Teman Tapi ...?
Langkah Lyana lebar dan cepat menyusuri koridor sambil memanggil nama seseorang. Namun, yang diserukan namanya tak menggubris, dia seolah tak mendengar.
"Gea, gue bisa jelasin ke lo," ujar Lyana setelah bisa menghentikan langkah Gea. Dia menghadangnya, Lyana berdiri di depan Gea.
"Lo mau jelasin apa? Hah! Teman munafik lo!" sergah Gea dengan tampang kesal dan marah.
Lyana tercengang, tak menyangka sikap Gea berubah drastis dalam sekejap kepadanya. Gea yang lucu, supel, ceria, dan baik sirna di mata Lyana. Hanya karena Al dia berubah setega itu padanya.
"Ge, gue di rumah Pak Fahmi kerja," ujar Lyana berusaha sabar dan menurunkan egonya, dia menjelaskan baik-baik kepada Gea, supaya dia tak salah paham padanya.
"Heh, gue tahu lo kerja di sana. Masa babu mau-maunya dirangkul majikan. Diajak ke sana-sini. Lo babu apa lonte?"
Mata Lyana semakin melebar. "Ge, lo tega banget sih ngomong gitu." Air mata Lyana hampir jatuh. Dia menatap Gea nanar. Hatinya terasa seperti tergores sembilu, sakit dan sangat pedih.
"Emang bener, kan? Jangan dikira orang serumah enggak tahu kalau lo sering tidur di kamar Al. Pak Fahmi itu diam, bukan berarti dia enggak peduli, sebenarnya dia risih kalau lo tidur di kamar Al. Cuma dia diem, males debat sama Al. Lo enggak tahu diri banget sih! Kayak enggak punya harga diri. Udah diapain aja lo sama Al?"
Kedua tangan Lyana mengepal, jika dia tak mengingat kebaikan Gea kepadanya, sudah pasti Lyana menampar mulut pedas itu.
"Gue enggak serendah itu, Ge. Gue kerja di sana niat buat cari duit demi adik sama nenek gue di kampung dan biar gue juga bisa bertahan di kota ini." Suara Lyana parau, tangisannya tertahan di tenggorokan.
"Cih! Sampe segitunya lo cari duit, rela jadi lontenya Al."
"Sumpah, demi Allah gue sama Al enggak pernah ngapa-ngapain, Ge. Gue melakukan pekerjaan yang seharusnya gue lakuin."
"Serius lo? Masa sih? Kalau lo profesional kok kalian dekat banget, kayak ada hubungan spesial." Gea memutar bola matanya malas melihat Lyana yang siap meluncurkan air matanya.
Gea menganggap Lyana mengeluarkan air mata buaya. Memohon belas kasihan padanya. Padahal air mata itu tulus, bentuk kekecewaan Lyana kepada orang yang sudah dia anggap sahabat.
"Lo tahu, kan, gue suka sama Al udah lama? Kalau lo teman baik, enggak mungkin lo setega itu sama gue, Ly!" Gea mendorong bahu Lyana.
"Ge, maaf bukan maksud gue ...."
"Halah! Males gue ngomong sama pengkhianat." Gea memutus ucapan Lyana. "Minggir lo! Teman enggak tahu diri." Gea mendorong bahu Lyana lalu pergi.
Sangat sakit hati Lyana, dia bergeming setelah Gea melewatinya. Beberapa orang memerhatikan Lyana, mereka berkasak-kusuk.
"Ih, gila, ya? Cari duit sampe rela jadi lontenya Al."
"Enggak tahu malu banget sih!"
"Sumpah, gue pikir Lyana cewek polos. Enggak tahunya, sama aja kayak ayam kampus."
Telinga Lyana panas mendengar gunjingan orang di sekitarnya yang mendengar perdebatannya dan Gea tadi. Dia pun pergi dari tempat itu, berlari ke toilet menumpahkan tangisan yang sedari tadi ditahan. Puas menangis, Lyana mencuci wajahnya lalu keluar dari toilet.
"Aduh!" pekik seseorang yang tak sengaja ditabrak Lyana.
