dua puluh

"Apa benar kau berhalusinasi?" Petugas polisi itu masih bertanya menyelidik. Aku meraih ujung selimut, meremasnya gelisah.

Daniel menarik petugas tersebut menjauhiku.

"Anda tidak bisa melakukan ini kepada petugas, Pak!" Si petugas memperingatkan.

"Anda juga tidak bisa memeriksanya tanpa ijin dokter. Sebaiknya anda meminta ijin dokter dulu, Pak. Atau saya bisa menuntut anda!" Daniel balik memperingatkan, "Oiya, dia saksi ... bukan tersangka. Jadi perlakukan calon istriku dengan baik." Daniel menutup kalimatnya dengan kesal, menatapku dengan mata berkilat, memunggungi si petugas.

Petugas polisi itu mendengus kesal, menatap punggung Daniel dengan tidak suka dan kemudian menatapku masih memperingatkan. Aku menghindari pandangannya dengan menatap Daniel. Akhirnya si petugas meninggalkan kami.

"Apa maksudmu aku berhalusinasi?" bisikku ketika yakin petugas itu sudah pergi.

"Jangan membicarakan Alessandria dengan siapapun," Daniel menjawab pelan, "Atau kau akan dianggap gila.".

Aku menatap Daniel, tidak percaya dengan yang aku dengar. Apa yang dia katakan?

"Apa maksudmu? Mengapa mereka akan menganggapku gila?" tanyaku mendesak.

"Ya begitulah." Daniel mengangkat bahunya. Jawabannya sangat tidak memuaskanku.

"Apa kau mau bilang kalau dia tidak nyata?" Aku langsung bergerak untuk duduk, tidak terima dengan apa yang dia katakan. Tapi aku mengurungkan niatku. Aku merasa kepalaku kembali sakit karena gerakkan tiba-tibaku.

"Sudahlah Kin, kita bahas ini nanti." Daniel mencoba menenangkanku.

"Bahkan kau juga melihatnya. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau aku berhalusinasi?" keluhku sambil memejamkan mata berharap pusingku segera hilang.

"Pak Daniel," aku mendengar suara yang ku kenal memanggil Daniel. Suara perempuan yang berat dan sedikit melengking. Annisa Morgan.

Aku malas membuka mata dan memilih mendengarkan dengan mata tertutup. Aku malas untuk berhadapan dengan Annisa sekarang.

"Ya?" jawab Daniel. Dia sepertinya tidak yakin dengan siapa yang ada di depannya.

"Saya Annisa Morgan, terima kasih telah menyelamatkan adikku." Suara Annisa terdengar tulus.

"Ck!" Aku mendengar Daniel berdecak tidak suka, "Jadi dia selamat?".

"Thanks to you!" seru Annisa. "Apa Kin baik-baik saja?" tanyanya.

"Thanks to your brother, she's not okay!" Daniel terdengar ketus. "Sudah kukatakan jangan mengganggu calon istriku lagi. Tapi dia selalu mengganggunya terus. Dan sekarang, merepotkan dengan hampir mati di rumah Kin. Yang benar saja?!".

"Calon istri?" Annisa sepertinya tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Aku tidak tau kalau Kin adalah..."

Annisa tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Daniel langsung memotongnya.

"Oiya, aku bertanya-tanya kapan dana investasiku beserta pinaltynya akan kau kembalikan. Dan sesegera mungkin Kin akan menyerahkan surat pengunduran dirinya. Dia tidak memerlukan gajinya lagi setelah menikah denganku," Daniel berkata tanpa putus. "Dan aku ingin masalah dengan adikmu cepat-cepat selesai. Kami tidak suka berinteraksi dengan manusia tidak penting seperti dia," tandasnya tanpa basa basi.

Hampir saja aku mau mengikik, aku nyaris tidak dapat menahan tawaku. Aku mau membuka mataku dan melihat reaksi Annisa mendengar rentetan kalimat pedas dari Daniel. Tapi Daniel cepat menahan tanganku. Memberi tanda agar aku tidak bergerak.

"Begitukah?" Annisa berkata datar.

Saat ini aku membayangkan Annisa terperangah. Aku membayangkan matanya yang mungkin saat ini melotot dan menahan amarah.

Hening beberapa saat. Membuatku semakin penasaran.

"Kalau begitu," Suara Annisa terdengar melemah, "Aku minta maaf atas nama Ryu. Mengenai uangmu dan pinaltynya, apakah aku bisa meminta keringanan?".

"Cih!" Daniel terdengar meremehkan, "Akan ku diskusikan dengan Kin nanti."

"Baiklah." Kali ini suara Annisa terdengar pasrah. "Aku harus menjenguk Ryu dulu. Permisi.".

Lalu hening lagi. Aku saat ini sudah benar-benar malas membuka mataku. Aku rasa sebentar lagi aku akan kembali tertidur.

"Ibu?"

Aku mengurungkan niatku untuk kembali tidur. Dengan tetap memejamkan mata aku menajamkan kembali telingaku.

"Mengapa Ibu ada di sini?"

Suara berkerit dari roda terdengar halus. Sara ada di sini. Itu pasti kursi rodanya. Mengapa dia ada di rumah sakit?

"Seperti biasa, cuci darah."

Oh! Dia cuci darah. Aku ingat tempo hari Daniel mengatakan kalau Sara menderita ginjal kronis dan harus cuci darah hampir setiap hari.

"Apa Kin sakit?" tanya Sara, suaranya terdengar semakin dekat denganku.

