dua puluh empat

Daniel POV

"Mengapa kau kembali, Ibu?!" Suaraku terdengar frustasi. Aku merasakan genggaman Kin yang semakin mengeras di tanganku. Aku tau dia mencoba menenangkanku. Berusaha membuatku stabil.

"Apa maksudmu, Daniel? Mengapa kau begitu kasar padaku? Aku Ibumu!Sungguh, Ibu merindukanmu, Nak." Lily, perempuan pengkhianat itu, ibuku berbicara seakan dia benar-benar merindukanku selama ini.

Cih! Sesungguhnya, melihat wajahnya saja aku sudah muak. Aku mulai menarik dan menghembuskan napasku pelan-pelan. Aku harus tetap stabil. Setidaknya aku tidak ingin Kin melihatku mengamuk. Aku ingin dia tetap merasa aman bersamaku. Aku tidak ingin dia pergi dan membatalkan pernikahan kami.

"Sugar," kataku sambil menatap Kin. "Bisakah kau menungguku di luar, sementara aku berbicara dengan Ibuku?" pintaku.

"Apa kau akan baik-baik saja?" Kin bertanya, terdengar seperti desahan menggelitik di telingaku. Aku selalu menyukai bagaimana dia berbicara. Terdengar menenangkan sekaligus mengajak.

"Iya." Aku mengangguk. "Aku akan baik-baik saja."

Dia menatapku lalu tersenyum sekilas, kemudian melangkah menuju pintu. Aku berdoa agar dia tidak perlu tersenyum ke arah Lily, tapi doaku sia-sia. Dia terlalu ramah dan baik untuk tidak tersenyum sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Dan aku membenci bagaimana Lily menatap Kin di sepanjang dia melangkah. Dia menatapnya seakan menilai. Dia tidak berhak menilai Kin sejengkalpun.

"Boleh Ibu duduk?" Lily bertanya ketika pintu sudah tertutup rapat dan pandangannya terlepas dari sosok Kin.

Aku belum menjawab pertanyaannya, tetapi dia sudah mendudukkan dirinya di atas sofa di depanku. Dia pikir dia bisa menguasaiku? Dia sudah tidak berhak atasku sedikitpun.

"Kantormu bagus, kau akhirnya menjadi sukses." Pujiannya terdengar sinis di telingaku.

"Katakan apa yang kau mau dan segera pergilah dari sini," kataku kesal.

"Mengapa kau tidak duduk dulu, sayang?" ajaknya. Namun aku tetap berdiri, aku malas mengikuti maunya. Dia tidak bisa mengaturku.

"Kita harus bicara tentang perempuan itu. Calon istrimu, kan? Siapa namanya? Margareth Kin?"

Aku menahan napas, terkejut. Bagaimana bisa dia mengetahui tentang Kin? Bahkan sedari tadi aku tidak menyebut nama maupun status Kin di hadapannya.

Lily tersenyum ke arahku. Tangannya bergerak menyuruhku duduk. Mau tidak mau aku duduk karena penasaran mengenai sejauh apa yang dia tau.

"Aku sedang membayar hutangku padamu, sayang." Lily tersenyum dan aku menegang. Hubungan kami benar-benar sekaku ini. Aku benar-benar tidak menghendaki kehadirannya.

Ya, aku tidak menganggapnya ada sejak dia meninggalkan ayahku dan aku bersama pria lain. Tidak sebenarnya bukan sejak itu, tapi bahkan sejak beberapa waktu sebelum itu. Sejak tanpa sengaja aku mendengar dia mengatakan kepada ayahku kalau dia bahkan tidak yakin kalau aku adalah anak dari ayahku. Player!

Aku mendengar cerita bagaimana dia meminta ayah menikahinya dulu, dia datang dengan aku di kandungannya, memohon agar ayah bertanggung jawab karena dia merasa malu. Lalu ketika pria brengsek itu datang, dia dengan tanpa malu menggodanya, mengatakan kalau aku bukan anak ayahku, lari bersamanya dan meninggalkanku dengan segala rasa canggung, penolakkan dan rasa terbuang.

Dia tidak tau bagaimana ayah terpuruk dan mabuk setiap malam setelahnya. Sampai suatu hari Sara, yang hanya berbeda sepuluh tahun dariku, datang dan mengobati lukanya.

"Aku sudah menemui Sara, dia menceritakan mengenai kau dan Margareth."

Aku mengepalkan tanganku kencang, menahan amarah.

"Untuk apa kau menemui Ibuku, Lily?" geramku tertahan.

Lily menatapku lagi-lagi kecewa.

"Kau menganggap wanita jahat itu ibu, sedangkan aku yang ibu kandungmu justru kau sebut dengan tidak sopan. Apa wanita jahat itu menghasutmu?" Lily bertanya menyelidik.

