Sial!
Teriknya matahari membuat Lyana dehidrasi. Walaupun dia sudah banyak minum, tetapi rasa haus tak kunjung pergi.
"Ly, ke kantin yuk!" ajak Gea ketika mereka sudah selesai pelajaran.
"Males gue," tolak Lyana lesu, menjatuhkan kepalanya di meja.
"Ah, lo mah! Ayooooo!" paksa Gea menarik lengan Lyana.
"Gue lagi bokek, duit gue habis. Bibi juga belum pulang, masih keliling ziarah."
"Gue yang traktir deh." Gea terus memaksa.
"Ya, ya, ya." Sangat terpaksa, Lyana merapikan bukunya lalu mengikuti Gea.
Saat berjalan di koridor kelas, mereka bertemu Edo yang berjalan cepat berlawanan arah.
"Mau ke mana lo, Do?" tanya Lyana.
"Gue mau cepet-cepet pulang."
"Kenapa? Kok panik gitu?" Gea memegang bahu Edo, hal itu justru membuat Edo semakin gelisah.
Jantungnya tidak bisa terkontrol, selalu berdebar kencang jika bertemu Gea.
"Gue ... gue ...." Edo gelagapan, beberapa kali memperbaiki kacamatanya yang melorot.
"Kenapa?" tanya Lyana tak sabar.
"Gue harus pulang. Adik gue masuk rumah sakit, Ly. Kena mutaber," jelas Edo tak bisa tenang.
"Ya dah, lo hati-hati. Kalau gue enggak ada kelas lagi, bakalan ikut lo. Tapi, kami masih ada satu pertemuan lagi habis ini," ucap Lyana menyesal.
"Iya, enggak apa-apa. Gue duluan, ya?" Edo berlari.
"Hati-hati!" pekik Lyana dibalas lambaian tangan Edo.
Tak sengaja saat Edo menoleh sambil melambai, dia menabrak seseorang yang keluar dari kelas. Wajah orang itu sinis, tanpa senyum sedikit pun. Edo yang merasa bersalah langsung menundukan kepala.
"Sorry," ucap Edo.
Wajah Al masih saja datar. Sementara Gea yang melihat ada Al senyam-sunyum kegirangan, beda dengan Lyana, dia memasang sikap bersiap jika sewaktu-waktu geng Al mengganggu Edo.
"Lo jalan lihat-lihat dong!" sergah Noval, yang berjalan di belakang Al.
"Sorry, gue buru-buru."
"Enggak bisa gitu, jalan mata lihat ke depan?" Noval mencengkeram kerah Edo.
Lyana yang melihat dari tempatnya berdiri, langsung naik darah. Dia memberikan tasnya kepada Gea lalu mendekati geng itu.
"Heh, suka-suka dia dong! Emang ini jalan nenek lo!" bantah Lyana menampar lengan Noval agar melepaskan cengkramannya dari kerah Edo.
"Ini lagi! Enggak sah ikut campur deh lo!" Novel melototkan matanya kepada Lyana.
"Apa lo melotot kayak gitu? Lo pikir gue takut sama lo!" Lyana melingkis kemeja lengannya, sok jadi jagoan demi melindungi Edo.
"Udah, Ly. Gue buru-buru, jangan diperpanjang," bisik Edo menjawil bahu Lyana.
"Lo pergi dulu sana! Biar mereka gue yang urus," balas Lyana sengaja volume suaranya dibesarkan agar Al dan teman-temannya mendengar.
"Gue berurusan sama dia, bukan lo!" Noval menunjuk wajah ketakutan Edo.
Al yang diam berdiri tepat di depan Lyana hanya bersedekap memerhatikan gadis mungil itu melawan Noval.
Dalam hati, Al tertawa kegelian dan berucap, Nih anak sok jagoan banget sih. Al menggeleng sambil membuang pandangannya. Dia sedikit tersenyum lalu meraup wajahnya supaya tidak terlihat jika dia sedari tadi memerhatikan Lyana.
"Gue wakilin! Dia lagi ada urusan lebih penting daripada ngadepin kalian yang kurang kerjaan." Lyana memasang badan, sok melindungi Edo.
"Dasar cewek gila!" sungut Noval.
"Eh, lo ngomong apa tadi!" Lyana berusaha memukul Noval.
Matanya terpejam, padahal dia juga sedikit takut, tangan Lyana meninju-ninju, tetapi sedari tadi dia tidak merasakan tangannya mengenai sesuatu. Ketika dia membuka mata, Lyana melihat ada telapak tangan besar yang menahan kepalanya.
"Iiiih! Ngapain sih lo!" Lyana menurunkan tangan itu dari kepalanya.
Tangan itu milik Al, dia menahan Lyana saat tadi ingin meninju Noval.
"Jangan sok jagoan, diginin aja lo kalah." Al menarik kerah Lyana sambil mengajaknya pergi.
Al seperti mencangking Lyana dengan satu tangannya. Beberapa orang menertawakannya, Lyana yang mungil dicangking Al yang tinggi, gagah, dan badan berotot.
