Titik Terang
Dari semalam Lyana menunggu Al, tetapi pria itu tak kunjung datang. Ketika dia sedang masak di dapur bersama Sari dan ART yang lain, Sandi datang ingin membuat teh.
"Pak Sandi!" seru Lyana.
"Iya, Ly."
"Mmm ... Tuan Muda Al enggak pulang, ya?"
"Kayaknya tidur di kantor, Ly. Soalnya kemarin sore saya masih bicara sama dia di kantor."
"Oooh. Pak Sandi mau ke kantor, kan?"
"Iya. Ini nunggu Pak Fahmi."
"Nitip sarapan buat dia, ya?"
"Oke, Ly. Siapkan saja, nanti saya bawa."
"Makasih, Pak Sandi."
"Sama-sama, Ly."
Bergegas Lyana mengambil kotak nasi. Dia masukan masakannya ke kotak itu. Sari memerhatikan Lyana sedih.
Ini masakan terakhirku buat kamu, Al. Semoga setelah kepergianku ini, kita akan kembali seperti dulu, orang yang enggak saling kenal. Aku juga berdoa, semoga kamu segera menemukan sahabat kecilmu itu dan hubunganmu sama Pak Fahmi membaik selayaknya anak dan ayah, batin Lyana sambil menutup kotak nasi tersebut.
"Ly," panggil Sari.
"Iya, Bu."
"Sudah itu?"
"Iya, sudah, Bu."
"Kita ngobrol sebentar yuk, di belakang!"
"Ayo, Bu."
Lyana bersikap seolah dia baik-baik saja, masih menebar senyum. Dia mengikuti Sari, mereka duduk di kursi besi dekat kolam renang.
"Ada apa, Bu?"
"Kamu yakin sama keputusanmu itu?"
"Yakin, Bu."
"Apa karena perasaanmu sama Tuan Muda?"
"Salah satunya itu, Bu. Aku enggak mau banyak berharap. Ibarat langit sama bumi, kami enggak akan pernah bersatu. Dia kaya, aku miskin. Mana mungkin Pak Fahmi akan setuju kalau memang Tuan Muda Al membalas perasaanku. Mustahil," ujar Lyana menahan nyeri di dada dan tersenyum getir.
Apa pun yang terjadi di rumah itu, Lyana ceritakan kepada Sari. Dia juga menceritakan isi hatinya. Sari sudah dianggap seperti ibunya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu enggak bisa membantu apa-apa selain mendoakanmu."
"Bu, doa itu sudah sangat berarti. Makasih sudah jadi Ibu keduaku di sini. Bu Sari sangat baik padaku, padahal kita enggak punya ikatan famili. Bibi Tiara saja belum tentu bisa kayak Bu Sari." Lyana memeluk dan menyandarkan kepalanya di dada Sari.
"Cara seseorang menyampaikan sayang itu beda-beda, Ly. Mungkin cara Bibi Tiara dengan galaknya itu sebenarnya sayang banget sama kamu. Karena gengsi, mereka sok-sokan enggak peduli, ada juga yang begitu."
"Iya, Bu. Aku tahu, sebenarnya Bibi Tiara baik. Tapi mungkin sifatnya yang bikin dia kelihatan jahat."
"Nah, itu kamu tahu. Habis ini kamu langsung balik kampung atau mampir dulu ke rumah Bibi Tiara?"
"Mampir dulu dong, Bu. Bagaimana pun, Bibi Tiara itu pengganti ibuku. Dia yang menjaga dan merawatku selama di Jakarta."
"Ya sudah kalau gitu, Ibu bantu apa nih? Barang-barang kamu sudah selesai dikemas?"
"Sudah. Bantu doa aja. Semoga aku lulus kuliah tepat waktu dan bisa kerja buat Nenek sama Radit."
"Amin. Pasti kamu bisa." Sari mendekap Lyana, menyalurkan kasih sayang seorang ibu yang lama Lyana rindukan.
***
Sore ini pulang kerja Al langsung mencari keberadaan Lyana. Bertanya kepada penjaga rumah, tak ada yang tahu.
"Bi Sari," panggil Al berjalab ke dapur.
"Iya, Tuan Muda."