"Sorry," ucap Lyana sambil menunduk. Dia tak peduli siapa yang sudah ditabrak.
Saat dia ingin pergi, pergelangan tangannya ditahan seseorang. Lyana menegakkan kepalanya. Wajahnya tampak jelas habis menangis, hidung merah dan mata sembap.
"Mata lo kenapa, Cing?" tanya Al heran.
Novel, Andika, dan Bastian ikut memerhatikannya. Novel yang tadi tak sengaja ditabrak Lyana sebenarnya ingin mengomel, tetapi melihat wajah sendu gadis itu, dia mengurungkan niatnya.
"Lepasin!" ucap Lyana memaksa Al agar melepas pergelangan tangannya yang dicengkeram.
"Jawab dulu. Lo kenapa?"
"Bukan urusan lo!" sentak Lyana lalu memaksa Al melepaskan tangannya.
Setelah Al mengendurkan cengkeramannya, segera Lyana berlari. Al memerhatikan punggung itu semakin jauh.
"Aneh, biasanya dia sok jadi pahlawan. Baru tahu, ternyata Lyana bisa nangis juga, ya?" gumam Novel dengan tampang keheranan.
"Namanya juga cewek, Vel. Setangguh apa pun, tetep aja hatinya lunak, lebih lunak dari jelly," sahut Bastian merangkul Novel.
Al bergeming dan keheranan melihat sikap lemah Lyana. Dia pikir Lyana sudah berubah menjadi gadis yang kuat dan tangguh. Ternyata dia masih sama saja dengan Lyana yang dikenal Al sejak kecil, cengeng dan butuh pelindung.
"Ayo, Bos!" ajak Andika merangkul Al.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas. Sampai di kelas, mereka duduk di kursinya masing-masing. Al masih memikirkan Lyana.
Apa yang bikin dia nangis, ya? batin Al sambil memijat pelipisnya.
***
"Bu Sari, aku boleh minta tolong?" pinta Lyana setelah dia selesai masak untuk Al sore itu.
"Apa, Sayang? Kalau Ibu bisa bantu, pasti dibantu."
"Nanti kalau Tuan Muda Al sudah pulang dari kantor, tolong antar ini ke kamar dia, ya? Badanku rasanya enggak enak, Bu," ujar Lyana sambil mengelus tengkuknya.
Wajah Lyana memang terlihat layu dan bibirnya sedikit pucat. Sari mengangguk sambil tersenyum. Dia memahami kondisi Lyana yang terlihat kurang sehat.
"Kamu istirahat dulu saja. Kalau butuh apa-apa panggil Ibu, ya?"
"Iya, Bu. Makasih. Maaf merepotkan."
"Enggak kok. Sana naik ke kamarmu."
Setelah itu Lyana naik ke kamarnya. Dia berbaring di tempat tidur, memikirkan langkah selanjutnya untuk kebaikan semua.
"Ya Allah, apa aku harus keluar dari pekerjaan ini? Tapi, aku membutuhkan kerjaan ini. Dari gaji itu aku bisa mencukupi kebutuhan Radit dan Nenek di kampung. Tapi, kalau aku bertahan di sini, aku enggak pengin semakin dibenci Gea. Aku juga enggak mau perasaan anehku ini semakin kuat kepada Al. Ya Allah, berikan aku jalan terbaik."
Lelah berpikir, akhirnya dia terlelap meringkuk di tempat tidur.
Pukul 16.30 WIB Al sampai di rumah. Biasanya Lyana menyambut, tetapi kali ini dia tak terlihat. Al berjalan ke ruang tengah, biasanya ada Fahmi dan Sandi, mereka juga tak terlihat.
"Bi Sari!" panggil Al.
Segera Sari mendekatinya.
"Iya, Tuan Muda," ucap Sari sedikit membungkukkan badannya setelah sampai di depan Al.
"Lyana ke mana? Kok enggak kelihatan?"
"Oh, dia tadi izin istirahat, Tuan. Tadi ngeluh enggak enak badan. Wajahnya juga kelihatan pucat. Tuan Al butuh sesuatu?"