"Lepasin gue! Lo pikir gue kucing!" Lyana meggapai-gapai tangan Al dan berusaha agar Al melepaskan kerahnya.
"Iya, lo kucing peliharaan gue yang bandel. Mau gue kasih makan ikan asin biar lo cepet gede."
Tawa pecah dari teman-teman Al, mendengar selorohan bosnya itu. Gea yang mengikuti Lyana di belakang mereka menutup mulut menahan tawanya.
"Hei, Curuuuuut! Gue makan lo entar!"
"Makan aja! Daging gue pahit."
"Gue cabik-cabik terus gue habisin lo!" ujar Lyana sebal karena sampai di kantin yang banyak orang, Al masih mencangking kerahnya.
"Dah!" Al melepas kerah Lyana dan didudukan gadis itu di salah satu kursi panjang dekat dengan tembok, di pojokan kantin.
Lalu Al menghimpitnya, Lyana tidak bisa bergerak sama sekali. Gea masih berdiri di samping meja, sedangkan sebagian teman-teman Al duduk di depan Al yang memenjarakan Lyana.
"Lo duduk sana woi!" sentak Noval kepada Gea sambil menunjuk meja panjang sebelahnya.
Gea tak peduli dengan bentakan itu, asal dia bisa dekat dengan Al, dia sudah sangat bahagia.
"Pesan makan, Val," perintah Al memberikan uang seratus ribuan kepada Noval.
"Makan apa kita?" tanya Noval menyapu pandangannya ke teman satu gengnya.
"Apa aja deh," sahut salah satu dari mereka.
"Lo, Bos?" tanya Noval kepada Al.
"Bos? Bosok! Beginian lo katain bos. Mata lo rabun, ya?" ledek Lyana kepada Noval sambil menunjuk wajah Al.
"Eh, lo ...." Noval menggebrak meja dan sudah mengangkat tangannya seperti ingin memukul Lyana. Namun, segera Al tahan tangan Noval.
"Enggak usah dengerin dia. Pesan sana!" ujar Al cuek.
Noval pun berlalu. Lyana sangat tidak nyaman duduk dihimpit Al. Dia seperti susah bernapas dan gerak pun terbatas.
"Harus, ya, gini?" ketus Lyana menyenggol lengan Al yang sedang asyik makan kacang kulit.
"Iya, lo kan kucing peliharaan gue. Kalau enggak gue giniin, entar lo lepas."
"Dasar Curut! Haik!" Lyana bergerak seperti ingin memakan Al sambil mencakarnya.
Al hanya terkekeh dan tak mengacuhkannya. Sementara Lyana merasa seperti disiksa Al, tetapi Gea justru beruntung bisa memerhatikan Al dari dekat.
***
Suasana hati Lyana sangat buruk. Pulang dari kampus, dia mengayuh sepedanya sambil meratapi nasib.
"Nasib, nasib! Uang habis, Bibi enggak pulang-pulang. Huft!"
Ada sesuatu melintas di pikirnnya. Kalau dia hanya mengandalkan uang dari Tiara saja, kebutuhannya tidak mungkin terpenuhi. Apalagi, ada nenek dan adiknya yang harus setiap bulan Lyana kirimi. Tekad Lyana sudah bulat!
Meski perut lapar, dia tidak peduli. Lyana mencari pekerjaan sampingan. Menunggu Tiara sampai pulang dan kembali membuka warung makannya, keburu Lyana mati berdiri. Dia menawarkan jasanya ke toko satu ke toko yang lain. Banyak yang menolak, hanya beberapa yang membutuhkan tenaganya.
Tak banyak upah yang dia terima, kadang satu toko membayarnya 10 sampai 15 ribu. Ada yang meminta Lyana membantu menggotong galon, tabung gas LPG, bungkusin gula dan terigu, bahkan ada yang meminta Lyana mencuci baju. Semua Lyana kerjakan demi bisa mendapat uang yang halah. Itupun Lyana syukuri, setidaknya, dia punya pegangan untuk dua sampai tiga hari ke depan.
Tugas matahari sudah digantikan bulan, Lyana melihat jam tangannya menunjukan pukul 21.00 WIB. Tubuhnya sangat letih, dia hari ini bekerja sangat keras. Pindah ke toko satu ke toko yang lain.
"Enggak terasa sudah malam," gumam Lyana berjalan di trotoar sambil menuntun sepedanya.
Ketika sedang santai berjalan, dia melihat banyak orang mengerubungi sesuatu. Lyana tertarik ingin mengetahui, dia mempercepat langkahnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Lyana kepada salah satu orang di sana.
"Itu tadi ada mobil hindari sepeda motor yang keluar dari gang. Tapi, kayaknya orang itu juga lagi mabok."
"Mobilnya gimana?"
Bukan menanyakan keadaan orangnya, dia malah bertanya kondisi mobilnya. Dasar, Lyana!
"Ban kirinya masuk selokan, orangnya ditidurkan di emperan toko sana tuh!" tunjuk orang itu ke depan toko mas.
"Saya lihat ke sana dulu, Pak." Lyana menyandarkan sepedanya, lalu mendekati banyak orang yang mengerubungi orang itu.
