dua puluh lima
Kin POV
Aku langsung memeluk Alessandria, aku tidak tahan melihatnya menangis. Alessandriaku tidak seharusnya bersedih hanya untuk alasan yang....
Ahhh, bagaimana dia bisa mengetahui kalau aku menemui Nico? Bahkan dia tidak berada di sana hari ini. Apa dia mengikutiku ke kantor polisi lalu mengikuti juga saat aku ke rumah sakit? Bagaimana caranya?
"Kin.".
Aku mendengar Daniel memanggilku, suaranya seperti menggeram. Aku melepas pelukkan dari Alessandria dan menatap Daniel. Dia terlihat tegang dengan tangan yang mencengkram ujung-ujung sofa. Matanya berkilat marah dengan gigi yang gemeretak.
Owh! Aku belum mengatakan mengenai Nico padanya. Bukan belum sebenarnya, tapi memang tidak ingin. Aku tidak ingin dia menjadi khawatir atau menjadi emosi. Seperti saat ini, dia terlihat emosi dengan wajah yang menakutkan.
"Alessandria," bisikku ke telinga Alessandria, "tunggulah di luar. Ada seorang perempuan di depan bernama Mia, katakan kau anakku, dia akan menjagamu dengan baik. Okay?"
Aku tersenyum sambil mencuil hidungnya. Alessandria mengangguk dan keluar ruangan ketika aku membukakan pintu untuknya.
Aku bangkit dan menatap Daniel.
"Ya, Daniel. Ada apa?" tanyaku pelan sambil berjalan ke arahnya. Aku memperhatikan cengkramannya mengendor. Sepertinya dia mulai menguasai dirinya. Dan semakin mengendor seiring aku mendekat kepadanya. Wajahnya mulai terlihat santai, dan di detik kemudian dia sudah menarikku lagi ke atas pangkuannya.
"Kau membuatku serba salah, Sugar." Kali ini suaranya masih berupa geraman, tapi menggelitik di telingaku. Dia menggeram tepat di telingaku.
"Dan kelakukan seperti ini membuatku berpikir dua kali tentang banyak hal," keluhku dengan suara manja, "Jangan membuatku merasa tidak nyaman." Aku memperingatkan.
Daniel mengerutkan wajahnya, dia terlihat menyesal.
"Kau kan tau, tidak boleh berhubungan dengan lelaki lain selama perjanjian."
"Tidak ada lagi perjanjian, Tuan Daniel, kau lupa? Itu sudah tidak ada," aku memotong kalimatnya, kembali mengingatkannya.
Daniel membuang napas kasar, lalu mengangkatku dari pangkuannya. Meletakkanku dalam posisi duduk di sofa di sebelahnya.
Dia sendiri berdiri dari duduknya, menuju ke meja kerja putihnya. Mengangkat gagang telpon mejanya dan memencet beberapa tombol.
"Mia," katanya, "kalau Alessandria bersamamu mungkin kau bisa membawanya membeli eskrim."
Well, Daniel yang perhatian.
"Begitukah?" Daniel mengerutkan keningnya. "Ok, baiklah." Lalu dia menutup gagang telponnya.
Kemudian dia menatapku kembali sambil bersandar ke mejanya.
"Apa kau akan menceritakannya sekarang?" tanyanya kepadaku.
"Mengenai?" Pertanyaan bodoh sekali ya? Padahal aku yakin yang di maksudnya adalah Nico.
"Oh please, Kin." Daniel menutup matanya, mulai mencengkram pinggiran meja.
Ok, aku rasa aku tidak boleh bermain-main dengannya saat ini. Moodnya pasti sudah terlanjur jelek saat kedatangan ibunya tadi.
"Sebenarnya," Aku menahan bicaraku, memperhatikan Daniel yang perlahan membuka matanya dan merenggangkan cengkramannya.
"Sebenarnya menurut dokter Nico, aku histeris dan pingsan di kantor polisi sehingga aku kembali dibawa ke rumah sakit. Dan aku langsung di rujuk ke departemennya," Aku menjelaskan.
"Kau histeris dan pingsan di kantor polisi?" Daniel terlihat cemas sekarang.
Aku mengangguk.
"Mengapa kau histeris dan pingsan?" tanyanya lagi masih terdengar khawatir.
"Itu yang aku tidak tau. Aku lupa," keluhku.
Daniel bergegas menghampiriku dan duduk lagi di sebelahku.
"Masa kau tidak ingat sesuatu?" Kali ini dia mendesak. Aku mengerutkan keningku, menandakan kalau aku tidak suka di desak.
Daniel mengatur ulang duduknya, memberi sedikit jarak, sehingga aku memiliki ruang lebih. Dia tau dia tidak bisa mengintimidasiku saat ini atau aku akan mulai berkeringat dan bergetar hebat. Dia semakin sangat pengertian.
