Seperti Mendapat Lotre
"Begitulah ceritanya, Ly," ujar Tiara menjelaskan semuanya kepada Lyana.
Tentang masa lalunya saat masih berteman dengan Al sampai dia kehilangan ingatan seperti saat ini.
"Tapi, Bi, aku enggak ingat apa pun. Bagaimana aku bisa percaya?" Lyana menatap Fahmi, dia tak percaya, ternyata Fahmi adalah sahabat baik papanya.
Wajar jika Lyana meragukan cerita Fahmi dan Tiara karena dia hilang ingatan. Sedikit pun masa lalunya, Lyana tak ada yang teringat. Radit yang tak tahu apa-apa hanya diam sambil menyimak perbincangan di ruang tamu itu. Edo dan Gea pun hanya mendengar tanpa niat ikut campur. Surti duduk di sebelah Lyana, dia sesekali mengusap punggung cucunya agar tetap tenang.
"Ly, kamu percaya, kan, sama Bibi?" tanya Tiara menatap Lyana serius. "Bibi saksi hidupmu. Benar, papamu bersahabat baik dengan Om Fahmi. Kalau tidak percaya, silakan tanya Simbah. Bener begitu, kan, Mak?" tanya Tiara meminta dukungan Surti.
"Iya, Nduk. Papamu dulu teman baik Fahmi. Mereka sekolah bareng sampai kuliah juga di kampus yang sama. Maafin Mbah sama Bibi, ya? Karena waktu itu kami enggak punya uang buat biaya rumah sakitmu, terpaksa kami jual perusahaan papamu. Toh siapa yang mau melanjutkan usaha papamu? Saudara-saudara dari papamu sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Saudara mamamu cuma Bibi Tiara, dia enggak bisa melanjutkan bisnis papamu." Surti mengelus rambut Lyana.
Dengan tatapan ragu Lyana menatap Radit. Sedangkan Radit tidak tahu apa-apa, saat itu dia masih terlalu kecil.
"Ly, perusahaan yang Al pegang saat ini dulu milik papamu. Antara saya dan Al sudah menandatangani kesepakatan. Apabila keluarga dari pihak Firdaus, terutama putrinya ditemukan, dia yang akan memimpin perusahaan. Itu berarti kamu, Ly," papar Fahmi.
Mendengar nama Al terucap, hati Lyana berdesir. Jujur, dia merindukannya. Lyana sangat bingung dalam situasi saat ini. Kenapa kejadian ini tiba-tiba menghampirinya? Sepertinya mustahil, selama ini dia hidup susah, tak ada kepikiran memiliki harta melimpah, sekonyong-konyong, seperti mendapat lotre, ternyata dia dari keluarga berada. Apakah ini lelucon?
"Apa Al juga tahu saya ini putri Papa Firdaus?" tanya Lyana pelan-pelan memberanikan diri menatap Fahmi.
"Justru sepertinya Al tahu lebih dulu daripada saya. Tapi, dia diam, entahlah, apa mungkin karema kamu lupa ingatan. Jadi, dipikir kamu tidak akan percaya kalau dia cerita tentang masa lalu kalian. Dulu kalian sangat dekat, bahkan kamu tidak mau berpisah dengan Al saat kami pindah ke Jakarta," jelas Fahmi sukses mengejutkan Lyana.
Lyana teringat semua hal yang Al berikan padanya. Sampai perhatian kecilnya, Lyana sangat merindukan itu.
"Jadi, anak kecil yang selalu aku mimpikan itu Al?" ucap Lyana lirih, air matanya menggantung penuh di pelupuknya. "Aku selalu mimpi buruk, Mbah. Mimpi itu selalu datang. Aku melihat gadis kecil yang menangisi kepergian seseorang mengendarai mobil. Apa itu aku dulu?" Lyana menatap Surti, meminta penjelasan lebih lanjut.
Tak kuasa membendung air matanya, Surti mengangguk sambil terisak lalu memeluk Lyana.
"Jadi Al teman kecilku?" gumam Lyana seperti tak percaya.
Lyana semakin mengeratkan pelukannya, dia menangis terisak-isak dalam dekapan Surti. Perasaan Fahmi lega dapat menyampaikan hal itu. Dia mengembuskan napas pelan lantas bersandar memperhatikan Lyana yang masih menangis dalam dekapan Surti.
Edo dan Gea ikut menangis, mereka terharu. Apalagi Radit, berulang kali dia menyeka air matanya. Kerja keras Lyana selama ini akan dibayar lunas. Sebentar lagi dia akan memimpin perusahaan warisan papanya. Ini seperti mustahil, tetapi nyata terjadi dalam hidup Lyana.
