Samar
"Ayooo dong, Cing, cepet. Gue udah ngantuk, nih!" ujar Al yang tengkurap di tempat tidur sambil menghadap laptopnya.
"Sebentar, sabar napa. Gue juga baca dulu. Emang gue cenayang, tanpa baca tahu jawabannya." Lyana duduk di tepi ranjang, dia membantu Al mengerjakan tugas kuliahnya.
"Ya udah, lo aja yang ngerjain. Gue udah ngantuk, cape! Pagi kuliah, lanjut kerja, malam masih suruh ngerjain tugas." Al menggeser laptopnya ke depan Lyana.
"Heh, Curut! Jangan gitu dong. Tinggal dikit." Lyana menarik lengan Al yang sudah memeluk guling.
Namun, Al tak menggubris, dia sudah sangat ngantuk dan lelah. Akhirnya Lyana yang melanjutkan tugas kuliah Al. Dia membawa laptop dan buku-buku Al ke meja set sofa yang terdapat di tengah kamar itu. Lyana duduk di lantai, laptop diletakkan di meja. Sambil membaca buku tebal untuk mencari jawaban, Lyana juga mengetiknya di laptop.
Dia sangat sabar menghadapi Al yang kadang seenaknya sendiri. Mau bagaimana lagi, Lyana dipekerjakan memang untuk membantu keperluan Al. Bukankah itu sudah kewajibannya?
Pukul 02.00 WIB. Selesai menyimpan tugasnya, Lyana membereskan buku dan memasukan semua keperluan kuliah Al besok ke tas. Karena sangat lelah dan kantuk berat, Lyana menjatuhkan diri di sofa.
***
Dalam bayangan hitam dan gelap. Seperti putaran kaset yang rusak.
"Jangan tinggalin aku!" Gadis kecil itu memberontak di gendongan pria dewasa.
Tangannya seperti ingin menggapai sesuatu. Dia menangis histeris. Mobil sedan itu tak mau berhenti meskipun dia berteriak dan menangis pilu menyayat hati. Lama-kelamaan mobil itu hilang.
Samar-samar Al mendengar Lyana merancau tak jelas. Karena merasa terusik, Al pun bangun. Dia melihat Lyana tertidur di sofa kamarnya. Itu sering terjadi kalau Lyana kelelahan dan sangat mengantuk.
Al melihat jam dinding menunjukan pukul 04.00 WIB. Lyana tidur gelisah, tubuhnya bergerak-gerak, kakinya seperti orang berlari. Al turun dari tempat tidur, dia mendekati Lyana, jongkok di depan sofa. Wajah gadis itu basah, peluh membanjiri wajahnya.
"Jangan tinggalin aku!"
Sayup-sayup Al mendengar Lyana mengatakan itu. Karena kasihan, Al perlahan membangunkan Lyana.
"Ly. Heh! Bangun." Al mengguncang bahu Lyana.
Sontak Lyana bangun dengan napas memburu. Wajahnya tampak bingung dan ketakutan. Reflek Lyana memeluk Al sangat erat dan tiba-tiba menangis. Awalnya ragu, tetapi Al akhirnya membalas pelukan erat Lyana. Dia pindah posisi duduk di sebelah Lyana.
"Ssssst, udah. Jangan nangis lagi. Itu cuma mimpi," ucap Al mengusap punggung Lyana.
"Gue takut Al setiap mimpi itu," ujar Lyana gemetaran.
"Lo mimpi buruk?"
"Iya. Itu sering terjadi, mimpi yang sama dan selalu bikin gue takut."
"Lo mimpi apa?" Al menegakkan tubuh Lyana. Dia menghapus air mata Lyana yang bercampur keringat.
"Gue ... gue ... gue kayak lihat anak kecil nangis histeris. Terus dia kayak mau ngejar mobil sedan, tapi ditahan pria dewasa. Setiap gue mimpi itu, entah kenapa gue kayak ngerasa takut banget kehilangan. Hati gue kayak ada yang hilang. Tapi gue enggak tahu itu apa."
Jantung Al berdebar-debar. Dia terpaku menatap wajah Lyana yang ketakutan.
Maafin aku, Ly. Itu aku yang ninggalin kamu. Al merasa semakin bersalah. Lalu dia menarik Lyana ke dalam pelukannya lagi.
"Udah, lo jangan takut lagi. Sekarang enggak ada yang perlu lo khawatirkan. Enggak ada yang hilang," ucap Al lembut. Karena aku udah ada di sini dan akan selalu ada di samping kamu, Ly, lanjut Al dalam hati.
Hampir setengah jam Al membiarkan Lyana dalam pelukannya. Nyaman dan Lyana merasa ketakutannya hilang saat berada dalam pelukan Al. Hatinya yang kosong seperti terisi. Aneh, Lyana lalu menatap Al dengan penuh kebingungan.
"Udah jam setengah lima. Bangun gih! Gue mau olahraga. Sekali-kali ikut joging kek! Biar badan lo enggak bunder," ujar Al melepas pelukan Lyana lalu berdiri.
"Enak aja ngatain gue bunder! Ini juga gara-gara lo. Setiap makan enggak habis, nyuruh gue ngabisin. Lo pikir gue tempat sampah," bantah Lyana bersungut-sungut.
"Habis badan lo pertama ke sini kurus kering kayak orang kurang gizi."
"Wajarlah! Gue kerja keras dan kurang tidur. Udah ah, gue mau salat dulu. Lo mau dibikinin sarapan apa?" tanya Lyana bangkit lalu mengikat rambutnya asal.
