dua
Aku berdiri agak lama menatap Alessandria yang masih tersenyum di hadapan.
"Kita harus bicara." Aku menutup pintu di belakang, melepas heels dan menggiring anak kecil itu ke atas sofa.
Alessandria menurut dan duduk dengan tenang.
"Apa mommy bawa snack?" tanyanya setelah aku juga duduk pada sofa di hadapannya.
"No snack!" kilahku. "Sampai aku benar-benar paham siapa kamu, anak manis." Aku menggeram dengan kesal tertahan.
Alessandria mengerucutkan bibir, sepertinya dia kecewa. Dengan gaya khas anak kecil dia mulai berdiri dan melompat-lompat di atas sofa, membuat kesalku bertambah.
"Apa kau tidak bisa duduk saja?!" tanyaku, lebih terdengar seperti memerintah sebenarnya. Alessandria tampak terkejut mendengar suara yang sedikit melengking. Dia langsung duduk dengan mengangkat kedua kakinya, melipatnya di depan dada. Meringkuk, takut.
"Apa Mom akan menghukumku lagi?" desisnya takut.
"Aku bukan Mom-mu!" Aku beranjak dari duduk, menarik-narik rambutku sendiri karena kesal "Aku bukan Mom-mu, ok," tekanku lagi.
Kutatap sekali lagi Alessandria, lalu berbicara selembut yang kubisa. "Memangnya siapa nama ibumu? Biar kucarikan dia untukmu."
Aku berharap bisa mendapatkan nama ibunya. Lalu aku berjanji akan menemukannya dan mengembalikan anak ini bagaimanapun caranya.
"Mar-Margareth Kin," jawabnya pelan. Terbata. Takut.
"Apa maksudmu?!" Aku berteriak keras, mengagetkan Alessandria yang langsung menangis ketakutan.
"Kau sedang mempermainkanku, ya?" tanyaku lagi. Suara tangis Alessandria semakin keras.
Aku menatap anak itu, yang masih menangis dengan kepala terpendam di antara dua lututnya. Kuembuskan napas kencang. Kepalaku sungguh bertambah sakit mendengar tangisannya.
Langkahku mengayun tergesa kearah dapur dan mengambil sebungkus makanan ringan dari lemari atas kitchen set.
"Kemarilah," panggilku, "ini ada snack."
Seketika suara tangis itu terhenti. Dia masih terisak, tapi tidak menangis. Matanya mengintip dari balik tangan yang menelungkup di atas lutut. Menatapku, wanita yang dia yakini sebagai ibunya.
Aku menggerakkan tangan memanggil Alessandria.
"Apa itu semacam coklat?" tanya Alessandria di balik isaknya.
Aku membuka sedikit plastik penutup snack lalu melongok ke dalamnya, berakting antusias dengan apa yang terlihat di dalam plastik.
"Ini semacam coklat yang ada krim stroberi di dalamnya," jelasku, yang membuat Alessandria langsung menghambur dan merebut plastik dari tanganku.
Anak itu langsung makan sambil berdiri, mengunyah dengan semangat.
"Enak?" tanyaku ingin tahu, karena anak itu makan lahap sekali.
"Ini enak sekali, Mom," jawab Alessandria dengan mulut yang penuh. "Dan aku lapar," tambahnya.
"Kamu belum makan?" tanyaku kaget.
"Ini makan malamku." Alessandria mengangkat plastik yang sedang di genggamnya dengan bahagia.
"Aku akan memasakkan sesuatu." Aku membuka kulkas, kosong. Hanya ada susu, beberapa kaleng bir dan minuman bersoda. Aku jadi mengingat-ngingat kapan terakhir kali belanja untuk mengisi stok dapur? Sepertinya memang sudah lama sekali.
Aduh. Mengapa anak ini belum makan. Apa dia benar-benar di sini seharian menunggu?
***
Pagi yang cerah, ternodai dengan masih adanya Alessandria yang masih tertidur di sisiku. Bahkan aku tidak mengerti mengapa anak itu masih juga di sini. Aku mendengkus pendek. Tidak habis pikir, mengapa tidak ada seorang pun yang mencari anak ini?
Ini sudah tiga hari!
