delapan

Aku melangkah mendekati ranjang. Bermaksud untuk memastikan apa benar yang tidur di sana adalah Alessandria. Kalau benar itu dia, artinya aku benar-benar tidak waras. Masa aku tidak menyadari kalau dia ada di sana? Di sisiku?

Baru saja melangkah dua tiga langkah, kudengar pintu depan diketuk beberapa kali dengan kencang.

Aku menatap Daniel, dia sedang melirik jam di tangannya.

"Ini sudah lewat jam satu pagi." Dialihkan pandangannya padaku.  "Apa kau sering menerima tamu jam segini?"

Aku memutar bola mata mendengar pertanyaannya, yang benar saja.

Takut kalau Alessandria terbangun, aku berjalan berjingkat keluar kamar. Menarik Daniel agar keluar bersama, dan menutup pintu sepelan mungkin supaya tidak meninggalkan keributan.

"Kamu, diam di sini," kataku. "Aku rasa aku tau siapa yang datang."

Kutinggal Daniel menuju ruang depan. Suara ketukan di pintu semakin keras dan menjadi-jadi. Sekarang aku menyesal, karena menerimi pesan yang sama ke manusia yang satu ini. Dia berisik sekali. Bagaimana kalau Alessandria terbangun karena ketukan yang membabi buta?

Aku membuka pintu dengan cepat. Dan benar saja, Ryu berdiri dengan wajah yang terlihat panik. Dia menatap dengan khawatir.

"Ada apa?" tanyanya begitu melihat wajahku. "Kau membuatku begitu panik. Aku langsung kemari ketika membaca sms-mu. Maaf aku telat membaca---"

Ryu menghentikan ucapan, matanya menyipit, tertuju ke belakang tubuhku. Kuikuti pandangannya, dan menemukan Daniel yang sedang berdiri dengan santai sembari menatap kami dengan wajah santai.

"Mengapa dia ada disini?" Ryu memandangku kebingungan.

"Apa kau memintanya datang juga?" Daniel bertanya datar, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Ryu.

Aku menatap kedua pria itu bergantian. Ini benar-benar terlihat aneh dan membingungkan.

Sial sekali!

Berbalik, aku menghadap Daniel. "Dia di sini karena aku meng-sms-nya juga."

Lalu aku lagi berbalik ke arah Ryu. "Dia disini karena aku juga meng-sms nya, dan dia datang lebih cepat."

Ryu memutar bola mata, bibirnya tertarik turun menyatakan ketidaksukaannya.

"Seharusnya kau hanya perlu meng-sms ku saja." Dia menggerutu.

"Dia itu sebenarnya siapa sih?" Daniel bertanya tanpa mengubah intonasi suara, tetap datar seperti sebelumnya.

Oh! Aku lupa, aku belum memperkenalkan mereka satu sama lain.

"Daniel," Aku menghadap Daniel sementara telunjuk mengarah ke Ryu, "Dia Ryu."

Lalu aku berbalik menghadap Ryu dengan telunjuk mengarah ke Daniel. "Ryu, dia Daniel."

Lalu aku melihat wajah-wajah tidak bersahabat dari keduanya. Sungguh reaksi yang tak diharapkan. Tadinya kupikir suasana akan berubah menjadi cair ketika mereka telah saling mengenal.

"Sudahlah," kataku akhirnya ketika keduanya tidak juga melakukan pergerakan apapun. "Sudah pagi, sebaiknya kalian pulang, oke." Aku menarik tangan Daniel dan mendorong Ryu, keduanya kugiring ke arah pintu.

Ryu menahan kakinya, enggan bergerak dari tempatnya berdiri. Matanya berkilat menatap Daniel.

"Kau, jangan sekali pun menginjakan kakimu lagi di rumah ini lewat tengah malam." Peringatan Ryu membuatku tersedak liur sendiri. Dia terdengar seperti seorang ayah yang sedang memperingatkan pacar anak gadisnya.

"Apa maksudmu?" bisikku.

"Ya, maksudku seperti itu!" Suara Ryu meninggi. "Apa-apaan seorang pria dewasa mendatangi rumah seorang wanita lewat tengah malam? Orang-orang akan membi---"

"Kamu sendiri? Kamu juga pria dewasa." Aku memotong ucapannya. Mengingatkan akan hal yang sama.

Ryu berdecak, seakan tidak suka dengan apa yang meluncur dari mulutku.

"Konyol." Daniel mendengkus, membuatku dan Ryu memandangnya serempak. Dia sedang tersenyum miring menatap kami berdua.

