak aman dengan kepercayaan diri yang berkurang drastis. Semua orang mendadak tidak dapat dipercaya.
"Mengenai kejadian dua hari lalu di rumahmu," Petugas itu mulai berbicara, "apa kau tau mengapa Ryu Morgan mendatangimu selarut itu?"
Aku menggeleng cepat.
"Aku tidak tau," sahutku. "Dia hanya mengatakan ingin membicarakan sesuatu."
"Kau tidak bertanya apa itu?" Petugas itu menyelidik.
"Aku tidak mau tau. Tidak tertarik," jawabku jujur.
Petugas polisi itu mengangguk dan sepertinya mencatat sesuatu di buku catatan kecilnya.
"Tapi kau membukakan pintu untuknya?"
"Aku membuka pintu untuk menyuruhnya pergi. Dia berisik," jawabku dengan jujur, sekali lagi.
"Lalu?"
"Lalu aku membuka pintu dan dia langsung tersungkur dengan tubuh yang berdarah." Aku bergidik, membayangkan darah yang mengalir. Aku mulai berkeringat karena gelisah. Jadi aku mengambil botol air mineral yang sengaja disediakan di atas meja, meminumnya hingga nyaris habis.
Petugas itu memberikanku senyum miring. Aku mendengkus, dia sama sekali tidak bersahabat.
"Kau sendirian di rumah?" tanyanya lagi.
"Tidak."
"Ya, anda sendirian Nona," katanya lagi.
" Tidak. Aku bersama Alessandria, anakku." Aku menahan ucapan, berpikir sejenak. "Anak asuhku, maksudku." Aku meralat. Jangan sampai ada keanehan ketika mereka mengecek latar belakangku yang ternyata single tanpa anak. Atau bisa saja mereka akan menjeratku dengan pasal lain. Seperti penculikan, misalnya.
"Anda berbohong, Nona." Petugas itu berkata dengan gigi yang gemeretak.
"Aku tidak bohong!" Suaraku meninggi, "Aku ada dirumah dengan Alessandria, anakku. Dan aku memeluknya karena dia pucat ketakutan melihat darah.".
"Anda yang melukai Ryu Morgan, bukan?"
Dia menuduhku! Petugas sialan ini menuduhku!
"Aku tidak melukainya, buat apa aku melukainya?!" seruku kasar. Aku mulai merasa kantor polisi ini gerah. Pendingin udara sepertinya tidak berfungsi.
"Kalau kau bisa berbohong mengenai seorang anak, bisa saja kau berbohong mengenai hal lain. Misalnya, hal melukai Ryu Morgan." Dan petugas itu tersenyum penuh kemenangan. Seakan telah menemukan kartu AS dari kasus ini.
Aku menatap petugas itu dengan penuh kebencian.
"Kau tidak memiliki bukti apa pun!" ketusku lagi.
"Ya, Nona, aku punya bukti kalau kau berbohong, berbohong tentang anak itu." Senyumnya semakin melebar.
Aku merasa jantungku kembali berdebar cepat. Bukti apa yang dia punya tentang Alessandria? Apa sebenarnya yang mau dia buktikan?
Aku menatapnya menantang. Menunggu kartu AS yang akan dilemparnya ke wajahku.
****
Vote, yes!
⏬⏬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top