Aku sudah memutuskan bahwa hari ini akan melapor ke polisi. Biar polisi yang mencari tempat tinggal anak itu. Mungkin saja dia benar-benar lupa. Walaupun aku tidak tahu bagaimana anak itu bisa menyebut namaku sebagai nama ibunya. Mungkin lain kali, aku akan bertanya siapa ayahnya. Hmm, aku penasaran nama siapa yang akan dia sebut.
Alessandria masih tertidur lelap ketika aku hendak berangkat bekerja. Kuputuskan untuk menyiapkan sarapan untuknya. Kasihan juga 'kan kalau dia tidak sarapan nanti.
Kutuang susu cokelat ke gelas, menyiapkan telur orak-arik, dan juga sebungkus snack. Semuanya kuletakkan di bawah tudung saji di meja makan.
Sudah mau meninggalkan rumah, ketika aku merasa bahwa yang sudah kusiapkan untuk anak itu masih kurang. Jadi kutambahkan lagi satu bungkus snack dan tiga cup mie instant. Setelah merasa cukup, aku meninggalkan rumah dengan cepat. Setidaknya anak itu tidak akan kelaparan.
***
Aku menginjak pedal gas mobil dengan hati-hati. Hari ini tidak ada meeting pagi, jadi aku bisa agak santai ke kantor. Jalan pagi ini seperti biasa, macet luar biasa. Dan seperti biasanya juga, keluhan terlontar dari bibir karena waktu tempuh yang semakin panjang.
Tiba-tiba notifikasi dari ponsel terdengar. SMS.
Aku meraih ponsel, sementara mobilku masih parkir berjamaah bersama mobil-mobil lainnya.
Keningku mengerut ketika melihat nama yang tampil pada layar ponsel.
Daniel Kimura.
Ada apa sepagi ini? Penasaran kubuka sms-nya.
Hai Kin, bagaimana dengan tawaranku? Jika setuju, aku akan langsung tanda tangan perjanjiannya, dan 50% investasiku untuk TReal akan aku transfer hari ini juga. Bagaimana menurutmu?
Kulempar ponsel dengan kesal ke jok penumpang di sebelah. Dari kemarin mood-ku berantakan. Alessandria, Daniel, lalu Ryu.
Ah! Tolong! Aku butuh bantuan.
Rasanya semakin nelangsa ketika membayangkan wajah Annisa--atasanku--yang pasti akan menanyakan kelanjutan dari investasi Kimura Investment. Apa aku bilang saja kalau CEO nya memaksaku melakukan sesuatu yang aneh jika kami menginginkannya menginvestasikan dananya ke TReal?
Konyol.
***
Aku membuka pintu ruang kerja dan menemukan Ryu sedang duduk dengan santai di sofa. Lelaki itu bangkit ketika melihatku masuk.
"Ada apa?" tanyaku kesal sambil melempar tas ke kursi. Kemudian bokongku bersandar pada meja, menahan kedua tangan di sisi dan menatap Ryu dengan tajam.
"Apa kamu sekesal itu padaku, Ibu GM?" Dia mendekat.
Aku tidak menyahut hanya berdeham, mengisyaratkan bahwa aku tidak tertarik membahas apa pun pagi ini.
"Baiklah Kin, aku tidak akan merusak mood-mu pagi ini, ok." Dia tersenyum manis. "Tapi tolong maafkan aku, ya. Tidak akan terulang lagi."
Kalau saja aku tidak ingat kalau Ryu adalah anak pemilik perusahaan ini, mungkin aku akan meninju wajahnya dan memakinya dengan lebih kasar dari kemarin. Bisa jadi levelnya masih di bawahku, tapi pada kenyataannya dia adalah salah satu pewaris perusahaan ini.
Saat ini TReal masih di pimpin oleh John Morgan, ayahnya. Annisa Morgan, yang kusebut atasanku tadi, adalah kakaknya. Dan Ryu sendiri adalah temanku dari zaman kuliah.
"Aku benci ini," keluhku.
"Kamu membenciku?" Ryu sambil menatapku dengan raut wajah yang terlihat terluka.
"Sudahlah, Ryu. Kamu keluarlah sebelum aku jadi naik darah lagi," ketusku.