"Lyana mana?" tanya Al sambil meletakkan kotak nasi yang tadi pagi Lyana pakai untuk bekal ke meja makan.
"Loh, bukannya Lyana sudah pergi tadi pagi?"
"Pergi ke mana?"
"Pulang kampung."
"Siapa yang ngizinin? Kok enggak bilang sama saya?"
"Katanya udah izin sama Tuan Muda."
"Enggak. Dia enggak bilang apa-apa."
Firasat Al seketika tidak enak. Dia mengambil ponselnya lalu mencari kontak Lyana. Namun, ketika melihat ruang obrolan, nomor Al sudah diblokir.
"Shit!" umpat Al langsung berlari keluar dari rumah.
Sampai di teras dia berpapasan dengan Fahmi dan Sandi.
"Mau ke mana Al?" tanya Fahmi heran karena Al terlihat buru-buru.
"Bukan urusan Papi," sahut Al langsung masuk ke mobilnya.
Dia melaju keluar dari pelataran. Fahmi dan Sandi pun masuk ke rumah.
"Pak Fahmi, ada yang mau saya sampaikan."
"Mengenai apa?"
"Tanah yang ada di Bukit Manta itu, Pak."
"Bicara di ruang kerja saya saja."
Mereka lantas ke ruang kerja Fahmi. Setelah keduanya duduk, Fahmi meminta Sandi menjelaskan.
"Jadi, Tuan Muda Al meminta sertifikat tanah itu atas nama seseorang, Pak," ujar Sandi hati-hati supaya tidak mengejutkan Fahmi.
"Siapa seseorang itu?"
"Mmm ... kata Tuan Muda Al, dia sudah menemukan putri Pak Firdaus."
"Iya. Siapa nama putrinya?"
Dengan ragu dan sambil menunduk Sandi menjawab, "Lyana, Pak."
"Maksud kamu Lyana?"
"Tuan Muda Al kemarin meminta saya untuk mengurus balik nama sertifikat atas nama Margaretha Lyana Firdaus. Setelah saya usut, saya teringat nama itu milik Lyana, asisten pribadi Tua Al," papar Sandi. Fahmi melemaskan tubuh bersandar di kursi.
"Aku sudah curiga," ujar Fahmi memahami pengorbanan Al sejak kehadiran Lyana. "Berarti ada kemungkinan sebelum saya menerima Lyana bekerja di sini, sebenarnya dia tahu kalau Lyana itu putri Firdaus, San. Tapi, dia tidak mau menceritakan kepada saya. Pantas saja dia bersedia menandatangani kesepakatan itu dan mengurus perusahaan. Ternyata Al tahu kalau PT Hunian Sejahtera milik papanya Lyana."
"Tapi latar belakang yang saya temukan, Lyana ini yatim piatu dan orang sederhana, Pak."
"Kita perlu mencari kebenarannya, San. Sore ini juga saya mau bertemu bibinya Lyana. Kamu cari bodyguard yang waktu itu menjemput Lyana. Kita ke sana bersama."
"Baik, Pak."
Segera Sandi keluar dari ruang kerja itu dan melaksanakan perintah Fahmi.
Sedangkan Al sudah lebih dulu sampai di warung makan Tiara. Tak pernah berubah, di jam makan malam ramai pengunjung.
"Permisi, Mbak, mau tanya, apa benar di sini ada cewek namanya Lyana?" tanya Al kepada seorang wanita yang menjaga di kasir.
"Iya, Mas. Benar. Sudah sejam yang lalu pergi ke terminal diantar Ibu Tiara."
"Terminal?" Wajah Al tampak terkejut.
"Iya. Dia mau pulang ke kampung."
"Ya sudah, terima kasih."
Segera Al keluar dan mengendarai mobilnya ke terminal. Berharap dia tidak terlambat. Untung dulu Al sempat mengantar Lyana pulang, jadi tahu tempat tinggal Lyana sebelum bekerja di rumahnya. Selisih tiga puluh menit setelah Al pergi, Tiara masuk ke warung.
"Bu, tadi ada yang mencari Lyana," kata penjaga kasir begitu Tiara sampai di depan meja kasir.
"Siapa?"
"Enggak tahu namanya, tapi cowok, Bu."