Tuhan memanglah sangat baik. Dia memberikan keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Tadinya kita pikir tak mungkin, jika Tuhan sudah berkehendak, ketidakmungkinan itu bisa menjadi nyata.
***
Malam semakin larut, Al masih menyendiri di kantor. Sudah sekitar satu minggu lebih dia tidak pulang. Di ruang kerjanya itu, pencahayaan sengaja dipadamkan, Al hanya menyalakan lampu meja yang redup bewarna kuning.
Dia merenung, menahan rindu kepada Lyana. Sorot matanya yang lelah mengarah kepada sepasang kura-kura dalam kotak kaca transparan. Sengaja Al pindahkan ke ruang kerjanya agar dia bisa merawat kura-kura peninggalan Lyana.
"Lo lagi apa sih, Cing? Kenapa lo bikin gue stres. Gue pengin tenang, Cing. Tapi kalau lo masih begini, mana bisa gue tenang?" ujar Al sambil menatap dua kura-kura yang sedang tidur damai di atas karang.
Al menarik napas dalam, sambil menyandarkan tubuhnya dia mengembuskan napas kasar. Jika mengingat Lyana, perasaannya tak pernah tenang, bahkan otaknya terasa penuh. Sangat penat.
***
Di kamar sederhana itu, Gea belum bisa tidur. Dia dan Lyana saling memunggungi. Udara dingin menusuk sampai ke tulang. Padahal dia sudah memakai jaket, kaus kaki, dan selimut tebal, tetapi masih saja dingin. Maklum, desa Lyana di bawah kaki Gunung Merbabu.
"Ly, lo udah tidur belum?" tanya Gea pelan-pelan.
"Belum, Ge." Lyana memutar tubuhnya menghadap Gea.
Gea pun membalikan tubuhnya, hingga kini mereka saling berhadapan. Beberapa detik mereka saling diam. Sebenarnya Gea tak biasa tidur di kasur kapuk.
"Lo kenapa belum tidur?" tanya Lyana membuka obrolan.
"Dingin banget, sumpah!" Gea mengeratkan selimutnya.
"Lo kan udah sering liburan akhir tahun ke luar negeri yang bersalju, Ge. Masa sih kedinginan?"
Sebenarnya bukan itu yang menyebabkan Gea tak bisa tidur. Karena dia kurang nyaman dengan tempat tidurnya. Namun, Gea menjaga perasaan Lyana, dia tidak mau menyinggung hatinya.
"Ly, terus apa rencana lo habis ini?" Gea sengaja mengalihkan pembicaraannya.
"Entah, Ge. Gue juga bingung." Lyana menarik napas panjang.
"Pantesan selama ini Al menutup hatinya. Ternyata dia udah punya pacar sejak kecil," ujar Gea melirik Lyana sambil tersenyum menggoda.
"Ih, apaan sih? Gue enggak suka sama dia," elak Lyana memasang wajah sok nolak.
"Yakin?" Gea semakin menggoda, dia mengerling dan menowel pinggang Lyana.
"Iya," dusta Lyana. Dia belum siap mengungkap isi hatinya kepada siapa pun, termasuk Gea.
"Ly, lo masih dongkol sama gue, ya?"
"Enggak."
"Terus kenapa enggak mau jujur sama gue? Gue udah enggak terobsesi sama Al kok. Sejak dia nyakitin hati gue," ujar Gea menyebikkan bibirnya.
Lyana mengerutkan dahi, lantas menyahut, "Emang dia ngelakuin apa ke lo, Ge?"
"Nampar gue dengan kata-katanya. Itu terasa banget sampai ke ulu hati. Nolak gue di depan orang banyak, selain bikin gue malu, dia juga nyadarin gue kalau cinta itu enggak bisa dipaksa. Bagaimanapun gue ngejar dia, kalau Al enggak mau, enggak bakalan gue dapat, Ly. Semakin gue kejar, dia makin jauh. Yang ada ilfeel kali ke gue."
"Terus sekarang siapa yang lo suka?" Sengaja Lyana mengalihkan pembicaraan supaya Gea tak membahas Al. Dia tidak punya jawaban jika Gea mempertanyakan perasaannya kepada Al.
"Bingung gue."
"Loh, kenapa bingung?"
"Tapi lo harus janji sama gue, jangan bicara siapa-siapa."
"Iya. Janji!" Lyana mengangkat dua jarinya membentuk V.
"Ah, gue malu." Pipi Gea bersemburat merah jambu, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Yeee, aneh lo! Belum ngomong udah malu. Ayo, siapa? Penasaran gue." Lyana menarik tangan Gea supaya turun dari wajahnya.