Kemudian aku memejamkan mataku, mencoba untuk me-recall kejadian di kantor polisi. Aku ingat saat petugas sialan itu mengatakan memiliki bukti mengenai kebohonganku tentang Alessandria. Aku juga ingat bagaimana aku memandangnya dengan menantang. Tapi setelahnya aku lupa...lupa...
Argh!
Kepalaku jadi sakit karena satu hal mengusikku.
*******
"Kau tidak memiliki bukti apapun!" ketusku.
"Ya Nona, aku punya bukti kalau kau berbohong, berbohong tentang anak itu." Senyum petugas itu semakin melebar.
Aku merasakan jantungku berdebar cepat. Lalu petugas itu melempar se-bundle berkas ke arahku. Aku hanya menatap berkas itu tanpa menyentuhnya. Aku khawatir sidik jariku akan ada di berkas itu dan menjadi barang bukti. Konyol memang, tapi saat ini aku menjadi senaif itu.
"Kau tidak ingin melihatnya, Nona Margareth?" Petugas itu sinis kepadaku.
"Katakan saja!" seruku masih dengan nada angkuh yang menantang. Aku berusaha menutupi rasa berdebarku.
"Well," Petugas itu berdehem sebelum memulai kalimatnya. "Kami memeriksa seluruh sudut rumah anda saat anda di rumah sakit kemarin."
Aku membelalakkan mataku, mereka lancang menggeledah rumah tanpa persetujuanku? Bisa-bisanya!
"Jangan kuatir, kami memiliki surat perintah. Suratnya ada di tumpukan berkas itu." Petugas itu menunjuk berkas di hadapanku dengan malas, seakan dia bisa membaca pikiranku saja.
Aku merengut, menatap tumpukan berkas dan kembali menatap si petugas. Aku masih enggan menyentuh berkas-berkas itu.
"Team-ku mencari keseluruh penjuru rumah anda, dan kecewa karena tidak ada apa pun yang kami temukan. Aku meminta laporan sidik jari. Tidak ada sidik jari orang lain selain sidik jarimu, Nona Margareth. Owh! Aku lupa, dan beberapa sidik jari Tuan Daniel Kimura juga ada di sana."
"Ada Alessandria juga pastinya!" sambarku.
Dia menggeleng.
"Bersih! Tidak ada sidik jari apapun lagi selain kalian berdua. Tidak ada bukti kau bersama siapapun pada malam kejadian. Kami juga memeriksa cctv di rumah anda. Anda hanya sedang duduk santai menonton tv sambil mengemil saat kejadian. Sesekali anda berbicara sendirian. Lalu anda bangkit menuju pintu depan . Dan sayangnya, apa anda tidak sadar cctv anda yang memantau pintu depan rusak? Kami tidak bisa melihat kejadian selanjutnya. Kami hanya bisa melihat anda berlari ke arah kamar dari sana."
Aku menekan dada dengan tanganku karena sesak. Jelas-jelas pada saat itu aku menonton dan berbincang dengan Alessandria. Dia bilang apa? Aku menonton dan berbincang sendirian? Yang benar saja, memangnya aku gila?
Mengapa aku bisa melupakan tentang cctv? Aku memang memasangnya di beberapa sudut rumah, lagipula itu fasilitas standard pada saat aku membeli rumahku dulu. Dan aku melupakan hal kecil yang sangat penting seperti itu.
"Tidak ada siapapun selain anda pada saat kejadian itu, Nona. Sudahlah, kau pasti berlari ke kamar pada saat itu karena kau panik telah melukai Tuan Ryu Morgan. Sayangnya cctv anda rusak, dan alat yang digunakan untuk meluka Tuan Morgan belum kami temukan. Mungkin anda bisa memberi tahu kami dimana anda menyembunyikan alat itu? Yang menurut penyelidikkan kami bisa jadi berupa sebuah cutter." Dia mendesakku. Petugas itu saat ini sudah berdiri dengan mencondongkan tubuhnya melewati meja ke arahku.
Aku merasakan keringat mengucur di keningku deras. Tubuhku mulai bergetar hebat. Napasku mulai sesak.
"Anda kenapa, Nona Margareth?" Petugas di hadapanku berubah cemas.
Tapi aku tidak bisa menjawabnya, yang bisa kulakukan hanya menangis dan berteriak histeris. Aku gila! Aku menonton dan bicara sendirian! Aku melukai Ryu!
Membayangkan hal itu semakin membuatku merasa nyeri. Lalu semuanya menjadi gelap.
Aku tidak mau mengingatnya lagi. Kejadian dan perkataan brengsek si petugas sialan. Aku harap aku melupakannya.
*******
Please vote, comment and shares ya...thanks! 😘😘😘
⏬⏬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top