"Oke, maafkan aku, ya. Aku harap kita bisa berteman lagi." Lalu dia beranjak keluar ruangan.
Aku mendesah, menarik napas panjang. Lalu notifikasi sms kembali berbunyi.
Aku melirik ponsel, nama yang sama dengan yang sebelumya.
Aku belum mendengar apapun darimu. Apa kau tidak tertarik?
***
"Anda harus menyertakan fotonya, Nona. Dan nama lengkapnya juga. Bagaimana cara kami mencari di mana dia tinggal atau keluarganya, kalau Anda tidak memberikan info yang jelas atau membawa fotonya?" Polisi berseragam yang duduk di seberang meja, terdengar sengit.
Aku memaki dalam hati, sama sekali tidak berpikir sampai ke sana. Aku lupa menanyakan nama lengkap Alessandria, juga lupa mengambil foto, dan memperhatikan ciri-ciri fisiknya.
"Saya minta maaf, Pak," sahutku. "Saya akan kembali lagi dengan data yang lebih rinci." Aku bangkit dari duduk, lalu pergi meninggalkan kantor polisi.
***
Bersyukur sekali karena jalanan lancar dalam perjalanan pulang. Kulirik jam pada dashboard, baru pukul 7, masih terlalu pagi sebenarnya untuk buat pulang. Biasanya kalau bisa pulang cepat begini, aku akan mampir ke cafe atau club.
Namun kali ini aku ingin cepat sampai di rumah. Aku khawatir Alessandria, anak itu kelaparan lagi. Siapa tahu dia tidak bisa memasak mi instan dan hanya makan snack. Setidaknya aku harus memastikan anak itu sehat ketika dia kembali kepada ibunya nanti.
Aku mampir ke supermarket dekat rumah, membeli beberapa sayuran, daging, nugget dan mi instan. Anak itu tidak bisa hanya makan mi instan terus menerus, bukan? Kemudian aku mampir membeli pizza, kami akan pesta pizza malam ini.
Ya, kalau dia ternyata belum makan.
***
Baru menjejak di teras rumah, lagi-lagi notifikasi sms berbunyi. Daniel lagi!
Apa yang harus kulakukan agar kau menerima tawaranku?
Aku menekan tombol power, lalu mematikan ponsel. Sudah cukup untuk hari ini, Mr. Daniel. Lalu pintu kudorong membuka.
"Mommy!" Alessandria menghambur mendekat begitu aku masuk ke dalam dengan banyak kantong dan kotak pizza di tangan.
"Lapar?" tanyaku sambil mengangkat dan menunjukkan kotak pizza padanya.
"Yippyyy!" serunya, "kita pesta pizza!"
Alessandria melompat-lompat mencoba mengambil kotak pizza dari tanganku., tapi dia tidak berhasil karena tangan yang terangkat tinggi.
"Ayo, Mom, aku mau pizza!" rengeknya.
Malam ini kami benar-benar pesta pizza. Kami makan di ruang tengah sambil menonton Disney channel yang sedang menampilkan sosok Mickey Mouse yang lucu. Kami tertawa sampai terjungkal karena aksi tokoh-tokoh kartun itu lucu sekali.
Di sela-sela tawa yang mereda, aku memperhatikan Alessandria yang masih kegelian menonton Mickey dan kawan-kawan.
"Apa Mom sering menghukummu?" tanyaku.
"Mom tidak sedang menghukumku sekarang. Mom baik padaku," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Memangnya, Mom suka menghukummu seperti apa?" tanyaku lagi.
Kali ini gadis itu menghentikan tawanya, dia menatapku dengan serius. "Memukulku, dengan tanganmu. Menendangku, dengan kakimu," katanya pelan.
Aku tercekat. Apa ibunya ... menyiksanya?
"Tapi ketika aku selesai sembunyi. Mom selalu jadi baik." Dia tersenyum padaku. Manis.
"Ketika Mom menjadi baik," Alessandria memperlihatkan gigi susunya yang berjajar rapi, "Aku merasa aku ada di dunia lain. Dan aku tidak mau kembali lagi.".
Sungguh aku tidak mengerti.
-------
Thank for read this story
Vote if you like it!
Thank you! 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top