Setelah tahu orangnya, Lyana sangat terkejut. Orang-orang berusaha menyadarkannya.
"Al!" pekik Lyana, semua orang menolehnya
"Kamu kenal dia?" tanya seseorang yang mengolesi Al minyak kayu putih.
"Iya, kenal. Dia teman kampus saya." Lyana mendekati Al lalu mengangkat kepalanya dan ditidurkan di pangkuan.
"Ini, Mbak, coba sadarkan dulu. Saya bantu benerin mobilnya," ujar orang itu memberikan minyak angin kepada Lyana.
"Al! Woi! Bangun!" Lyana menupuk-nepuk pipinya.
Mata Al bergerak-gerak, perlahan dia membuka mata. Aroma alkohol tercium tajam di hidung Lyana.
"Heh, lo mabok, ya?" Lyana menegakkan tubuh Al.
Namun, Al tidak menjawab, dia memegangi kepalanya yang pusing.
"Bawa gue ke hotel," ucap Al menatap Lyana memohon.
"Ogah! Lo jangan macam-macam, ya!"
"Ck, ya dah, gue bisa sendiri." Sambil sempoyongan Al berdiri.
Lyana yang melihatnya tak tega, Al terseok-seok mendekati mobilnya yang sudah terbebas dari selokan. Setelah menyalami dan berterima kasih kepada orang-orang yang menolongnya, Al masuk ke mobil. Lyana masih mengamatinya.
Kalau gue biarin dia sendiri, gimana entar misal dia mengalami kecelakaan yang lebih parah dari ini? Lyana membatin sambil menimbang keputusannya. "Ck, merepotkan saja!" dengus Lyana lalu menghampiri Al.
Tuk tuk tuk
Lyana mengetuk kaca jendela mobil. Al yang tadi sedang menunduk di atas stir langsung menegakkan kepala. Dia menurunkan kaca jendelanya.
"Apa?" sahut Al dengan mata sayu.
"Gue antar lo pulang deh!"
"Gue enggak punya rumah."
"Lah, kok bisa? Rumah siapa yang waktu itu?"
"Sedang direnovasi."
"Lo mau ke hotel mana?"
"Wahid."
Busyet, gaya bener ini anak. Hotel Wahid, Coy! Gue masuk aja enggak pernah, batin Lyana. "Ya dah, ayo keluar lo dari mobil."
"Lo yang nyetirlah!"
"Lo hina gue, ya? Mana bisa gue nyetir? Gue cuma bisa ngayuh sepeda!"
"Ck!" Al berdecak, semakin lama kepalanya tambah pusing.
Karena tak sabar, Lyana pun membuka pintu mobil Al dan menariknya keluar dari mobil. Sebelum meninggalkan mobil itu, Lyana menutup kaca jendela dan mencabut kuncinya. Meski badan Al berat, Lyana memapahnya dengan susah payah sampai di tempat dia menyandarkan sepeda.
"Sebentar, sandaran sini dulu." Lyana menyandarkan Al di tiang lampu.
Setelah menegakkan sepedanya dan dia naik, Al ditarik agar duduk di boncengannya. Al yang sudah lemas tak berdaya hanya pasrah. Kedua tangan Al dilingkarkan Lyana ke perutnya, sambil dia mengayuh, Lyana memegangi tangan Al agar tidak jatuh.
Keringat bercucuran di dahi Lyana, dia ikhlas membantu Al. Sampai di depan lobi salah satu hotel mewah di ibu kota, Lyana memanggil penjaga hotel berseragam serba hitam. Dia meminta tolong supaya menahan tubuh Al sementara dia menyandarkan sepedanya. Setelah itu, Lyana memapah Al masuk ke hotel itu.
Pertama masuk, Lyana kagum dengan kemewahan interiornya. Lampu kristal yang besar tergantung pada langit-langit hotel yang tinggi itu. Nuansa emas menyiratkan kemewahan dan keglamoran setiap orang yang masuk. Tak sembarang orang bisa menyewa kamar di sana. Lyana mendudukkan Al di sofa lobi.
"Al, bangun. Dah sampai hotel nih," ucap Lyana menyapu keringatnya dengan punggung tangan.
Mendengar suara Lyana, dengan berat Al membuka mata.
"Udah, lo tinggal aja, gue enggak apa-apa."
"Loh, terus lo gimana? Mau tidur di sini? Gila lo, ya?"
"Udah, lo pulang saja. Dah malam. Thanks dah antar gue," ucap Al sambil memejamkan mata dan memijat-mijat tengkuknya.
"Ya sudah! Terserah lo deh!" Lyana tak memedulikan Al lagi.
Terpenting, Al sudah di tempat yang aman. Bergegas Lyana pulang. Selepas kepergian Lyana, beberapa orang berseragam serba hitam mendekati Al. Mereka membantu Al berdiri lalu masuk ke kamar.
#####
Masih meraba-raba siapa Al dan siapa Lyana sebenarnya? Hayoooo, ada yang penasaran? Ikuti terus kelanjutannya, ya? Terima kasih vote dan komentarnya.
Banyuwangi, 15 November 2019
Pukul : 00.00 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top