"Dia tidak lebih buruk darimu, setidaknya dia tidak meninggalkanku seperti kau." Bicaraku terdengar seperti erangan, aku mencoba menahan emosiku.

"Dia melayani ayah dengan baik meskipun dia juga bersama dengan orang lain. Dia mengasuhku dengan segenap hati meski di sisi lain dia hendak memusnahkanku demi harta Ayahku. Tapi setidaknya, dia tidak meninggalkan kami, brengsek!" Aku tidak bisa lagi menahan emosiku, wajahku terasa panas, hatiku terbakar. Aku melempar semua benda yang ada di atas meja di depanku. Asbak dan vas bunga yang ada di atas meja berjatuhan dan pecah dengan mengeluarkan suara berisik.

Lily membelalakkan matanya terkejut. Sepertinya dia tidak menyangka akan reaksiku. Aku bisa melihatnya mencengkram keras tas yang ada di pangkuannya. Mungkin dia sedang menaikkan pertahanan dirinya dua kali lipat. Matanya awas menatapku, mengira-ngira apa yang akan kulakukan selanjutnya.

"Daniel!"

Kin muncul dari balik pintu. Langkahnya cepat berlari ke arahku.

Oh she's my savior...penyejuk hatiku, my morphine...

Kin bahkan belum sempat duduk ketika lengan panjangku menariknya mendekat, memaksanya naik di pangkuanku dan langsung kupeluk erat.

I am normal now, everything's will be alright now.

"Apa kau sudah gila, Daniel?" Lily bergidik ngeri. Dia bangkit dari duduknya. Menatap dengan pandangan aneh ke arah kami.

Aku bisa merasakan Kin mengelus kepalaku lembut sambil membisikkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku menarik napas dan menghembuskannya berkali-kali. Aku bisa mendengar suara jantungnya yang berirama. Ini menenangkan.

Setelah ini, aku mungkin tidak lagi memerlukan Karel, psikiaterku. Aku hanya memerlukan wanita ini sebagai obat penenangku.

"Kau sebaiknya pergi, Nyonya. Kehadiranmu sangat tidak kami harapkan."

Aku mendengar Kin berkata tegas. Aku tidak bisa melihat bagaimana reaksi Lily, aku fokus memeluk Kin, menyesap seluruh energi positifnya.

"Aku menyesal menyelesaikan satu masalah untuk kalian." Lily terdengar mengeluh. "Kau, sebaiknya kau urus anakku yang gila ini dengan baik!"

Aku bisa mendengar suara heels Lily meninggalkan ruangan, ditutup dengan suara pintu yang berdebum.

"Maafkan aku...," desahku masih membenamkan kepalaku di dadanya, "Tidak seharusnya kau melihatku seperti ini." Aku malu menatapnya.

Kin mungkin sering kali terlihat lemah dan kacau di hadapanku. Tapi tidak seharusnya aku terlihat seperti ini di hadapannya. Jika aku lemah seperti ini, bagaimana mungkin dia akan tetap menyerahkan hidupnya padaku.

Aku menerka, saat ini mungkin Kin sedikit muak dan takut melihatku. Lalu kemudian mungkin dia akan mengatakan kalau dia tidak jadi menikah denganku. Lalu artinya, aku akan kalah dari Sara. Dan yang lebih parah, aku akan kehilangan Kin selamanya. Aku sudah membayangkan hal terburuk dan itu membuat kepalaku sakit.

"Mommy...Daddy..."

Sontak kami berdua menatap ke arah suara, ke arah pintu. Alessandria sedang berdiri di sana dengan wajah masam. Tidak biasanya gadis kecil cantik itu masam seperti ini.

"Alessandria!" Kin melompat dari pangkuanku. Melangkah cepat menghampiri Alessandria. Aku menatap mereka lekat.

Aku bisa melihat air mata mengalir dari matanya. Alessandria menangis? Apa yang membuatnya menangis?

Kin sudah berlutut di hadapan Alessandria, menyeka air mata gadis kecil itu dengan pelan. Mereka terlihat indah seperti malaikat-malaikat tanpa sayap.

"Ada apa sayang, mengapa kau menangis?" Kin terdengar sabar. Tenang.

"Mommy," Alessandria terisak, "aku tidak ingin Mommy menemui dokter Nico lagi. Dia jahat!"

Tanpa sadar aku mencengkram ujung sofa. Bisa jadi kulitnya saat ini lecet karena cengkramanku. Bagaimana mungkin Kin menemui Nico dan dia tidak membicarakannya denganku? Apa dia mulai seperti perempuan-perempuan itu? Menjadi pengkhianat setelah kupercaya setengah mati?

*******

Hai! Semoga kalian suka ya.
Kalau suka jangan lupa Vote, Comment dan Shares cerita ini. Thanks! 😘😘😘

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top