"Dia sedikit sakit. Tapi sudah membaik." Daniel menjelaskan singkat.

"Baguslah."

Aku agak terkejut mendengar nada suara Sara kali ini, dia terdengar acuh. Biasanya nada suaranya terdengar sangat keibuan dan penuh perhatian. Kali ini, berbeda.

"Kapan kau akan menikahinya? Apa kau masih belum memiliki keberanian untuk menikah? Ck! Setidaknya ingatlah perjanjian kita." Sara terdengar mencibir dan sinis.

Aku menahan rasa ingin tauku. Aku harus tetap menutup mataku atau aku akan kehilangan cerita selanjutnya.

"Atau apakah dia sudah mengetahui kalau kau..."

"Ibu!" Daniel berseru memotong kalimat Sara, "Kita bicarakan ini di luar. Ini masih di ruang UGD, kita akan membuat orang-orang terganggu."

Lalu aku mendengar suara decit roda itu menjauh. Mungkin mereka sudah keluar ruangan.

Aku masih menunggu beberapa saat, untuk memastikan kalau mereka benar-benar pergi sebelum akhirnya aku membuka mataku.

Pandanganku menyapu langit-langit. Aku mendengar kata-kata yang menarik dari percakapan antara Sara dan Daniel. Daniel tidak berani untuk menikah, perjanjian? Apakah ada perjanjian di antara mereka? Lalu apa itu, sesuatu yang belum ku ketahui? Aku penasaran. Daniel ternyata rumit.

"Nona Margareth Kin." Wajah seorang lelaki muda dengan jubah putih tiba-tiba sudah ada di atasku, menghalangi pandanganku ke langit-langit.

"Saya Nico, dokter anda." Dia memperkenalkan diri. "Apa keadaan anda sudah membaik?" Tanya dokter dengan wajah lumayan tampan itu tersenyum ke arahku.

"Sudah lebih baik." jawabku sambil membalas senyumnya.

"Apa kau memiliki trauma akan sesuatu?" tanya Nico, dokter itu membuatku terkejut. Bagaimana mungkin dia bisa langsung menilai seperti itu?

"Waktu kau datang, dokter jaga mengatakan tubuhmu berkeringat dan bergetar. Jantungmu berdebar cepat. Aku rasa kau memiliki trauma tertentu. Dan aku dengar, baru saja ada kejadian tidak menyenangkan di kediamanmu," Nico menjabarkan. "Apa kejadian itu mengingatkanmu akan traumamu?" Dia menebak. Jitu!

"Sedikit," desisku enggan berbicara lebih banyak.

"Kalau begitu, kita akan sering bertemu setelah ini, kalau kau tidak keberatan." Nico membantuku duduk. Sakit kepalaku hilang seketika. Apa dia merapal sesuatu saat berbicara dan membantuku duduk sehingga sakitnya bisa hilang?

"Apa kau melakukan sesuatu padaku? Sakit kepalaku hilang," tanyaku takjub.

Dia tertawa mendengarku. Lalu membantuku berdiri. Dan sakitnya benar-benar hilang sama sekali.

"Aku hanya berusaha membuatmu nyaman Margareth," katanya. Aku mendengarnya memanggilku Margareth, dan itu terdengar aneh.

"Panggil aku Kin," pintaku.

"Kalau kau memaksa," katanya sambil tersenyum. Kali ini dia memapahku keluar UGD. Dan aku menurut tanpa bantahan sedikitpun.

"Kita mau kemana?" tanyaku, bingung karena dia hanya menggiringku keluar ruangan melewati koridor-koridor rumah sakit.

"Ruang kerjaku," katanya sambil terus menyangga lenganku. Aku mulai merasa risih. Apa yang akan dia lakukan padaku di ruang kerjanya?

"Kamu dokter apa?" tanyaku sengit sambil menepis tangannya dari lenganku.

"Aku doktermu," katanya selembut mungkin.

"Iya, tapi dokter apa?!" Aku menghentikan langkahku dan menatapnya tajam. Aku mulai kehilangan kesabaranku karena dia tidak juga menjawabku.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Dimana Daniel? Dimana dia saat aku membutuhkannya saat ini?

"Aku akan membantumu mengatasi depresi dan traumamu, Kin." Nico berusaha menenangkanku yang mulai terlihat panik.

"Aku mau Daniel," seruku. "Aku mau Alessandria!" Aku mendorong Nico menjauhiku.

"Tenang Kin!" Nico mencoba menarikku kembali. "Aku tidak akan menyakitimu.".

"Kau sudah menyakitiku, kau menganggapku gila!" Aku gelisah aku panik. Aku butuh Daniel. Aku butuh Alessandria.

"Kin!"

Itu suara Daniel. Aku berbalik melihatnya berdiri di ujung koridor.

"Daniel! Aku mau pulang!" seruku sambil berlari ke arahnya.

Aku mendengar Nico memanggilku, memintaku berhenti. Mengatakan kalau dia tidak akan menyakitiku, mengatakan kalau dia akan membantuku. Tapi aku tau dia berbohong. Beberapa kali dokter yang sama sepertinya pernah datang dan menjanjikan hal yang sama dengannya. Tapi percuma! Aku masih juga menderita.

Aku tidak butuh pengobatan, aku hanya membutuhkan Alessandria yang mencintaiku dan Daniel yang menginginkanku. Bukan dokter dengan janji palsu seperti Nico!

Aku tidak butuh disembuhkan!

*******

Please Vote if you like this chapter!
Happy reading 😘😘😘

⏬⏬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top