"Enggak, Bi. Ya dah kalau begitu aku mau ke kamar dulu."
Al melangkah lebar menaiki tangga. Ketika sampai di depan pintu kamar Lyana, dia ingin mengetuknya, tetapi tidak jadi, takut menggangu istirahatnya. Al menghela napas dalam lalu memutar tubuh membuka pintu kamarnya. Sebelum masuk, dia menoleh ke pintu depan kamarnya yang tertutup rapat. Al teringat tadi saat di kampus melihat Lyana habis menangis, dia kembali kepikiran hal itu.
"Entar aja deh gue tanya kalau dia udah bangun," ucap Al pelan, lalu masuk ke kamarnya.
Semua sudah Lyana siapkan, alat mandi sampai baju ganti. Meskipun Lyana izin istirahat lebih cepat, tetapi dia sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Selesai mandi Al keluar dari kamar, dia turun ke ruang makan. Di sana ada Sari dan beberapa ART sedang menyiapkan makan malam untuk Fahmi.
"Bi Sari, Lyana masak enggak?"
"Oh, iya. Masak, Tuan Muda. Mau saya antar ke kamar atau makan di sini?"
"Sini aja, Bi." Al menarik kursi lalu duduk.
Sari menyiapkan masakan yang sudah Lyana siapkan khusus Al. Kali ini Lyana memasakkan dia udang mentega dan tumis brokoli. Al tampak menikmati setiap suapannya. Sari berdiri di dekat Al, selalu siap jika Al membutuhkan sesuatu.
"Bi, Lyana udah ke dokter belum?" tanya Al setelah memasukan suapan terakhir.
"Wah, saya belum sempat tanya itu, Tuan."
Al hanya mengangguk, setelah minum air putih dia lalu kembali ke kamarnya. Tanpa Lyana, suasana hati Al terasa hampa. Waktu Al terasa kosong. Biasanya gadis itu selalu mengisi waktunya entah dengan lelucon receh atau sekadar jalan sore di sekitar rumah untuk merelakskan pikiran dan otot yang seharian tegang.
Al mondar-mandir di kamar, dia bingung mau melakukan apa. Main PS, baru lima menit sudah bosan. Main game di ponsel, baru sebentar bosan juga. Dia menginginkan Lyana, teman yang asyik sekaligus pelipurnya.
Karena bingung, akhirnya Al mengajak Novel, Andika, dan Bastian ke kelabing. Al kembali mengisi waktu kosongnya seperti dulu, bersenang-senang dengan temannya di kelab malam.
***
Tengah malam samar-samar Lyana mendengar pintu kamarnya terketuk. Dia terkejut, dengan berat hati langsung bangun. Kepalanya terasa berat, matanya pun sepat. Lyana membuka pintu perlahan.
"Ly, Tuan Muda Al pulang dari kelab mabok. Tolong urus, ya? pinta Sandi.
"Oh, iya, Pak."
Sebenarnya Lyana malas bertemu Al, tetapi apa boleh buat, ini salah satu tugasnya. Selepas Sandi pergi, Lyana lalu ke kamar Al. Sengaja dia membuka pintu kamar lebar agar tidak lagi menjadi kesalahpahaman.
Al terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Bau alkohol tajam menusuk hidung Lyana. Entah berapa banyak yang Al minum sampai membuatnya seperti itu. Lyana melepas sepatunya, lalu susah payah melepas jaket Al. Saat ingin melepas kaitan sabuknya, mata Al terbuka.
"Ly," seru Al lirih, ingin menggapai tubuh Lyana, tetapi dengan cepat gadis itu menghindar. Lyana menjauhi Al.
Buru-buru Lyana keluar dari kamar dan kembali ke kamarnya. Napasnya memburu, dia mengelus dadanya yang berdebar-debar tak terkontrol. Setelah itu Lyana mengambil wudu dan salat Tahajud agar hatinya lebih tenang.
#####
Hampir saja, ya, Ly.
Makasih vote dan komennya, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top