"Oh, mungkin teman kampusnya," ujar Tiara sudah biasa teman-teman Lyana mencarinya ke warung itu.
Setelah perempuan itu berdiri, Tiara menggantikannya duduk di balik meja kasir. Dia mengecek uang di laci. Saat sibuk menghitung, Tiara dikejutkan suara seseorang.
"Maaf, Bu, bisa bicara dengan pemilik warung makan ini?"
"Iya, saya sendiri."
"Oh, kebetulan sekali. Saya Sandi, bos saya mau bicara hal penting kepada Ibu. Bisa?"
Walaupun kebingungan karena merasa tidak kenal, Tiara mengangguk. "Iya, Bisa. Mau bicara apa, ya?"
"Nanti Ibu juga tahu. Saya panggil Beliau dulu, Bu."
"Iya, silakan."
Setelah menunggu hampir lima menit, Fahmi masuk didampingi Sandi. Tiara menatapnya serius, dia tak asing dengan wajah itu.
"Bu, bisa kita duduk di sana saja?" tanya Sandi menunjuk meja kosong.
"Oh, iya. Silakan." Tiara beranjak, berjalan lebih dulu ke meja tersebut. Setelah mereka duduk, Tiara masih terus memandangi wajah Fahmi.
"Merasa tidak asing, ya, dengan wajahku?" ujar Fahmi mengejutkan Tiara.
"Iya. Apa kita pernah kenal?"
"Tentu! Aku tetanggamu dulu waktu masih di kampung. Kamu kakaknya Saskia, kan?"
"Iya, benar. Kok tahu?"
"Aku Fahmi. Teman baiknya Firdaus, dulu kami tetangga dekat."
"Astagfirullah, Fahmi suaminya Rina? Ya Allah, berapa puluh tahun baru kita bertemu lagi. Masyaallah, sekarang sudah jadi bos besar. Ada angin apa nih, mampir di gubugku?"
Fahmi hanya terkikih kecil. "Aku ke sini mau tanya keberadaan Firdaus sama keluarganya. Di mana sekarang mereka tinggal?"
Raut wajah Tiara berubah sedih. Perasaan Fahmi menjadi tak enak.
"Nah, itu, Mi, waktu dengar kabar Rina meninggal, sebenarnya mereka itu mau melayat ke rumahmu. Aku baca berita itu di koran dan waktu itu langsung aku ngabari mereka. Niatnya mau ngasih kejutan kecil buat Al, pikir Firdaus sama Saskia, jika mempertemukan Al dan Lyana, mungkin Al enggak akan terlalu sedih, pasti Lyana bisa menghiburnya. Tapi, sebelum sampai di rumah kamu, mereka kecelakaan. Firdaus, Saskia, dan Edo meninggal di tempat. Lyana luka parah dan Radit waktu itu masih kecil."
Fahmi menghela napas dalam, sangat sesak dadanya. "Kenapa tidak menelepon dulu waktu itu?" Suara Fahmi mulai parau.
"Mereka ingin memberimu kejutan dan kabar kalau Firdaus sudah berhasil mendirikan PT. Saat itu banyak rencana yang dia rancang untuk bekerja sama denganmu."
"Pantas saja waktu aku sama Al pulang kampung, rumah Firdaus kosong. Kalian juga enggak ada. Ke mana kalian?"
"Ibu di sini menjaga Lyana dan Radit. Lyana koma dan membutuhkan banyak biaya. Waktu itu aku baru merintis usaha ini, uangku enggak cukup buat biaya rumah sakit Lyana. Akhirnya aku sama Ibu sepakat menjual perusahaan Firdaus buat biaya rumah sakit Lyana dan membayar utang-utang Firdaus. Uang milyaran itu cepat habis, seperti air mengalir sangat deras."
"Apa Lyana hilang ingatan?" tanya Firdaus memastikan.
"Iya. Benar. Kamu bisa tahu dari mana?"
Akhirnya Fahmi menjelaskan kepada Tiara, jika Lyana beberapa bulan tinggal di rumahnya dan bekerja sebagai asisten pribadi Al. Hanya saja Lyana tak mengingat apa pun tentang masa lalunya.
#####
Sedikit demi sedikit terbongkar. Sedih banget deh ceritanya. Aku kok mewek sih.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top