Aku menghela napas pendek dan cepat. Aku dan Ryu memang terlihat konyol barusan.

"Apa kau mengatakan kalau aku konyol?" Ryu terdengar menantang.

Ya ampun, mengapa Ryu jadi terlihat emosi sekali? Dia maju selangkah, tapi kucegah.

"Kau pulanglah." Aku sedikit mengusir. "Kau juga!" Kulakukan hal yang sama pada Daniel.

Daniel mengangkat bahunya tak acuh, lalu menguap lebar.

"Sebaiknya aku memang pulang," katanya. "Atau aku menginap saja, Kin?" Kali ini nada suaranya terdengar mengajak ketimbang bertanya.

Ryu merangsek maju. Dia berdiri dekat sekali dengan Daniel. "Apa kau menantangku, hah!" Dia berteriak sengit.

Aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Alessandria bisa-bisa bangun kalau dia berteriak seperti ini terus.

Dan benar saja!

"Mom." Suara kecil memanggil dari dalam kamar, "Mommy ...," panggilnya lagi.

"Dia bangun, tuh." Daniel menatapku sembari menunjuk ke arah kamar dengan dagunya.

"Mommy ...."

Alessandria terdengar mulai panik, mungkin dia khawatir karena tidak menemukanku saat terbangun.

Daniel menarikku dari Ryu, lalu mendorongku pelan ke arah kamar.

"Kami pulang, oke," katanya lalu menarik tangan Ryu keluar.

"Kau membangunkannya." Daniel menatap Ryu tidak suka sambil terus menggiringnya keluar.

"Siapa yang bangun?" tanya Ryu bingung tapi tidak membantah. Mereka menghilang di balik pintu yang ditutup dengan kasar.

Apa tidak bisa pelan-pelan ya, tutup pintunya?

"Mommy!"

Alessandria mulai berteriak, suaranya  terdengar gentar. Bergegas aku masuk ke kamar, mendapatinya terduduk di atas ranjang dengan mata berkaca-kaca dan tubuh yang gemetar.

Aku langsung menghambur memeluknya. "Apa kau mimpi buruk?" tanyaku perlahan sambil memeluk dan mengelus kepalanya, sayang.

"Sangat buruk, Mommy," isaknya.

***

Aku agak khawatir sebenarnya harus meninggalkan Alessandria pagi ini, tapi bagaimanapun aku harus pergi ke kantor.

Maka aku memutuskan akan meninggalkan salah satu ponsel di rumah, jadi sewaktu-waktu jika ada yang mendesak, dia bisa segera menghubungiku.

Aku menunjukkan ponsel pada Alessandria saat anak itu sedang menyantap sarapan paginya.

"Kamu tau 'kan ini apa?" tanyaku, sambil menyodorkan sebuah ponsel android ke hadapannya.

Dia mengangguk dan merebut ponsel dari tanganku.

"Untukku Mommy?" tanyanya sambil tersenyum. Aku mengangguk.

"Kau tau cara menggunakannya, 'kan?" tanyaku lagi. Dan dia menggeleng.

Kuhela napas panjang. Sudah kuduga.

"Begin ...." Aku mengubah posisi duduk yang tadinya berhadapan, menjadi bersisian dengannya

"Kamu hanya perlu menekan angka satu yang panjang agar tersambung ke arahku." Aku memberi contoh sambil menekan angka satu. Iphone yang kuletakkan di atas meja bergetar, nama Alessandria terpampang pada layar monitor.

Anak itu mengangguk-angguk dengan antusias.

"Kalau kau tekan angka dua, kau akan tersambung ke polisi," jelasku lagi.

"Polisi?" Alessandria bertanya dengan polos.

"Iya. Kalau ada orang jahat, kau bisa menelpon polisi kalau-kalau aku sulit dihubungi." Aku tersenyum.

Alessandria mengangguk.

"Apa aku boleh menelpon Mommy kalau aku kangen?" Dia mengerjap-ngerjapkan mata, membuatku gemas.

"Tentu saja," jawabku sambil terkekeh dan mengacak-acak sayang rambutnya. "Tapi jangan terlalu sering, oke. Aku kan sedang kerja."

Mata kecilnya langsung membulat cerah, sementara senyumnya mengembang bahagia.

Lalu matanya beralih kembali ke ponsel, menggeser layar ke kanan dan ke kiri dengan jari-jari kecilnya.

"Apa ada gamesnya?" tanyanya tanpa mengalihkan pandang dari layar.

"Tentu saja!" jawabku.

***

hope you like it! please votes! 😘
⏬⏬



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top