"Gue enggak tahu perasaan ini kapan muncul. Tiba-tiba aja ada. Gue juga bingung sama perasaan ini, kayak plin-plan gitu, Ly."
Lyana terkekeh, geli melihat wajah menggemaskan Gea.
"Itu berarti selama ini perasaan lo ke Al bukan cinta, tapi cuma mengagumi. Kalau cinta itu enggak gampang luntur, Ge. Terus sama yang ini gimana? Yang lo rasain apa?"
"Setiap gue deket dia, rasanya gue lemah, penginnya dimanja, diperhatiin gitu deh! Terus pas kami berjauhan, cepet banget kangen. Padahal setiap hari ketemu." Gea membayangkan wajah tampan tetapi lugu dan perlakukan manis orang itu kepadanya. Senyum tersungging di bibir Gea.
"Siapa sih, Ge? Bikin gue penasaran. Gue kenal orangnya?" tanya Lyana sudah sangat penasaran.
Gea manggut-manggut sambil tersenyum malu.
"Satu kelas sama kita?" tanya Lyana berusaha menebak. Namun, Gea menggeleng.
"Pokoknya lo juga kenal deket sama dia."
Seketika Lyana membulatkan matanya dan menatap Gea penuh arti.
"Jangan bilang si cupu?" tanya Lyana menebak sesuai felling-nya.
"Sssssst." Gea membekap mulut Lyana. "Kalau udah tahu diem aja. Jangan ember!"
Lyana mengangguk lalu Gea menurunkan tangannya dari mulut Lyana.
"Geeee, sumpah, enggak nyangka gue," ucap Lyana bahagia. "Lo tahu enggak?" sambung Lyana dengan pancaran mata berbinar.
"Tahu apa, Ly?" Jantung Gea berdebar-debar cepat. Dia khawatir Lyana juga menyukai orang yang sama. "Jangan bilang lo juga suka dia, Ly," ucap Gea melirik tajam.
"Ngaco lo! Enggaklah!" sangkal Lyana mengibaskan tangan di depan wajah Gea. "Dia dulu pertama mau kenalan sama gue sampai bela-belain makan di warung Bi Tiara."
"Terus-terus?" Gea sangat antusias mendengar cerita Lyana.
"Dia nungguin gue sampai malam di depan warung. Tahu enggak buat apa?"
"Apa?"
"Minta bantuan gue buat deketin lo."
"Hah! Serius lo?"
"Iya, Ge. Sumpah!"
"Iiih, lo kenapa enggak ngomong ke gue sejak awal sih, Ly?"
"Kalau gue langsung ngomong ke lo, apa lo percaya? Yang ada lo jauhin dia. Kan mata lo ketutup Al. Cowok yang lo pandang cuma Al."
"Iya juga sih. Tapi sekarang gue udah sadar kok, Ly. Gue udah lupain Al. Bagi gue, Al godaan sesaat. Terus dia pernah cerita apa ke lo tentang gue?"
"Banyak! Dia tuh naksir lo dah lama tahu! Bela-belain kuliah di kampus kita biar selalu bisa lihat lo."
"Terus pas tahu gue suka Al gimana? Dia cerita ke lo enggak tentang perasaannya pas itu?"
"Cerita. Dia cemburu, tapi dia bingung. Intinya dia cuma pengin deket lo, Ge. Gue kagum sama keteguhan hatinya. Ck, beruntungnya lo, Ge, dicintai cowok kayak dia."
"Aaaah, Ly. Kenapa gue sadarnya telat sih."
"Kata siapa telat? Belum. Ini baru mau dimulai, Ge."
"Gue malu banget deh, Ly, sama dia. Kelihatan banget gue kekanak-kanakan. Ngejar-ngejar Al kayak cewek murahan. Astagaaa, Gea-Gea, begok banget sih!" Gea memukul-mukul keningnya sendiri. Lyana justru terkekeh.
"Sekarang kalau udah tahu gini, ubah sikap egois lo. Jaga perasaan dia. Sebelum dia menyerah dan ninggalin lo."
"Enggak mau, Ly. Bantuin gue dong. Please. Gue udah nyaman sama dia. Gue takut kehilangan perhatian dan kebaikan dia. Please, Ly." Gea memohon, menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Iya, iya. Gue bantu."
"Aaaa, makasiiih." Gea memeluk Lyana girang.
Itulah cinta. Datang tak tahu kapan dan kadang perginya pun sekejap. Agar cinta tetap tumbuh dalam hati, siram dengan perhatian dan kepercayaan.
######
Tahu enggak yang Gea dan Lyana maksud? Hehehehe
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top