Lyana menarik tisu di meja itu dan mengusap wajahnya, menghapus sisa air mata yang bercampur keringat.
"Apa aja." Al melepas kausnya dan mengganti singlet.
"Ck, enggak ada makanan namanya apa aja," sahut Lyana ketus.
"Yang simpel aja, omellette. Oh, iya, lain kali kalau tidur di sofa lagi, kecilin dulu AC-nya. Lo enggak kedinginan apa tidur di bawah AC begitu?"
"Enggak terasa pas tidur, paling pagi-pagi perut kembung. Gue udah kecapean, ngantuk, mana sempet ngecilin AC."
Lyana berjalan ke tempat tidur Al lalu merapikannya. Al mengecek ponselnya berdiri di depan nakas, dia melihat-lihat email pekerjaan yang masuk.
"Gue bikinin makan siang nanti, ya? Antar ke kantor."
"Ogah ah! Masa gue enggak ada kepentingan asal masuk kantor sih!"
"Loh, kan antar makan siang buat gue."
"Iya-iya. Tapi gue enggak janji loh. Soalnya gue nanti jam satu masih ada mata kuliah."
"Habis lo pulang kuliahlah! Gue mau lembur."
"Tumben lembur?"
"Iya. Mempersiapkan tender besar. Doakan menang, ya? Entar kalau tanah itu jatuh di tangan kita, bebas deh lo mau bangun apa di atas tanah itu."
"Lo serius?" tanya Lyana berbinar.
"Iya. Seriuslah!"
"Emang di mana tanahnya?"
"Di Bukit Mantar."
"Sumbawa Besar?"
"Iya."
"Wah, serius lo mau beli itu?"
"Iya. Kenapa sih lo?"
"Iiih, tempat itu keren banget Al. Gila, gue enggak nyangka otak lo main juga. Gue pikir otak lo sejengkal."
"Enak banget lo ngomong."
Lyana cengengesan. "Nanti kalau lo menang tender itu dan lo mau survei lokasi, gue ikutan, ya? Please, dari dulu gue pengin banget ke Sumbawa." Lyana menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap Al mengiba.
"Ya," sahut Al singkat.
"Janji lo!"
"Iya, janji!"
Lyana mengulurkan kelingkingnya. Al terkejut, dia menatap Lyana bingung.
"Ayo, janji!" Lyana menarik tangan Al supaya menautkan kelingkingnya di kelingking dia.
Seperti dejavu, Al teringat masa kecil mereka setiap mengucap janji selalu melakukan itu.
"Lo udah janji loh. Awas ingkar janji!" tukas Lyana mengancam Al dengan pandangan tajam sambil keluar dari kamar.
Sejenak Al terpaku, dia teringat semua janji-janjinya dulu saat mereka masih kecil. Setelah Lyana menutup pintu kamar, Al lalu tersadar dan mengusap wajah hingga menyisir rambutnya.
Andai kamu tahu, Ly, waktu itu aku kembali dan kamu sudah tidak ada di sana, batin Al teringat saat dia pulang ke kampung bersama Fahmi.
***
Lima tahun lalu setelah Rina meninggal karena kanker darah, Fahmi mengajak Al pulang kampung untuk menenangkan diri. Mereka sangat terpukul dengan kepergian Rina. Saat itu Al berusia 15 tahun, penghujung kelas IX sekolah menengah atas.
Begitu sampai di rumah masa kecilnya, Al mendatangi rumah Lyana. Namun, rumah itu tampak kotor dan kosong. Dari teman-teman Al yang ada di kampung itu, mereka mengatakan Lyana sudah pindah ke luar kota. Al tambah terpukul.
"Al, dari mana?" tanya Fahmi duduk di ruang tengah, melihat Al masuk rumah dengan wajah sedih dan menunduk.
Al menatap Fahmi tajam. "Ini semua gara-gara Papi!"
Fahmi terkejut, tiba-tiba Al marah padanya tanpa sebab.
"Maksud kamu apa? Sini dulu, kita ngobrol." Fahmi ingin menenagkannya, tetapi Al sudah menangis dan dipenuhi emosi.
"Kalau dulu Papi enggak ngajak kita pindah, Mami enggak akan sakit dan aku enggak akan kehilangan Lyana. Papi jahat!" pekik Al lalu berlari ke kamarnya.
Fahmi termenung, dia mengurut dadanya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Al tampak sangat marah padanya.
Di dalam kamar Al menangis terisak-isak. Harapannya ingin bertemu Lyana pupus. Padahal Al berharap, kembalinya dia ke kampung bisa menghibur diri dengan bermain bersama Lyana. Kehilangan dua orang yang paling dicintai dalam satu waktu membuat Al merasa patah hati sebelum merasakan jatuh cinta.
Pertama patah hati karena ditinggal Rina untuk selamanya. Kedua kehilangan Lyana, teman kecil yang selalu memenuhi ruang hatinya. Banyak janji yang Al belum tempati untuk Lyana. Dalam pikiran Al orang yang pertama harus disalahkan adalah Fahmi. Dia merasa Fahmi sudah mengacaukan rencananya. Padahal Fahmi tidak tahu apa pun.
#####
Yaaa, begitulah teman-teman ceritanya. Hehehehe
Dramatis sekali, ya?
Makasih atas vote dan komentarnya. Semoga cerita ini enggak membosankan, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top